Boja, pada abad XVIII–XIX, dikenal sebagai salah satu bagian dari kawasan perkebunan karet yang cukup masyhur di Jawa Tengah kala itu. Karet yang dihasilkan berkualitas ekspor, dan menjadi komoditas yang menggiurkan bagi pemerintah kolonial Belanda. Meski perkebunan tersebut dimiliki gabungan beberapa tuan tanah, pengawasan tetap dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah Belanda lantas menempatkan beberapa pegawai pemerintahan, termasuk asisten residen di Boja, untuk menjaga keselamatan aktivitas warga Belanda dan hegemoni atas wilayah perkebunan karet. Seiring berjalannya waktu, banyak warga Belanda di Boja yang bekerja di sektor perusahaan atau pemerintahan kemudian bermukim di sekitarnya.
Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat bumiputra maupun Tionghoa, yang lebih dulu menetap di Boja. Tidak sedikit dari mereka akhirnya menjalin pernikahan dengan pribumi atau Tionghoa, karena warga Belanda yang datang ke Indonesia kala itu tanpa membawa sanak keluarga.
Pernikahan mereka untuk bertahan hidup dan menjaga keselamatan satu sama lain. Sebagai akibatnya, banyak anak Indo-Belanda yang terlahir. Meski mereka tergolong kelompok elit, tidak sedikit dari mereka yang bermukim di perkampungan hingga wafat, lalu dimakamkan di pemakaman bumiputra pada umumnya.
Tidak sedikit karena permintaan mendiang dan keluarga, mereka dikuburkan berdampingan bersama keluarga bumiputranya di Europeesche begraafplaats (pemakaman Eropa), seperti makam Kristen Meteseh, Boja.

Membuka Tabir Kematian Pemuda Belanda
Banyaknya jejeran batu nisan berinskripsi bahasa Belanda di sini, tentu banyak juga menyimpan cerita masa lalu yang menunggu untuk diungkap. Setelah membaca batu nisan di urutan pertama secara saksama, perhatian kami terfokus pada satu makam rebah berukuran besar di tengah kompleks.
“Onze Geliefde Zoon, F.C.W. Kraaikamp. Ini makam anak laki-laki muda namanya F.C.W. Kraaikamp?” tanya Michael dengan aksen bahasa campuran Belanda dan Inggris. “Iya, benar. Ia wafat muda karena mengalami kecelakaan saat berburu bersama ayah dan rekannya,” jawabku.
Michael dan Theresia terdiam sejenak, tidak menyangka mendengar fakta tragis tersebut. Merujuk catatan yang diberikan Hans Boers sehari sebelumnya, F.C.W. Kraaikamp bernama lengkap Frans Cornelis Willem Kraaikamp. Lahir di Ambarawa, 5 April 1890 dan wafat usia 20 tahun di Boja, 25 September 1910.
Akrab disapa Kraaikamp Junior, merupakan salah satu putra kesayangan pasangan prajurit Belanda di perang Aceh, yakni Willem Cornelis Kraaikamp dan sang ibu yang tidak diketahui namanya. Sebelum berkarier di militer, Willem Cornelis Kraaikamp merupakan pengawas Perkebunan Kaliwoengoe di Kendal.
Ia berkarier di militer atas desakan kedua orang tuanya kala itu. Willem Cornelis Kraaikamp mengawali karier perwira militer sejak 3 Desember 1881, dengan tugas pertama menjadi prajurit perang di Aceh hingga tahun 1884. Sebagai prajurit perang, tentu ia sering cedera serius hingga berat.
Pada 25 Mei 1885, ia lantas memutuskan istirahat sejenak dari militer. Ia menghabiskan waktu di Semarang untuk proses penyembuhan lengan kirinya yang rusak parah akibat berperang di Aceh. Tidak lama kemudian, ia kembali ke militer dengan kondisi lengannya masih belum sembuh total, untuk ditempatkan di Bagelen, Purworejo.
Saat berdinas, ia kembali cedera saat kerusuhan pecah di kamp militer prajurit Nias dan Ambon di Bagelen. Ketika itu ia diberi tanggung jawab mengendalikan kerusuhan agar tidak meluas ke kamp lain. Akibatnya, ia kembali terluka di lengan kirinya. Hingga akhirnya, ia harus menerima kenyataan pahit. Lengan kirinya harus diamputasi dan sejak 28 Mei 1886 memutuskan pensiun dari militer.
Pascapensiun, Willem Cornelis Kraaikamp kembali bekerja sebagai pengawas Perkebunan Kopi Bandjarredjo Kendal hingga Agustus 1887. Satu bulan kemudian, ia memutuskan pindah bekerja di Perkebunan Klein-Getas Boja, hingga naik pangkat sebagai pengawas perusahaan.
Tanggal 13 Desember 1900, ia pindah bekerja di perusahaan Perkebunan Kebonaroem Klaten. Namun, takdir berkata lain. Tahun 1905, ia kembali bekerja di Klein-Getas hingga 17 Desember 1925, bertepatan dengan upacara perayaan ke-25 tahun pengabdiannya di perusahaan.


Bertaruh Nyawa saat Berburu
Minggu pagi, 25 September 1910, yang semula direncanakan sebagai hari baik tiba-tiba berubah menjadi nahas untuk keluarga Willem Cornelis Kraaikamp. Bagaimana tidak, putra tersayang wafat akibat pesta berburu babi hutan yang diselenggarakan oleh W.C. Kraaikamp, pengawas perusahaan Klein-Getas yang bekerja sama dengan perusahaan Perkebunan Kopi Plantoekan.
Kegiatan berlangsung meriah. Dihadiri kolega Willem Cornelis Kraaikamp, rekan Frans Cornelis Willem Kraaikamp, serta warga Belanda di Boja dan Semarang. Perburuan dilakukan dengan metode drijf jacht, yaitu hewan buruan digiring oleh pegawai perkebunan dan anjing pemburu untuk diarahkan agar tidak melarikan diri dari jangkauan tembak.
Ketika belum semua pemburu menempati pos, gonggongan anjing pemburu mengisyaratkan hewan buruan telah ditemukan. Mereka pun segera menempati pos untuk mendapat sasaran tembak terbaik. Kraaikamp Junior turut serta dalam perburuan dan menempati pos yang ditutupi semak liar di sudut pos Eugene van Dubois, kolega sang ayah.
Perburuan seketika menjadi bencana. Eugene van Dubois tiba-tiba mendengar sesuatu bergerak dari areal semak liar. Setelah memastikan sumber suara, ia melihat keberadaan seekor babi hutan buruan. Dubois segera mengangkat senapan dan menembak babi hutan tersebut, tetapi peluru meleset dari sasaran.
Nahas, peluru yang meleset tersebut mengenai kepala Kraaikamp Junior. Ia wafat di lokasi beberapa menit pascakejadian dengan mengucapkan kata-kata terakhir, “Oh, Tuhan.” Kraaikamp Junior terjatuh ke tanah dengan luka tembak di kepala.
Sang ayah awalnya tidak tahu jika anaknya tertembak. Awalnya, ia hanya mendengar suara tembakan kemudian disusul teriakan seorang pemburu yang ia sangka telah mengenai sasaran. Ternyata, teriakan tersebut menyebut nama Kraaikamp yang sudah terbaring di tanah. Ia tahu setelah ada pemburu yang memberikan informasi jika sang putra tertembak di pos berburunya.


Willem Cornelis Kraaikamp dan sang istri jatuh pingsan, tidak kuasa melihat tubuh sang putra terbaring kaku tak bernyawa. Kegiatan berburu langsung dihentikan saat itu juga. Tidak lama kemudian, jasad Kraaikamp Junior kemudian dipindah ke rumah sakit di Semarang untuk diautopsi.
Memendam rasa sedih dan terpukul yang sangat berat, Willem Cornelis Kraaikamp segera mengangkat senapan yang masih terisi peluru, yang kemungkinan akan digunakan membalas perbuatan tidak sengaja dari van Dubois. Untungnya hal tersebut urung dilakukan, karena berhasil dicegah rekan-rekannya. Sementara, van Dubois sudah disembunyikan lebih dahulu oleh rekan-rekan pemburu lain untuk mencegah hal buruk terjadi.
Usai autopsi, jasad Frans Cornelis Willem Kraaikamp diserahkan kembali ke pihak keluarga untuk dimakamkan. Pemakaman dilakukan di makam Kristen Meteseh, karena Willem Cornelis Kraaikamp masih bekerja sebagai pengawas perusahaan Klein-Getas. Sayang, hingga akhir tahun 1925 tidak tercatat kabar hubungan kedua keluarga.
Michael dan Theresia tertegun diam seribu bahasa, setelah mendengar cerita kelam dari Frans Cornelis Willem Kraaikamp yang makamnya berada tepat di hadapan kami. Seakan kami dibawa kembali berimajinasi hidup bersama keluarga Kraaikamp Junior, mengenang perjalanan hidupnya yang tragis.
“Dia (Frans Cornelis Willem Kraaikamp) tertembak secara tidak sengaja saat sembunyi di rumput, menunggu hewan buruan. Nahas sekali nasibnya. Saya bisa merasakan duka mendalam sebagai sang ibu melihat anaknya wafat (begitu) tragis,” ungkap Theresia. Michael pun menimpali, “Kita sebagai orang tua ikut merasa duka atas apa yang kamu ceritakan. Itulah fakta, harus kita terima.”

Selain mengobrol, kami juga mendokumentasikan seluruh makam Belanda yang tersisa sebagai bekal kami melakukan penyelamatan di kemudian hari. Tak lupa mendoakan mereka yang telah beristirahat dalam damai.
Jarum jam menunjukan pukul 13.40, kami putuskan melanjutkan ekspedisi dan santap siang di bekas landhuis di tengah perkebunan karet Mijen, Semarang. Jaraknya 20 menit dari Meteseh ke area yang kini menjadi resto Kopi Kebun. Perjalanan di Boja kami akhiri, tetapi ekspedisi melacak jejak peninggalan keluarga Rudolph Louis d’Abo dan Johanne Agustinus Dezentje masih berlanjut.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.