INTERVAL

75 Tahun Kang Yayat, Pendiri Wanadri yang Tinggal di “Bromo”

Achmad Hidayat masih kelas 3 SMP, ketika kumpul bareng para mantan anggota kepanduan di Pantai Pangandaran, Mei 1964. Usianya menginjak 14 tahun. Namun, dia tak khawatir, karena di situ ada kakak kandungnya, Eddy Achmad Fadillah dan sang paman Hardiman Soebari. Di antara debur ombak dan angin yang berembus kencang, mereka berembuk mencetuskan sebuah perhimpunan pendaki gunung dan penempuh rimba.

Pada momen tersebutlah Wanadri lahir. Tepatnya, 16 Mei 1964. Keenam pemuda yang duduk melingkar di atas pasir pantai itu, lantas dikukuhkan sebagai pendiri organisasi kepencitaalaman tertua negeri ini. Mereka adalah Hardiman “Harrie” Soebari (W-001 PEN), Ronny Nurzaman (W-002 PEN), Bambang Pramono (W-003 PEN), Satria Widjaja Soemantri (W-004 PEN), Eddy Achmad Fadillah (W-005 PEN), dan Achmad Hidayat/Yayat (W-006 PEN).

Kang Yayat tengah santai saat saya berkunjung ke rumahnya di Jalan Gunung Bromo 2, Kompleks Yuka no. 43, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Sesekali dia menyesap kopi hitam di gelas besar yang tersuguh di atas meja kecil, sebelah sofa cokelat.

“Sekarang ngopi sehari sekali saja,” kata Nenih Narulita, wanita yang dinikahi Kang Yayat pada 1981. Faktor kesehatan jantung, lanjut Nenih, jadi alasan sang suami mengurangi konsumsi kopi dan memutuskan berhenti merokok. “Apalagi sebulan sekali wajib kontrol ke dokter jantung,” tuturnya. 

“Iya, sekarang lebih perhatian ke kesehatan,” timpal Kang Yayat sambil mengusap dadanya. “Dokter pesan jangan pergi jauh. Kadang suka sesak juga. Jadi, banyak di rumah saja,” tambahnya.

Kang Yayat masih bisa mengendarai motor, tetapi jarak dekat. Seperti ke pasar dan rumah sakit yang tidak sampai satu kilometer. Seorang cucu perempuan tinggal bersamanya. Menghadirkan kebahagiaan tersendiri. 

Kiri: Kakak kandung Kang Yayat, Aa Ade, salah satu pendiri Wanadri yang juga anggota Polri. Kanan: Kami mengobrol di ruang tamu, lantas Kang Yayat masuk ke kamar mengambil syal Wanadri/Mochamad Rona Anggie

Panjang Umur

Saya silaturahmi ke Kang Yayat ketika semarak Merah Putih memenuhi pinggiran jalan. Kegembiraan menyambut hari kemerdekaan tampak dari Istana Negara sampai pelosok desa.

Rupanya, Agustus menjadi bulan penuh rasa syukur buat keluarga Kang Yayat. Perayaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, sekaligus penanda bertambahnya umur kakek sepuluh cucu itu.

“17 Agustus 2025, usia saya genap 75 tahun,” ujar Kang Yayat semringah.

“Kalau saya 68 tahun,” sahut Nenih yang asli Ciledug, Cirebon Timur. “Dulu aki kalau ngapel ke Ciledug. Lumayan jauh,” katanya mengenang masa menjalin hubungan dekat dengan Kang Yayat yang bekerja sebagai PNS Administrator Pelabuhan (Adpel) Cirebon.

Lebatnya hutan Gunung Burangrang/Instagram gunungburangrang2050mdpl

Lihai Tangkap Ular

Aktif dalam kepanduan membuat Kang Yayat punya pengetahuan mumpuni soal kegiatan alam terbuka. Paling menonjol terampil menangkap ular dan paham karakter hewan melata itu. 

Aki mah sok newak oray (kakek sih suka nangkap ular),” ucap Nenih, yang juga menjadi ibu sambung bagi empat anak Kang Yayat dari istri pertama yang telah wafat. 

Akan tetapi, bukannya dijauhkan dari rumah, ular malah dikumpulkan di kamar. Membuat penghuni rumah ketakutan. Khawatir binatang berbisa itu lepas dan berkeliaran.

“Saya pernah digigit ular berbisa,” ujar Yayat sambil menunjukkan lengan sebelah kiri. Dia lantas memperagakan cara menyayat lengan untuk mengeluarkan darah berwarna hitam. “Itu ciri darah terkena racun. Harus cepat dikeluarkan, supaya tidak nyebar,” jelasnya.    

Pengalaman lainnya yang berkaitan dengan aktivitas petualangan, Yayat pernah tersasar hampir sepekan di belantara Gunung Burangrang. Namun, berkat penguasaan ilmu survival (bertahan hidup) yang dipelajari di kepanduan, dia selamat.

“Zaman itu tidak banyak orang naik gunung. Saya sering sendirian ke Burangrang. Pas kesasar, bekal habis. Ya, sudah,makan pakis dan cacing hutan,” kenangnya. 

Sekolah Berpindah

Hidup “nomaden” dijalani Kang Yayat sejak kecil. Mengikuti penempatan dinas sang ayah, Soewarman Prawira Soemantri, yang seorang perwira polisi. Masa sekolah dasar dilakoni Yayat di SD Kwitang 5 Jakarta. Selanjutnya SMP di Bandung dan SMA Mardi Yuana, Sukabumi.

Terakhir, ayahnya menjabat Kepala Polisi Wilayah (Kapolwil) Cirebon hingga pensiun. Yayat mengenang sosok orang tuanya sebagai polisi bersahaja. “Polisi dulu itu jujur-jujur,” ucapnya seraya mengungkapkan sampai purnatugas, keluarganya tidak punya rumah pribadi. 

“Kami tinggal di rumah dinas. Profesi polisi dijalani ayah sepenuh hati. Tidak kepikiran memperkaya diri. Kemudian ada keprihatinan dari anggota DPRD, lalu mengupayakan kami punya rumah sendiri di Jalan Kesambi,” ceritanya.

Pendiri Wanadri lainnya, Eddy Achmad Fadillah, adalah kakak kandung Yayat. Dia alumni Akabri 1971 “Satya Brata” (sebelum ada Akpol). Pangkat terakhirnya Komisaris Besar Polisi (Kombes).

“Keluarga Aa Ade domisili di Jakarta,” kata Yayat menyebut panggilan akrabnya ke sang kakak yang berpulang tahun 2001. Mereka dua bersaudara satu ibu, sedangkan tujuh saudara lainnya beda ibu. 

“Ayah saya menikah sampai empat kali. Alhamdulillah, keturunan beliau banyak,” tutur lelaki kelahiran Purwakarta itu.

Video eksklusif tatkala Kang Yayat memakai syal Wanadri dan teriak “Wanadri!”/Mochamad Rona Anggie

Jadilah Generasi Muda yang Tangguh

Kang Yayat mengaku kerap merindukan masa ketika aktif berkegiatan di alam bebas. “Saya masih anak SMP, Mang Harrie sudah mahasiswa. Hobi kita sama, jadi nyambung,” kata lelaki yang punya relasi famili dengan pendiri Wanadri lainnya: Kang Ronny Nurzaman dan Bambang Pramono. “Kalau Satria Widjaja itu sahabat kami semua,” imbuhnya.

Sesekali Kang Yayat masih kontak dengan Mang Harrie—panggilan ke pamannya, Hardiman Soebari—yang kini tinggal di Bandung dan mendekati umur 80 tahun. Kisah hidup Ketua Dewan Pengurus Wanadri pertama itu diabadikan dalam buku berjudul Hari-hari Petualangan Harrie, karya anggota Wanadri, Zhibril A. Sementara Kang Ronny didapuk menjadi ketua berikutnya.

“Pendiri Wanadri yang masih hidup tinggal Mang Harrie dan saya,” sebut Kang Yayat.

Lelaki penunggang Astrea Grand itu berharap generasi muda bangsa memiliki mental baja, spirit tangguh, cinta alam, dan kemanusiaan. Ia menegaskan, Wanadri tidak melihat latar belakang seseorang, tetapi tekadnya untuk mau berbagi ilmu pengetahuan. 

“Semoga penjelajahan yang dilakukan Wanadri bermanfaat bagi Indonesia tercinta,” ucapnya.

Tatkala hendak pamit, Kang Yayat menggoda saya, “Mau ke mana? Bawa kompas enggak?!” katanya dengan sorot mata tajam, pertanda kerinduan turun ke medan latihan mendidik anak-anak khatulistiwa.


Foto sampul: Pendiri Wanadri Achmad Hidayat dan istrinya, Nenih Narulita, hidup sederhana di masa tua mereka (Mochamad Rona Anggie)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mochamad Rona Anggie

Mochamad Rona Anggie tinggal di Kota Cirebon. Mendaki gunung sejak 2001. Tak bosan memanggul carrier. Ayah anak kembar dan tiga adiknya.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang