TRAVELOG

Menyibak Kabut Kenangan di Taman Nasional Way Kambas

Tak semua perjalanan dimulai dengan rencana besar. Sebagian dimulai dari keinginan yang sederhana, keinginan untuk menyapa masa lalu, menjabat tangan kenangan yang dulu hanya hinggap di halaman buku pelajaran.

Seperti itulah awal perjalananku bersama dua sahabat menembus tanah Lampung. Tanpa ekspektasi tinggi, kami memutuskan untuk mengunjungi Taman Nasional Way Kambas, sebuah nama yang dulu hanya kubaca di buku RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap). Deretan judul berupa huruf-huruf yang terdengar asing namun ajaib di telinga bocah SD yang belum pernah menyeberang lautan, belum pernah melihat gajah secara langsung, apalagi berjalan dalam hutan rimba.

Kami tiba di pagi yang lembut. Langit Lampung seperti membentangkan selimut abu tipis, dan udara pagi mengandung aroma dedaunan yang basah. Tak ada dentuman drum sambutan, tak ada baliho besar menyambut kami. Hanya keheningan dan desir angin, seolah semesta sendiri yang sedang bersiap mengantar kami memasuki ruang alam yang sakral.

Di pintu masuk balai taman nasional, kami melakukan registrasi. Prosedur ini bukan hanya urusan administratif, melainkan juga seperti sebuah gerbang transisi antara dunia kota yang gaduh dengan rimba yang sunyi. Setelahnya, seorang ranger (jagawana) berpakaian hijau rimba, dengan senyum ramah dan langkah mantap menjadi penunjuk jalan kami.

Trekking akan memakan waktu beberapa jam. Kita akan bertemu dengan para penghuni utama Way Kambas,” ucapnya sambil menyusuri jalur tanah merah yang mulai mengering.

Menyibak Kabut Kenangan di Taman Nasional Way Kambas
Titik awal dalam melakukan jungle trekking di Taman Nasional Way Kambas/Wiwik Eka Nopariyanti

Jejak dan Napas Hutan

Langkah demi langkah, kami masuk ke kerimbunan hutan. Semakin jauh kaki melangkah, semakin pudar suara dunia luar. Digantikan dengan bunyi alam yang murni. Burung saling bersahutan, daun-daun berbisik, ranting patah di bawah kaki, dan sesekali, suara berat seperti napas raksasa.

Dan benar saja, tak lama kemudian kami mulai bertemu dengan para gajah.

Di kejauhan, seekor gajah besar berjalan perlahan, diikuti oleh dua lainnya. Tubuhnya keabu-abuan, dengan kulit kasar yang seperti dipahat oleh waktu. Meski besar dan kuat, ada kelembutan dalam geraknya. Ia seperti membawa kebijaksanaan yang hanya dimiliki makhluk yang telah melihat banyak musim, menyimpan banyak rahasia hutan.

Kami berhenti, membiarkan mereka lewat. Tak satu pun dari kami berbicara. Hanya mata yang merekam, hati yang mencatat.

Menyibak Kabut Kenangan di Taman Nasional Way Kambas
Potret seekor gajah sedang bermain di kubangan lumpur/Wiwik Eka Nopariyanti

Anak Gajah dan Gerimis

Kami semakin dalam memasuki kawasan konservasi. Hujan rintik turun seperti perkenalan lembut dari langit. Gerimis menyelimuti hutan dalam warna kelabu yang hangat.

Di saat itu, kami melihat sebuah pemandangan yang menggugah jiwa.

Seekor anak gajah tengah berdiri tepat di balik tubuh besar sang induk. Matanya besar dan polos, telinganya bergerak gelisah seperti daun yang digoyang angin. Ia tampak ingin berlindung, mendekap hangat tubuh induknya dari gerimis dan—barangkali—juga dari tatapan manusia yang asing baginya.

Aku mendekat pelan, mencoba menangkap ekspresi kecil makhluk menggemaskan itu. Tapi sang induk sigap. Ia sedikit memutar tubuh, seolah berkata: cukup sampai di sini, kami baik-baik saja, tapi jangan terlalu dekat. Sebuah isyarat keibuan yang tak perlu diterjemahkan dalam bahasa manusia.

Saat itu, tanpa kata-kata, aku merasa telah memahami sesuatu. Tentang naluri perlindungan, tentang rasa aman, dan tentang betapa hangatnya pelukan alam terhadap penghuninya.

Menyibak Kabut Kenangan di Taman Nasional Way Kambas
Anak gajah sedang berlindung di balik sang induk gajah untuk menghindari gerimis/Wiwik Eka Nopariyanti

Memandikan Raksasa yang Lembut

Setelah trekking, kami diajak menuju sungai kecil di dalam kawasan. Di sanalah, dengan pengawasan para jagawana, kami ikut serta dalam aktivitas memandikan gajah.

Memandikan gajah bukan perkara mudah. Meski mereka jinak dan terlatih, tubuh mereka tetaplah raksasa. Namun, justru di sanalah letak magisnya. Kami menyentuh kulit mereka yang tebal, menyiramkan air ke tubuhnya, dan melihat mereka berguling dengan ceria. Terkadang mereka menyemprotkan air dari belalai ke udara, seperti sedang bermain-main.

Ada tawa yang mengalir di antara cipratan air. Tawa kami, dan barangkali tawa mereka juga jika gajah bisa tertawa.

Di momen itulah aku menyadari, bahwa interaksi seperti ini bukan hanya mengenai manusia yang ingin dekat dengan alam, melainkan tentang alam yang memberi kesempatan kepada manusia untuk belajar kembali. Untuk tahu caranya menyentuh dengan hati, bukan hanya dengan tangan.

Way Kambas: Rumah Para Gajah, Cermin Kemanusiaan

Way Kambas bukan sekadar destinasi. Ia adalah rumah. Tempat gajah-gajah sumatra, salah satu spesies endemik yang kian langka itu, bisa hidup dan berkembang tanpa harus merasa terancam. Di sini, rimba menjadi pelindung, jagawana menjadi penjaga, dan setiap daun menjadi saksi keberlangsungan kehidupan.

Namun, kenyataan tak selalu seindah itu. Gajah sumatra kini termasuk dalam spesies yang sangat terancam punah. Perburuan liar, perusakan habitat, dan konflik dengan manusia membuat jumlah mereka terus menurun. Way Kambas menjadi salah satu benteng terakhir di Sumatra, tempat harapan bertahan untuk masa depan mereka.

Melihat mereka dari dekat, memantau bagaimana anak gajah berlindung pada induknya, bagaimana mereka mandi dan bermain, menjadikan kami lebih dari sekadar pelancong. Kami menjadi saksi, dan kesaksian itu menumbuhkan tanggung jawab.

Imajinasi yang Menjelma, dan Pesan yang Tertinggal

Saat kami meninggalkan kawasan Way Kambas, langit sudah mulai cerah. Rintik hujan berhenti, digantikan sinar mentari yang menembus celah dedaunan. Dalam perjalanan kembali, aku terdiam. Tak lagi sekadar membayangkan Way Kambas dari halaman buku. Kini aku telah merasakannya, menghirup udaranya, hingga menyentuh kulit gajah-gajahnya.

Di balik semua pengalaman itu, terselip satu harapan yang tak boleh padam, yaitu agar hutan ini tetap utuh. Aku berharap anak-anak gajah terus tumbuh di bawah lindungan induknya, agar manusia semakin sadar bahwa konservasi bukan pilihan, melainkan kewajiban.

Sebab, pada akhirnya, menjaga gajah berarti menjaga diri kita sendiri. Di dalam rimba ini, di balik tubuh besar para gajah, tersembunyi cermin kemanusiaan kita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penggemar traveling yang percaya bahwa setiap perjalanan adalah peluang untuk belajar, bertemu budaya baru, dan berbagi cerita.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Memuliakan Durian Candimulyo