Di antara sesak euforia Kota Bandung yang kian tenggelam dalam modernitas, berdiri sebuah studio seni sederhana namun hangat, yang nyaris tidak menghadirkan ekosistem kekinian yang bersifat temporer serupa tempat lain pada umumnya. Dari apa yang penulis lihat, Studio Rosid tampak tidak dirancang dengan arsitektur eksklusif nan “kalcer” seperti halnya ruang-ruang kreatif urban hari ini.
Namun, karena ia tidak hanyut dalam arus popularitas instan, Studio Rosid menyimpan kemewahan yang tak bisa secara eksplisit dipahami melalui pertemuan dan tatapan pertama. Dalam kunjungan perdana, ia menuntun kita untuk menyusuri lorong waktu, bukan sebagai tamu, melainkan peziarah.
Studio ini bukan sebatas tempat puluhan karya seni bermukim. Ia adalah ruang yang dibangun oleh pengalaman, kenangan, dan dilalui oleh intuisi. Sebagai seorang seniman yang masyhur, Rosid adalah seseorang yang tidak hadir dari lingkungan yang diimpit oleh gedung-gedung pencakar langit, tetapi dari petak-petak sawah di sudut Parigi, Pangandaran. Lebih dari itu, ia tidak terbentuk dari pendidikan formal seni tinggi, tetapi dari ruang sanggar kehidupan. Perjalanan berkeseniannya dimulai dari teori yang tertulis dalam papan tulis, pun sikap keberanian membaca kompas kehidupan dengan kepekaan.
Ketika memasuki Studio Rosid, kita tak hanya sedang berkunjung ke sebuah galeri seni. Kita bahkan masuk ke dalam laboratorium narasi. Setiap sudut dinding bukan hanya dipamerkan ragam lukisan, melainkan menyimpan fragmen waktu dan pesan tersirat yang tak terlukis oleh kuas. Lebih fundamental, ada semacam keheningan di tengah kehidupan yang serba berisik: ia membawa pengunjung untuk merayakan diam, merasakan eksistensi, dan mendengarkan masa lalu yang sering kali berada dalam keadaan senyap.


Mengeksplorasi Kenangan dalam Setiap Ukiran
Sebagai ruang seni dengan ukuran yang cukup luas, Studio Rosid mempunyai beberapa ruang utama yang tersusun layaknya bagian tak terpisah dalam sebuah memoar. Pertama, tepat di belakang rumah Rosid terdapat studio dua lantai. Di sudut inilah banyak mahakarya lahir dan tumbuh. Beranjak ke lantai atas, terdapat ruang “spiritualitas” tempat seniman bekerja, sementara di lantai bawahnya kita dapat menemukan berbagai simbol personal serupa identitas visual yang mengakar.
Setelah dari sana, kita sampai di saung. Berbeda dengan sebelumnya, di sini tidak terdapat lukisan yang terpajang atau pencahayaan galeri yang dramatis. Sepersekian detik kita dipaksa untuk pergi ke masa lalu: alat-alat rumah tangga dan pertanian kuno serupa garu, anglo, tungku, hingga dandang dihadirkan bukan sebatas dekorasi tak berarti. Meski dikemas secara tak beraturan, tapi di situlah letak nilai lebihnya. Ia telah berhasil membawa kita untuk pulang pada kenangan kolektif tentang rumah dan setiap hal yang terlibat di dalamnya.
Terakhir, ada galeri utama. Di sinilah beragam karya lukis Rosid dipamerkan dalam kesenyapan. Misalnya, lukisan “Bapak”, potret sang ayah yang dibuat dengan cat akrilik. Tak dramatis, tapi mendalam. Tak sentimentil, tapi menyentuh. Dari sejumlah karya seni, ada bagian yang cukup menarik perhatian: empat bangku sekolah dari tahun 1950 yang terkonsep seolah tengah menunggu murid kembali.
Terlepas dari konsep dan tema yang dihadirkan, ada alasan mengapa Studio Rosid mempunyai karakter autentik dan berbeda dengan ruang seni pada umumnya, yakni kepercayaan bahwa setiap benda mempunyai energi dan perasaan. Tidak hanya benda yang dilahirkan dari tangan sendiri, tapi juga benda yang ia temukan untuk hadir dalam ruang pameran.
Karya Seni yang Dicerna, Bukan Hanya Diproduksi
“Apa yang saya alami, apa yang saya ungkapkan,” begitulah sepenggal kalimat sederhana dari seniman Rosid yang dapat diterjemahkan dari segala sisi. Di balik setiap instalasi, lukisan atau objek lain yang dipamerkan, ada proses refleksi yang tak singkat. Baginya, seni tidak lahir dari keinginan untuk “menciptakan sesuatu yang indah”, tetapi dari kebutuhan untuk memahami sesuatu yang esensial. Oleh sebab itu, sejumlah karyanya kadang terasa tak terlalu eksis dalam panggung utama. Mereka hadir pelan-pelan, tiba pada manusia yang membutuhkan, dan mengendap pada perasaan.
Pameran Wahana Warna menjadi salah satu karya kuratorial yang sempat diselenggarakan Studio Rosid. Bagi sebagian orang, pameran ini bukan cuma menghadirkan teori soal warna atau eksperimental visual belaka. Ia merupakan perjalanan untuk merasakan, bukan sekadar melihat lalu melupakan. Perpaduan warna yang cerah dan kontras yang dihadirkan justru mempertebal bagaimana ruang dapat menjadi kanal emosional, tidak hanya visual.
Dari apa yang penulis peroleh dari sejumlah sumber terkemuka, selain berkarya di ruang seni rupa, Studio Rosid juga tak sedikit berkontribusi dalam bisnis lokal melalui desain identitas visual. Lagi-lagi, ia tidak hanya “merancang”. Ia terlibat secara esensial, memahami karakter, dan mencoba menerjemahkan identitas lokal ke dalam bahasa visual yang relevan dan kontekstual. Melalui kerja seperti itu, seni yang mereka lahirkan tidak hanya indah secara visual, tapi juga hadir dalam makna yang mendalam.
Di tengah algoritma yang bergerak begitu cepat dan instan, Rosid justru konsisten bukan hanya untuk melawan arus, melainkan bertahan dalam sikap untuk bergerak secukupnya, dan penuh perasaan. Hasilnya, ia mampu menciptakan seni yang tidak hanya mengesankan, tapi juga membekas dalam ingatan dan perasaan.


Varian menu kopi (kiri) dan nasi goreng kunyit kencur khas Studio Rosid/Dokumentasi Studio Rosid
Secangkir Kopi, Menikmati Kesunyian Karya Seni
Kehadiran sebuah kafe kecil di antara segudang karya seni terpajang menjadi pengalaman utuh di Studio Rosid. Katanya, kala itu, tempat ini sempat diperuntukkan sebagai kantor pribadi. Sekarang, ia dialihfungsikan menjadi tempat bagi siapa pun untuk duduk terdiam, menyelami masa lalu dalam lamunan maupun berdiskusi dengan banyak orang. Serupa galeri, kafe ini juga menyimpan suasana dan bukan gimmick semata. Benda-benda dari anyaman kayu tergantung di sejumlah tembok. Di mejanya, kita pun dapat menyaksikan sisa-sisa dialog, sehelai kertas catatan kecil, atau buku-buku kumal yang tertinggal.
Sebagai sebuah kafe, menu yang disajikan pun cukup variatif meski dikemas penuh kesederhanaan. Kopi susu dengan taburan kayu manis, atau coffee cube yang disajikan dengan susu terpisah menjadi pilihan yang tepat bagi sebagian orang. Varian minuman yang tidak hanya enak di lidah, tetapi juga menyatu dengan suasana ruang yang penuh dengan cerita yang terdokumentasi. Dengan rasa kopi yang pas dan tak berlebihan, serupa karya seni Rosid, ia tidak hadir untuk mendominasi.
Bagi yang hendak merencanakan hadir dan terlibat untuk menyelami masa lalu di Studio Rosid, ia menyediakan banyak fasilitas seperti Wi-Fi, musala, perpustakaan mini, toilet dengan konsep artsy, hingga sejumlah spot foto dengan nuansa tempo dulu yang begitu kental. Di sini, para pengunjung tidak dapat bergerak dengan terburu-buru. Ia mengajak kita untuk berjalan perlahan, sunyi, dan mendalam.
Menghadapi intensitas kehidupan yang begitu cepat, Studio Rosid hadir sebagai pengingat bahwa tidak semua yang tertinggal akan mudah tertanggal. Ada masa lalu yang tidak semuanya harus kita hakimi lalu dilupakan. Karena dari sejarahlah kita bisa belajar cara merasa, memahami, dan mungkin cara bertahan dari dinamika kehidupan yang tampak terasa berulang: antara luka, kenangan, dan pertanyaan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.