TRAVELOG

Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (2)

Saya dan peserta lainnya meneruskan perjalanan dari Jalan Yos Sudarso ke Jalan Kalimantan. Kami berhenti di salah satu sudut jalan. Dari seberang, deretan rumah lawas langsung menyita perhatian saya. 

Menurut keterangan Han, rumah-rumah itu dulunya dijual dengan harga terjangkau serta bisa dicicil selama 15 tahun. Sementara itu, Yez juga menambahkan, dibandingkan dengan rumah-rumah di kawasan Jalan Ijen yang harganya sekitar 6.000–13.000 gulden, rumah-rumah ini dibanderol 2.500–3.000 gulden dengan luas tanah 250 meter persegi.

“Pada masa itu harganya terbilang murah, karena lahan di sini itu bekas perkebunan sama kayak yang di Ijen. Dulu ini asetnya pabrik gula Kebonagung lalu dibeli pemerintah kotapraja untuk dijadikan perumahan. Jadi, yang dihitung itu kebanyakan untuk membangun rumahnya karena harga tanahnya sendiri enggak terlalu mahal. Selain itu bisa beli kavlingan, tetapi bentuk rumahnya harus seragam,” tambah Yez.

  • Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (2)
  • Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (2)

SMAN 5 Kota Malang, Bekas Sekolah Tionghoa 

Masih di tempat yang sama, baik Han dan Yez juga menjelaskan mengenai keberadaan area makam lama yang ada di kompleks ini. Sejujurnya, saya sedikit terperangah begitu mendengar penjelasan mereka berdua. Maklum saja, meski tahu ada makam, hanya saja saya terkejut saat diberitahu bahwa area makam tersebut sudah ada sejak masa kolonial, berdasarkan peta Kota Malang tahun 1937.

Kompleks makam Islam ini termasuk kompleks makam tertua yang ada di Kota Malang, selain Samaan dan Bunul. Para santri sebuah ponpes dekat Alun-alun Merdeka kerap datang berziarah karena terdapat makam para habib.

Kami lanjut berjalan sampai tiba di perempatan yang menghubungkan Jalan Kalimantan, Jalan Tanimbar, Jalan Seram, dan Jalan Sulawesi. Tempat kami berdiri tak jauh dari salah satu rumah sakit Islam terbesar di kota ini. Di seberangnya, berdiri bangunan SMAN 5 Kota Malang.

“Jadi, di kompleks SMU 5 ini, dari data yang kita punya, di zaman Belanda, belum ada apa-apa. Di peta 1937 ini, dulunya lahan terbuka atau lapangan. Lalu, data yang kita punya, di tahun 1939 pernah ada pasar malam yang dibikin perkumpulan Thiong Hwa Hwee Kwan atau THHK. THHK ini termasuk perkumpulan Tionghoa yang kesohor dan sering bikin acara pasar malam. Yang menarik, pasar malam zaman dahulu sangat jauh jika dibandingkan pasar malam zaman sekarang. Jadi, mereka benar-benar niat. Sebagai contoh, dari data yang kita dapat, mereka membuat miniatur Gunung Bromo, tingginya 23 meter dan bangunannya semi permanen,” terang Han sambil menunjuk ke foto yang dipegang Yez.

Pada sekitar tahun 1955 dan setelahnya, di atas tanah lapang ini kemudian berdiri Sekolah Ma Chung. Namun, akibat gejolak 1965, sekolah ini lalu beralih fungsi menjadi STM. Nama Ma Chung mengingatkan saya akan kampus swasta bernama sama di kota ini. Berdasarkan penuturan Han, ternyata kampus ini didirikan alumni sekolah Ma Chung.

“Oh, iya, ada satu lagi. Jadi ini adalah salah satu kegiatan di Sekolah MA Chung. Pada tahun 50-an enggak hanya dipakai sekolah, tapi juga bisa untuk kegiatan lain, seperti panggung gembira pada 14 hingga 15 Maret 1958 di Gedung Ma Chung yang dihadiri bintang film 3 Dara,” tambah Han.

Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (2)
Menara Seruling di Jalan Nusakambangan/Dewi Sartika

Cerita dari Jalan Nusakambangan

Dari area SMAN 5, kami berjalan menuju Jalan Nusakambangan yang relatif sepi meski lebar. Kanan-kiri masih tersisa deretan rumah berarsitektur kolonial yang bercampur dengan bangunan modern. Kami kembali berhenti untuk mendengarkan penuturan dari pemimpin tur.

Ternyata ada satu titik yang tidak jadi kami lewati karena keterbatasan waktu, yaitu Rumah Sakit RKZ (Rooms Katholiek Ziekenhuis) atau RS Panti Waluya. Keberadaan rumah sakit ini bermula dari klinik dokter Leber di Sawahan pada tahun 1916. Selain di Sawahan, dokter Leber juga membuka klinik di Batu. Selanjutnya, pada 1929, dokter Leber menyerahkan kliniknya kepada Ordo Karmel lalu berganti nama: Rooms Katholiek Ziekenhuis Santa Maria Magdalena Postel.

Awalnya, klinik ini hanya berada di Sawahan dan berukuran kecil. Oleh pemilik barunya, di tahun 1931 diperluas dengan membangun empat bangunan dua lantai plus paviliun. Pembangunannya dilakukan biro arsitek Smeets, Kooper & Hoogerbeets. Pada masa Jepang, rumah sakit ini melayani orang-orang Belanda yang ada di kamp interniran. Penamaan “Panti Waluya” ditetapkan setelah kemerdekaan pada 1956.

Cerita dari masa kolonial masih berlanjut. Kali ini, kami diberitahu bahwa di jalan ini masih ada menara seruling. Lagi-lagi saya terkejut mendengarnya mengingat saya cukup sering lewat Jalan Nusakambangan. Saya ingat di tempat ini ada beberapa rumah lawas yang mencolok.

“Umumnya, menara ini dibangun di sebelah gardu listrik karena membutuhkan suplai daya yang cukup besar. Jadi kalau kita lihat di MOG ada, di sebelah parkiran motor itu ada menaranya, tapi terompetnya sudah enggak ada. Di Samaan juga ada. Jadi yang tersisa masih utuh ada terompetnya di sini dan Muharto,” jelas Yez.

Yez juga menambahkan, jika dinyalakan, terompet menara ini akan berputar 360 derajat. Keberadaan menara seruling ini sendiri dimaksudkan sebagai penanda kedatangan tentara Jepang yang diprediksi akan masuk ke Hindia Belanda melalui udara. Jadi, seandainya Jepang datang, menara ini akan berbunyi sehingga penduduk bisa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Selain menara seruling, di Jalan Nusakambangan terdapat juga Gedung Cendrawasih. Dulu sering digunakan sebagai tempat pertemuan dan kegiatan kesenian, seperti konser musik Iwan Fals.

Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (2)
Han dan Yez berdiri di depan perempatan Jalan Halmahera/Dewi Sartika

Stasiun Jagalan, Riwayatmu Kini

Di pertigaan Jalan Halmahera, sebelum menyeberang, Han menerangkan tentang Stasiun Jagalan yang berada tepat di hadapan kami. Sayang, stasiunnya sudah tidak aktif dan hanya menyisakan bangunannya saja, yang saat ini dimanfaatkan untuk tempat berjualan.

Stasiun Jagalan sudah ada sejak 1897, setahun setelah Stasiun Kotalama ada. Dahulu dikenal dengan nama “Jagalan Trem”. Awalnya jalur di stasiun ini menuju selatan, lalu di tahun 1903, dibuka jalur ke utara melewati Kayutangan dan membelah Alun-alun Merdeka. Di masa kolonial, trem dipakai untuk mengangkut komoditas, seperti kopi, karet, dan hasil dari pabrik gula. Riwayat trem di Malang sendiri berakhir antara tahun 60-an atau 70-an.

Sesudah menyeberang, Han menjelaskan bahwa jalur rel bekas Stasiun Jagalan ini masih aktif karena digunakan untuk langsiran kereta BBM. Dari penjelasan Yez, saya juga tahu alasan punahnya trem di kota ini, yaitu tingkat kecelakaan trem yang cukup tinggi di masa itu dan boros bahan bakar karena menggunakan kayu jati supaya panasnya awet. Selain itu, hadirnya alat transportasi dari Jepang yang lebih murah juga menjadi penyebab lain matinya trem.

Kami menyusuri sepanjang rel Stasiun Jagalan diiringi musik dangdut dari sebuah panggung milik warga. Sisa-sisa bangunan masih tampak. Oleh warga setempat, ruangan-ruangan yang ada disekat-sekat untuk dijadikan tempat tinggal. Salah satu yang menarik adalah sisa tegel di emplasemen yang masih asli. Menurut Yez, ini disebut tegel tahu karena bentuknya kotak-kotak. Pemilihan tegel bertujuan agar tidak licin saat hujan.

Para peserta di depan bekas Stasiun Jagalan (kiri), serta bagian stasiun berupa tegel dan pilar yang masih asli/Dokumentasi Ocin via History Fun Walk Malang dan Dewi Sartika

Permukiman MSM dan Pandjeshuis

Usai melewati sentra barang bekas Pasar Comboran, kami sampai di perempatan Jalan Halmahera dan Jalan Tanimbar yang juga dilalui rel kereta. Di bawah terik matahari, kami berdiri menyeberang lalu berdiri di pojokan Jalan Halmahera. Sekilas, Han menjelaskan mengenai permukiman para pekerja Malang Stoomtram Maatschappij (MSM). Memang, di Pasar Comboran masih berdiri beberapa rumah peninggalan kolonial. 

Tak hanya itu saja, kantor MSM juga berada di lokasi ini, tetapi bangunannya sudah hilang termasuk juga rumah dinas petinggi MSM yang terletak di seberang jalan kantor MSM. Berdasarkan data yang ia peroleh dari komunitas pencinta trem Malang, Han menjelaskan bahwa rumah-rumah ini dibangun kemungkinan bersamaan dengan Stasiun Jagalan. Kompleks perumahan para pekerja MSM ini juga dilengkapi sekolah. 

Selanjutnya, kami bergeser beberapa meter dari tempat kami berdiri, menuju depan kompleks pegadaian yang cukup luas. Tepat di samping bangunan utama pegadaian, terdapat rumah dinas pimpinan pegadaian bergaya kolonial.

  • Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (2)
  • Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (2)

“Bangunan ini dulu bernama pandjeshuis Kotalama atau rumah pegadaian. Jadi, pandjeshuis ini adalah pandjeshuis kedua di Kota Malang. Dan yang pertama ini, posisinya ada di depan trem yang dibangun 1927. Kemudian yang kedua dibangun tahun 1931. Dibangunnya pandjeshuis pertama dan kedua yang berdekatan ini cukup menarik. Kenapa? Dulu, pegadaian ini laris manis,” terang lelaki kelahiran 1997 itu.

Jalan Taman Riau di seberang Pegadaian juga punya cerita. Dulunya, Jalan Taman Riau ini  bernama Edward Soesman Plein. Edward Soesman adalah seorang Indo yang pernah menjadi anggota dewan Kotapraja Malang. Adanya permukiman kaum Indo ini tak lepas dari adanya diskriminasi yang mereka terima sehingga memutuskan untuk membuat permukiman khusus untuk golongan Indo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dewi Sartika

Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menjelajahi Peninggalan Kolonial di Bouwplan VI Kota Malang dan Sekitarnya (1)