TRAVELOG

Menelusuri Jejak Kolonial Semasa Kepemimpinan G. J. Dijkerman di Surabaya

Pada suatu pagi di bulan Juni 2025, saya memutuskan mengikuti sebuah acara walking tour yang ada di Kota Surabaya. Pagi-pagi sekali saya sudah bersiap mendatangi lokasi yang menjadi titik kumpul dari walking tour tersebut. Kali ini, Komunitas Oud Soerabaja Hunter selaku pihak penyelenggara mengambil tema “Dijkerman”. Mungkin akan cukup asing mengingat sejatinya tema tersebut diambil dari sebuah nama.

Nama yang saya maksud di sini adalah mendiang wali kota atau saat masa kolonial dikenal burgemeester Kota Surabaya, Gerrit Jan Dijkerman atau G. J. Dijkerman. Dalam rekam jejak sejarahnya, beliau adalah mantan wali kota Surabaya yang menjabat pada periode 1920–1926. Tentunya masa-masa kepemimpinan beliau tak pernah saya rasakan karena memang belum lahir saat itu.

Namun, rekam jejak G. J. Dijkerman—yang dianggap sebagai salah satu wali kota yang mendorong pembangunan Kota Surabaya di era modern—masih dapat dirasakan hingga saat ini. Banyak gedung peninggalan yang dibangun pada masa pemerintahan beliau yang masih berdiri kokoh. Mungkin hal inilah yang membuat penyelenggara walking tour, yang kebetulan adalah teman saya sendiri sekaligus tour leader, Disatia Febri, mengambil tema “Dijkerman” tersebut.

Menelusuri Jejak Kolonial Semasa Kepemimpinan G. J. Dijkerman di Surabaya
Peserta tur jalan kaki saat menelusuri Jalan Ondomohen/Zahir

Memasuki Lorong Waktu di Kawasan Kota Kolonial Surabaya

Salah satu yang terkenal pada masa pemerintahan G. J. Dijkerman di Kota Surabaya kala itu adalah cukup gencarnya beliau melakukan pembangunan di kawasan “kota atas”. Istilah “kota atas” ini sendiri merujuk pada daerah pusat kota Surabaya yang notabene dihuni oleh banyak kelompok pejabat Eropa dan golongan elit kolonial.

Perjalanan saya dimulai dari titik kumpul di gedung Balai kota Surabaya. Sedikit informasi, gedung ini juga dibangun semasa pemerintahan G. J. Dijkerman. Gedung ini mulai dibangun pada tahun 1923 oleh arsitek terkenal pada masa itu, yakni C. Citroen yang makamnya berada di kawasan Kembang Kuning, Surabaya. Gedung balai kota yang sampai saat ini masih aktif digunakan tersebut menjadi salah satu landmark dari masa kepemimpinan G. J. Dijkerman.

Pagi itu, jumlah orang yang mengikuti walking tour berdurasi sekitar 2–3 jam berkisar 20–25 orang, termasuk dengan pihak penyelenggara. Perjalanan dimulai dengan menelusuri sekitar kawasan dekat Ketabang hingga memasuki kawasan jalanan Ondomohen yang terkenal. Di jalanan sepanjang kira-kira 200 meter ini masih dapat ditemui beberapa gedung yang dibangun pada masa kolonial Belanda. Ada gedung yang masih aktif digunakan, ada pula yang sudah kosong dan terbengkalai.

Di Ondomohen, ada satu gedung yang cukup menarik perhatian saya. Gedung yang berada di antara Jalan Ondomohen (kini Jalan Wali Kota Mustajab) dan Jalan Wuni tersebut memiliki desain yang menggambarkan bangunan khas dari awal abad ke-20. Gedung tersebut kemungkinan dulunya merupakan pertokoan atau kantor. Kini sudah berubah fungsi menjadi bagian dari rumah makan.

  • Menelusuri Jejak Kolonial Semasa Kepemimpinan G. J. Dijkerman di Surabaya
  • Menelusuri Jejak Kolonial Semasa Kepemimpinan G. J. Dijkerman di Surabaya
  • Menelusuri Jejak Kolonial Semasa Kepemimpinan G. J. Dijkerman di Surabaya

Memasuki Jalan Wuni yang Dipenuhi Banyak Bangunan Lawas

Perjalanan kemudian kami lanjutkan memasuki Jalan Wuni. Di jalanan yang tidak terlalu lebar—mirip seperti kompleks jalan perumahan—tersebut memang dikenal terdapat beberapa rumah lawas dari masa kolonial, terutama abad ke-20. Beberapa rumah masih berpenghuni, tetapi ada juga sebagian yang sudah ditinggalkan tanpa penghuni. Gaya-gaya rumah dengan ciri khas Art Deco banyak dijumpai di Jalan Wuni hingga memasuki sekitar kawasan Genteng, yang juga masih bagian dari kawasan “kota atas”. 

Di seputaran Jalan Genteng pun tak kalah banyak bangunan dan rumah-rumah lama yang diklaim dibangun pada masa penjajahan Belanda di Kota Surabaya. Banyak rumah di kawasan ini memang sudah dipugar. Namun, ada banyak pula bangunan yang masih mempertahankan arsitektur aslinya.

Kegiatan walking tour pada pagi hari terbilang cukup lancar. Cuaca kota Surabaya saat itu tidak terlalu panas dan sedikit berawan, sehingga membuat para peserta tur masih semangat menjelajahi sudut-sudut jalanan yang menjadi rute dari tur tersebut.

Usai menjelajahi jalanan di sekitar kawasan Wuni dan Genteng, kami melanjutkan perjalanan memasuki gedung Siola dan Museum Surabaya. Gedung yang dulunya dibangun pada abad ke-19 ini memiliki nama Gedung Whiteaway Laidlaw, yang dulu menjadi pusat perekonomian di sekitar Jalan Tunjungan. Kini, gedung yang juga terdapat area Museum Surabaya ini berubah fungsi menjadi Mal Pelayanan Publik Kota Surabaya.

Menelusuri Jejak Kolonial Semasa Kepemimpinan G. J. Dijkerman di Surabaya
Situs Arca Joko Dolog/Zahir

Mengunjungi Kompleks Arca Joko Dolog yang Legendaris

Dalam sesi tur kali ini, kami ternyata tak hanya diajak mengunjungi kawasan-kawasan permukiman tua di sepanjang rute “Dijkerman”. Mbak Febri juga mengajak kami mengunjungi kompleks Arca Joko Dolog yang legendaris di pusat kota Surabaya.

Arca peninggalan masa lampau ini terdapat di belakang Taman Apsari, yang berada di seberang Gedung Negara Grahadi (rumah dinas Gubernur Jawa Timur). Arca Joko Dolog sendiri merupakan peninggalan dari Kerajaan Singhasari yang diyakini dibuat pada periode 1200-an. Perwujudan arca ini mengambil manifestasi dari Raja Kertanegara yang merupakan raja terakhir Singhasari.

Saat memasuki area kompleks arca, kami disuguhkan dengan banyaknya relief dan arca-arca berukuran kecil di kawasan tersebut. Arca-arca dan relief itu merupakan peninggalan dari gedung Museum Von Faber—dikenal pula Museum Mpu Tantular—yang kini sudah dipindahkan ke Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Menelusuri Jejak Kolonial Semasa Kepemimpinan G. J. Dijkerman di Surabaya
Deretan arca di kompleks Arca Joko Dolog Surabaya/Zahir

Di dalam area itu, kami bertemu dengan seorang kuncen arca yang bercerita mengenai sejarah singkat arca tersebut. Beliau menjelaskan, masih banyak penganut Hindu tradisional yang bersembahyang di kawasan Arca Joko Dolog. Bahkan, beberapa minggu sebelum kami tiba, ada sebuah acara besar yang diikuti oleh ratusan orang yang digelar di kompleks Arca Joko Dolog.

Arca Joko Dolog ibarat sebuah bukti autentik dari masa kerajaan yang ada di Kota Surabaya, sehingga tidak melulu soal peninggalan era masa kolonial. Di sisi lain, arca tersebut menjadi bukti pula bahwa perkembangan ajaran Hindu cukup masif di kawasan Surabaya dan sekitarnya pada masa lampau.

Usai meninggalkan kompleks Arca Joko Dolog, waktu menunjukkan suasana menjelang tengah hari. Cuaca yang sebelumnya sejuk mulai perlahan memanas khas kota metropolitan. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir, yakni kembali ke kawasan Balai Kota Surabaya, titik kumpul saat memulai tur. Sebelum tur berakhir, kami selalu mengucapkan salam perpisahan dan berharap berjumpa di waktu-waktu mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mahasiswa Sejarah yang hobi traveling dan menulis agar tidak hilang oleh zaman

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Gedung Tua di Bekas Pelabuhan Kalimas Surabaya