TRAVELOG

Melipir ke Cianjur: Dari Masjid Agung hingga Bumi Ageung

Akhir April 2023, mobil minibus yang saya tumpangi dari Jakarta tiba di Jalan Dr. Muwardi, Cianjur. Mendung sudah menggantung. Saya iseng pergi ke kota ini untuk melihat beberapa gedung tua yang berdiri. Sebagian besar informasi, saya dapat dari internet. 

Saya menginap di sebuah hotel, tak jauh dari pusat kota. Salah satu dinding di hotel ini masih direnovasi. Ditutup terpal besar berwarna putih. 

Menurut salah seorang petugas keamanan hotel, dinding itu retak karena gempa bumi besar yang terjadi di Cianjur pada 21 November 2022 siang. “Hotel ini dulunya waktu gempa, di depan ini (halaman dan tempat parkir) jadi tempat pengungsi,” kata petugas keamanan itu.

Ratusan orang meninggal akibat gempa berkekuatan 5,6 magnitudo itu. Gempa bumi paling mematikan ini juga dirasakan hingga Jakarta, Depok, Bogor, dan Sukabumi.1

Melipir ke Cianjur: Dari Masjid Agung hingga Bumi Ageung
Tugu Al-Qur’an dan Masjid Agung Cianjur/Fandy Hutari

Alun-alun dan Masjid Agung

Setelah menaruh ransel di hotel, saya mengunjungi Alun-alun Cianjur. Alun-alun ini begitu luas dan megah. Banyak ornamen dan monumen yang berdiri. Ojek daring mengantarkan saya ke alun-alun lewat salah satu gerbang. Ketika masuk, pandangan saya langsung tertuju ke Tugu Kecapi Suling, dengan panggung di depannya. Berderet suling-suling raksasa yang menempel di dinding panggung.

Berjalan di jalan setapaknya, tiang-tiang bertuliskan 99 Asmaul Husna berdiri. Dari kejauhan, saya melihat menara berwarna putih yang menyerupai obor. Itu dinamakan Menara Pandang.

Yang tak kalah menarik, ada tugu Al-Qur’an raksasa berwarna emas di atas kolam mirip perahu. Di sekitarnya, ada hamparan rumput sintetis. Tugu Al-Qur’an itu berdiri di depan Masjid Agung Cianjur.

Masjid ini, dikutip dari buku karya Dadang Suganda dkk,2 dibangun pada 1810. Bupati ke-4 Cianjur, Raden Bodedar yang bergelar Raden Adipati Wiratanudatar IV, mewakafkan tanahnya untuk membangun masjid tersebut. Beberapa kali mengalami perbaikan dan perluasan.

Masjid ini diperluas pertama kali pada 1820. Ketika Gunung Gede meletus pada 1879, Masjid Agung Cianjur rusak. Tahun 1880, masjid tersebut dibangun kembali. Kemudian diperluas menjadi 1.030 meter persegi, serta dilakukan perubahan bentuk.

Tahun 1912 diperbaiki dan diperluas kembali. Sepanjang 1950 hingga 1974 pun dilakukan perbaikan. Perbaikan terakhir berlangsung mulai 1993 hingga 1998. Kini, Masjid Agung Cianjur punya luas bangunan sekitar 2.500 meter persegi, yang bisa menampung kurang-lebih 4.000 jemaah. 

Alun-alun seluas 1,7 hektare ini sendiri baru diresmikan pada Februari 2019 oleh Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Sudah mengalami tujuh kali renovasi,3 alun-alun ini menyisakan kepedihan sebelum dibangun semegah sekarang. Sebab, jauh sebelum diresmikan, alun-alun ini dahulu adalah Pasar Induk Cianjur (PIC).

Sekitar 4.000 pedagang menggantungkan nasibnya di sini. Pada awal 2013, tersiar kabar PIC bakal digusur dan para pedagang akan dipindah ke lokasi baru di dekat Terminal Pasir Hayam. Namun, para pedagang menentang relokasi.

Pada 27 Agustus 2013 dini hari, kebakaran melalap nyaris semua bangunan PIC. Akibatnya, tak sampai setengah dari ribuan pedagang itu yang bisa bertahan dan berjualan kembali di lapak-lapak darurat. Sisanya, ada yang jatuh sakit dan meninggal, menderita gangguan jiwa, dan beralih profesi.4

Melipir ke Cianjur: Dari Masjid Agung hingga Bumi Ageung
Salah satu sudut kota di Cianjur/Fandy Hutari

Gedung Suge dan Bumi Ageung

Gedung tua terbengkalai di Jalan Taifur Yusuf membuat saya penasaran. Di hari berikutnya, saya ke sana menggunakan jasa ojek daring. Gedung itu berlantai dua, sudah ditumbuhi tanaman liar di dindingnya yang terlihat rapuh. Bagian dalam terlihat sudah hancur. Banyak jendela yang juga sudah rusak.

Gedung ini dikenal orang sebagai Gedung Suge. Berasal dari nama Gouw Soe Gwee, seorang pebisnis terkemuka di Cianjur pada 1920-an.

“Lidah orang Cianjur tak terbiasa dengan nama itu, maka disebutlah rumah kakek saya itu dengan nama Gedung Suge,” kata cucu Gouw Soe Gwee, yakni Gouw Kwan Lin atau Krisna Ganda Soegita kepada sejarawan Cianjur Hendi Jo dalam sebuah wawancara.5

Dari keterangan Krisna, bisnis yang dijalankan Soe Gwee dahulu adalah penjualan bahan makanan dan minuman yang dipasok ke orang-orang Belanda. Kesuksesan itu membuat Soe Gwee membangun rumah dan tokonya menjadi lebih megah.

Setelah Soe Gwee meninggal dunia pada 1935, bisnis diteruskan keempat putranya. Bisnis kemudian diserahkan kepada Gouw Tek Lan. Usai kerusuhan rasial pada 1963 yang menyasar Toko Suge, Tek Lan membangun lagi bisnisnya. Dia beralih ke usaha material atau bahan bangunan. Karena kondisi bangunan yang sudah tak terawat, Krisna yang mewarisi bisnis memindahkan ke seberang Gedung Suge pada 1992.

Gedung dengan luas 272,395 meter persegi yang sudah berada dalam status “sakaratul maut” itu, pada 30 November 2023 ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dengan SK Bupati Cianjur Nomor 400.6.2/Kep.442/DISBUDPAR/2023.

Kondisi Gedung Suge yang memprihatinkan (kiri) dan tampak depan Museum Bumi Ageung/Fandy Hutari

Saya kemudian beralih ke bangunan bersejarah lainnya di Cianjur. Berjalan di Jalan Mochammad Ali, di antara pertokoan dan pasar yang ramai, ada sebuah rumah dengan arsitektur yang unik. Halamannya luas. Rumah ini dikenal sebagai Museum Bumi Ageung. Sayang sekali, saya tidak bisa masuk karena tak ada orang yang bisa saya mintai izin. Lagi pula, pintunya terkunci. Jadi, saya hanya bisa sampai terasnya saja.

Dalam bahasa Indonesia, Bumi Agueng artinya rumah besar. Menurut Yana Gabriella Wijaya dan Wahyu Adityo Prodjo,6 rumah ini milik Bupati ke-10 Cianjur, Adipati Aria Prawiradiredja II yang menjabat pada 1862–1910. Dibangun pada 1886, rumah ini mulanya ditujukan untuk tempat peristirahatan.

Tahun 1943, rumah tersebut dijadikan lokasi perumusan pembentukan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dipimpin Gatot Mangkoepradja. Menurut Rachmat Fajar, pewaris Bumi Ageung kepada Yana dan Wahyu, pada 1946 hingga 1948, keluarga keturunan Raden Adipati Aria Prawiradiredja II sempat mengungsi dari Bumi Agueng ke Kuningan dan Cianjur Selatan lantaran rumah itu jadi target sasaran bom di masa perang revolusi.

Pada 2010, Bumi Ageung ditetapkan sebagai benda cagar budaya nasional berdasarkan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Barang koleksi yang ada di sini, antara lain perabotan makan, sepeda yang pernah dipakai Bung Karno, serta foto-foto masa lalu Bumi Ageung.

Di malam hari, sebelum esok pagi kembali ke Jakarta, saya mencoba mencicipi sate maranggi yang ada di dekat Ramayana Cianjur. Cukup untuk mengganjal perut saya beristirahat malam hari.


  1. Wikipedia, “Gempa bumi Cianjur 2022”, Juni 1, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Cianjur_2022. ↩︎
  2. Dadang Suganda dkk, Visualisasi Tinggalan Sejarah Islam di Tatar Sunda 1600-1942 (Edisi Priangan) (Sumedang: Sastra Unpad Press, 2011). ↩︎
  3. Alya Fathinah, “Di Balik Mahakarya Alun-alun Kota Santri,” Kumparan, April 27, 2022, https://kumparan.com/alyafathinah6/dibalik-mahakarya-alun-alun-kota-santri-1xxZ82QiY2u/2. ↩︎
  4. Radar Cianjur, “Menelusuri Sejarah Alun-alun Cianjur, Berdiri di Atas Duka dan Air Mata 4.000 Pedagang”, Februari 19, 2019, https://www.radarcianjur.com/cianjur-raya/pr-9456631958/menelusuri-sejarah-alunalun-cianjur-berdiri-di-atas-duka-dan-air-mata-4000-pedagang ↩︎
  5. Hendi Jo, “Kisah di Balik Gedung Suge, Saksi Bisu Kejayaan Dinasti Gouw yang Terbengkalai,” Merdeka.com, April 13, 2023, https://www.merdeka.com/histori/kisah-di-balik-gedung-suge-saksi-bisu-kejayaan-dinasti-gouw-yang-terbengkalai.html, ↩︎
  6. Yana Gabriella Wijaya dan Wahyu Adityo Prodjo, “Mengunjungi Bumi Ageung, Saksi Bisu Perjuangan Kemerdekaan di Cianjur”, Kompas.com, Oktober 10, 2019, https://travel.kompas.com/read/2019/10/10/140000727/mengunjungi-bumi-ageung-saksi-bisu-perjuangan-kemerdekaan-di-cianjur-. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jurnalis, tinggal bersama istri di Jakarta. Gemar membaca dan jalan-jalan.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Jejak Raja Gula dari Semarang