ITINERARY

Satu Hari di Banyuwangi: Hutan, Batik, Pantai, dan Kuliner

Banyuwangi membuat saya percaya, bahwa satu hari pun cukup untuk menjelajahi aneka destinasi wisata sebuah kota. Pagi itu, rasa semangat saya cukup tinggi untuk mengeksplorasi beberapa daftar destinasi yang sudah dibuat oleh pihak penyelenggara open trip. Meskipun padat, tetapi sangat beragam dan saya rasa akan menyenangkan. 

Saat itu adalah hari pertama saya dan teman saya, Adin, di Banyuwangi. Kami memilih Banyuwangi sebagai tujuan liburan di salah satu long weekend bulan Mei 2025, karena banyaknya pilihan destinasi wisata. Kami memilih ikut open trip untuk memudahkan perjalanan selama di Banyuwangi. Selain praktis, kami juga berharap bisa bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru dari berbagai daerah, yang tentunya bisa membuat perjalanan lebih seru.

Dari De Djawatan ke Tatsaka Batik

Perjalanan dimulai sekitar pukul 08.00 WIB, dengan destinasi pertama De Djawatan, Benculuk, Banyuwangi. Begitu sampai, kami langsung disambut deretan pohon trembesi raksasa yang menjulang tinggi, seperti masuk ke dunia fantasi. Tempat ini bisa dikatakan sebagai hutan yang berada tak jauh dari kota. 

Infonya, dahulu kawasan ini merupakan bekas tempat penimbunan kayu milik Perhutani. Bagi yang ingin ke Banyuwangi, De Djawatan mungkin bisa menjadi salah satu destinasi yang harus dikunjungi, karena sangat jarang menemukan pemandangan serupa di tempat lain. Berfoto di sini akan sangat mudah ditebak jika sedang berada di De Djawatan. 

Ada fasilitas tambahan yang disediakan pengelola, seperti jembatan kayu dan rumah pohon, lalu wahana macam delman dan ATV untuk berkeliling. De Djawatan cocok untuk dijelajahi pagi hari saat cahaya matahari masih menyusup malu-malu. Buat saya pribadi, tempat ini pembuka yang pas untuk petualangan satu hari di Banyuwangi.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Tatsaka Batik, sebuah rumah produksi batik yang menjual dan juga memperlihatkan proses pembuatannya. Dari De Djawatan hanya perlu menempuh waktu sekitar 10 menit saja. Benar-benar sebentar tapi sudah masuk dunia berbeda.

Kami diajak berkeliling area produksi, melihat para perajin sedang sibuk dengan kain-kain batik. Ada yang mencanting, ada yang membuat batik cap. Beberapa perajin juga menjelaskan motif-motif khas Banyuwangi. Yang paling terkenal adalah Gajah Oling, yang katanya sudah lama menjadi warisan masyarakat Osing Banyuwangi. Ada pula Kopi Pecah, Sekar Jagad, dan Paras Gempal. Masing-masing motif punya filosofi tersendiri.

Beberapa peserta mencoba ikut mencanting, ada pula yang membeli kain batik sudah jadi. Sementara itu, di halaman luas di seberang ruangan membatik, kami melihat proses pewarnaan dan penjemuran kain. Kain-kain yang sudah bermotif dicelup ke dalam larutan pewarna, lalu dijemur berjajar di bawah matahari, menciptakan pemandangan penuh warna yang menarik mata. Untungnya, hari itu matahari sedang bersinar terik.

Usai mengunjungi De Djawatan dan melihat kerajinan batik, kami kembali ke bus. Sekitar pukul 11.20 WIB, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Mustika yang akan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Sayangnya, saya sempat tertidur sehingga tidak memperhatikan pemandangan sepanjang jalan. Saya terbangun ketika sudah hampir sampai lokasi.

Pantai Mustika dan Green Island

Di Pantai Mustika, kami beristirahat sejenak sebelum melanjutkan penyeberangan ke Green Island. Semua peserta makan siang yang sudah disiapkan oleh pihak open trip. Sebagian lanjut beribadah di musala kecil Pantai Mustika. Setelah itu, sejenak kami duduk lesehan di atas rerumputan yang menghadap langsung ke pantai. 

Kami sangat bersyukur cuaca hari bersahabat. Di depan mata, hamparan laut luas terbentang, dengan air yang jernih dan gradasi warna biru kehijauan berpadu dengan birunya langit. Di kejauhan, tampak sebuah gunung menjulang, yang saya kurang tahu namanya.

Setelah cukup beristirahat di tepi Pantai Mustika, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya: Green Island. Dengan menaiki kapal kecil yang sepertinya milik nelayan setempat, kami menyeberang sekitar 15 menit. Ombak tidak terlalu besar, tapi dengan tambahan angin laut percikan ombak menerpa wajah dan tangan saya yang menggenggam sisi kapal.

Begitu kapal bersandar di pinggir pulau, kami disambut hamparan batu dan karang. Kami harus melangkah hati-hati, mencari pijakan di antara batu-batu licin yang basah oleh ombak. Kemudian kami menyusuri jalur pendakian menuju puncak Green Island.

Jalur pendakian sudah cukup tertata. Jalanan tanah sudah dibuat menyerupai tangga dan di beberapa bagian terdapat pegangan kayu untuk menjaga keseimbangan. Meskipun tidak terlalu panjang, tanjakannya cukup menguras tenaga, terlebih saat itu matahari sedang terik dan kami hanya mengenakan sandal pantai. Untungnya, di sepanjang jalur tersedia beberapa kursi kayu untuk beristirahat, ditandai pula dengan tulisan pos dan urutan angkanya.

Satu Hari di Banyuwangi: Hutan, Batik, Pantai, dan Kuliner
Pemandangan dari puncak Green Island/Nita Chaerunisa

Setibanya di puncak, kami harus mengantre supaya bisa berfoto di ujung tebing yang ikonis dengan pagar kayu sederhana. Bahkan pihak pengelola sudah menyiapkan nomor antrean, yang diurus oleh pihak open trip. Saya sangat mengapresiasi pihak pengelola di Green Island yang sepertinya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk wisatawan.

Untungnya, perjuangan dan penantian kami terbayarkan. Dari atas tebing, pandangan terbuka ke arah laut lepas dan gugusan pulau-pulau kecil yang berserakan di kejauhan. Inilah titik yang sering dijuluki “Raja Ampat”-nya Banyuwangi. Laut yang terbentang dengan biru muda bercampur toska. Di kejauhan, gugusan bukit-bukit kecil dengan vegetasi hijau tampak seperti pulau-pulau mini. Meskipun saya belum pernah ke Raja Ampat secara langsung, tapi kalau dari foto-foto di media, lanskap yang tersaji di depan mata saya saat itu memang mirip dalam versi lebih sederhana.

Setelah puas menikmati pemandangan dari puncak, kami menuruni jalur yang sama untuk kembali ke bawah. Sebelum kembali ke perahu, kami melipir sebentar ke pantai Green Island. Pasirnya putih sangat lembut di kaki, tetapi tidak dengan ombaknya yang kerap menghantam karang di tepian pantai. 

Satu Hari di Banyuwangi: Hutan, Batik, Pantai, dan Kuliner
Langit senja di Pulau Merah/Nita Chaerunisa

Menunggu Sunset di Pulau Merah

Dari Green Island, kami kembali menyeberang ke Pantai Mustika dan melanjutkan perjalanan darat menuju Pulau Merah, sekitar 15 menit perjalanan. Meskipun berdekatan, suasana Pulau Merah jauh lebih ramai dibanding Pantai Mustika. Kami diberi kebebasan untuk menjelajahi Pulau Merah sampai matahari tenggelam. Infonya, Pulau Merah menjadi salah satu tempat melihat sunset terbaik di Banyuwangi.

Tak jauh dari area parkir, deretan warung makan dan kios jajanan berjajar rapi. Namun, saya dan Adin tidak mampir. Kami memilih berjalan santai di sepanjang pantai, bermain air di pinggiran, dan berfoto-foto dengan berlatar bukit kecil yang yang menjadi ikon utama tempat ini. Adapun beberapa peserta lain saya lihat melipir ke warung untuk membeli es kelapa dan makanan lainnya.

Di Pulau Merah ini juga terdapat beberapa wahana air yang dapat dinikmati pengunjung sambil menunggu sunset, seperti banana boat dan rolling donut untuk keliling bukit Pulau Merah. Meski matahari sore itu tertutup awan di beberapa bagian, tapi semburat cahayanya tetap menakjubkan. Langit mulai berubah, dari biru terang perlahan menjadi jingga, lalu memudar ke ungu lembut.

Satu Hari di Banyuwangi: Hutan, Batik, Pantai, dan Kuliner
Sepiring sego tempong di warung Mbok Nah/Nita Chaerunisa

Menutup Hari dengan Nasi Tempong

Matahari telah benar-benar tenggelam saat kami meninggalkan Pulau Merah. Dari Pulau Merah, kami harus menempuh perjalanan sekitar dua jam menuju hotel yang berada di pusat kota. Sesampainya di hotel, saya dan Adin memilih mencari makan terlebih dahulu. Warung Sego Tempong Mbok Nah menjadi tujuan kami, yang letaknya bahkan tidak mencapai satu kilometer dari hotel.

Warung Sego Tempong Mbok Nah layaknya warung makan sederhana pada umumnya. Saat itu warung tampak ramai pengunjung yang datang silih berganti. Kursi yang ada tidak sampai berlarut lama berganti penghuninya. Sistemnya, kami mengantre untuk memilih langsung pilihan menu yang ada di etalase kaca. Nantinya, menu akan diambilkan oleh pelayan ke atas piring. Setelah pilih menu, bisa langsung bayar di kasir lalu kemudian mencari meja makan.

Sepiring nasi putih hangat, sayur rebus (berisi campuran daun pepaya, kenikir, dan kacang panjang), tempe goreng, tahu goreng, ikan asin, dan—yang jadi pemeran utamanya—sambal tempong. Itu adalah sepiring nasi tempong biasa. Saya menambahkan sate ati ampela sebagai lauk pendamping. Lalu untuk minum, saya hanya pilih teh tawar hangat saja. Total yang harus saya bayar ternyata hanya Rp26.000. Porsi besar, rasa enak, dan suasana warung bersahaja di pinggir jalan Banyuwangi menjadi penutup hari panjang yang sempurna. Kembali ke hotel dengan perut kenyang dan perasaan senang, yang menjadi bekal tidur nyenyak saya di malam itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Perempuan Jakarta yang tertarik dengan keindahan alam, budaya, dan cerita masyarakat Indonesia.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Mendaki Ijen Tidak Selalu tentang Matahari Terbit atau Api Biru