TRAVELOG

Blusukan ke Jantung Kota Tua Pekalongan

Mendengar kata Pekalongan, pasti yang terlintas di benak adalah julukan “Kota Batik”. Ya, tentu ungkapan ini tidaklah salah karena Pekalongan memang dianggap sebagai sentra penghasil batik pesisir ternama, terutama Batik Oey di daerah Kedungwuni, Pekalongan. Batik ini dikenal sebagai Batik Tiga Negeri, di samping Lasem maupun Solo.

Selain batik, ada sisi lain dari Pekalongan yang dapat kita lihat, yaitu menelusuri jejak kolonial di wilayah Jetayu. Banyak bangunan peninggalan era kolonial berada di wilayah itu Sejarah bukan hanya di museum, tapi juga di dinding-dinding tua yang menyimpan beragam kisah yang menarik untuk didengar maupun dilihat.

Peta kawasan lma Jetayu tahun 1920/Leiden University Libraries

Perjalanan dari Solo ke Pekalongan

Petualangan di kota ini saya mulai dengan menaiki KA Kalijaga dari Stasiun Solo Balapan sejak pukul 5 pagi, kemudian tiba di Stasiun Semarang Tawang pada pukul 8 pagi. Saya pun bergegas untuk menuju Stasiun Poncol, naik kereta Kaligung menuju Pekalongan pada pukul 9 pagi.

Sepanjang perjalanan, saya takjub dengan pemandangan Laut Jawa yang berdampingan dengan jalur kereta api saat memasuki wilayah Stasiun Plabuan. Pada pukul 10 pagi, saya tiba di stasiun ini dengan cuaca yang cukup terik.

Panasnya Pekalongan membuat saya bergegas menuju kawasan Jetayu dengan berjalan kaki sekitar 20 menit. Berdasarkan peta lama, terdapat banyak bangunan yang masih berdiri kokoh maupun sudah tidak ada bekasnya lagi. Bahkan, ada bekas jejak rel kereta api yang mengarah ke Pelabuhan Pekalongan.

Blusukan ke Jantung Kota Tua Pekalongan
Bekas rel kereta persis di depan pagar Kantor Pos Pekalongan/Yuwana Galih Nugrahatama

Berkunjung ke Kediaman Residen Pekalongan

Sesampainya di sana, ada beberapa bangunan kolonial yang masih berdiri megah walau sudah termakan usia. Tujuan saya pertama kali adalah mengunjungi gedung Bakorwil Pekalongan yang terletak di seberang Kantor Pos Pekalongan. 

Gedung ini pada zamannya merupakan bekas kediaman residen Pekalongan. Jadi, residen ini tugasnya mengontrol wilayah yang disebut karesidenan. Pada zamannya, karesidenan terdiri dari beberapa wilayah, yakni Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Batang.

Beruntungnya, berkat kebaikan hati petugas kebersihan, saya diizinkan masuk untuk mengambil foto ke dalam. Saya pun langsung bergegas mengambil beberapa sudut foto menarik di tiap sudut kompleks bangunan.

Blusukan ke Jantung Kota Tua Pekalongan
Tampak depan gedung Bakorwil Pekalongan/Yuwana Galih Nugrahatama

Saya membayangkan kalau berkunjung ke gedung ini pada abad ke-18, pasti sudah diusir oleh petugas karena jelas masyarakat pribumi dilarang masuk ke gedung ini. Hanya priyayi Jawa setingkat wedana maupun bupati yang dapat berkunjung untuk urusan menghadiri perjamuan pesta maupun pengangkatan jabatan pegawai.

Selesai mengambil foto, saya pun bergegas kembali ke depan dan berterima kasih kepada petugas kebersihan. Beliau berpesan, “Kalau mau mampir lagi saat pagi saja, ya, karena kalau malam nanti malah dibilang uji nyali, ha-ha-ha.”

Setelah puas melihat kemegahan gedung bakorwil, saya bergegas menuju depan Kantor Pos Pekalongan. Saya terkejut bahwa jejak rel di depan Kantor Pos Pekalongan masih tampak walau sudah tertimbun aspal jalanan.

Di sebelah timur kantor pos, terdapat bangunan yang disebut Societeit Delectatio. Sesuai namanya, gedung ini berfungsi sebagai tempat hiburan dan berkumpulnya warga Eropa untuk berdansa, menikmati musik, diskusi, hingga bermain bola sodok. Kini, gedungnya digunakan sebagai gedung pertemuan bagi masyarakat umum.

Blusukan ke Jantung Kota Tua Pekalongan
Gedung eks Societeit Pekalongan/Yuwana Galih Nugrahatama

Jejak Sunyi Makam Kristen Pekalongan

Setelah selesai menjelajahi pusat Jetayu, saya melanjutkan perjalanan menuju makam Belanda yang searah dengan pelabuhan. Rupanya, jalan kaki menuju ke arah pemakaman Kristen Panjang Wetan ditempuh dalam waktu 20 menit. Teriknya siang membuat saya kehausan sehingga harus mampir ke minimarket terdekat untuk membeli air minum.

Sesampainya di makam, saya disambut oleh gerbang makam berwarna hijau dan berarsitektur Eropa. Saya pun melihat ada hal menarik dari pintu gerbang, karena terdapat dua simbol yang sering ditemukan pada makam-makam di Eropa. Adapun simbol yang dimaksud adalah hourglass dan kupu-kupu.

Simbol hourglass atau jam pasir melambangkan sifat waktu yang cepat berlalu dan kematian yang tak terelakkan. Adapun simbol kupu-kupu biasanya melambangkan kelahiran kembali, kebangkitan, atau transformasi jiwa setelah kematian.

Saat memasuki kompleks makam, saya pun langsung ditanya oleh penjaga makam, “Sampean mau cari siapa, Mas, di sini?” Saya langsung menjawab spontan, “Saya cuma ingin cari makam Belanda di sini, Bu.”

Akhirnya saya diperbolehkan oleh penjaga makam untuk sekadar mengambil foto. Dari tempat sunyi ini tersimpan berbagai kisah terkait gambaran kondisi masyarakat Belanda di Pekalongan pada masa kolonial.

Blusukan ke Jantung Kota Tua Pekalongan
Gerbang kerkop Pekalongan/Yuwana Galih Nugrahatama

Menikmati Segarnya Limun Oriental

Setelah puas berkeliling makam, saya segera kembali ke wilayah Jetayu untuk mampir menikmati segelas limun segar. Bagi warga sekitar, mereka menyebutnya limun Oriental. Saya pun bergegas masuk karena teriknya matahari kian menyengat.

Dikenal sebagai Limun Oriental Tjap Njoenja, minuman bersoda ini sudah ada sejak tahun 1920 dan masih memproduksi limun hingga saat ini. Saya juga mengamati berbagai koleksi botol kaca lama yang dulunya dipakai untuk memproduksi banyu londo. Ada beragam rasa limun yang ditawarkan, mulai dari kopi, nanas, sirsak, mangga, frambos, jeruk, dan lemon.

Tak lama, saya pun memesan segelas limun Oriental. Jika minum di tempat cukup membayar Rp7.000 saja per botolnya. Bahkan, jika ingin membawa pulang sebagai oleh-oleh cukup membayar Rp60.000 untuk per boks isi enam botol. Saya pun tertarik untuk membawa satu boks ini sebagai oleh-oleh keluarga di Solo.

Menurut pemilik, Bernardi, menyebutkan bahwa kini pengelolaan bisnis sudah berada di tangan generasi kelima. Banyak masyarakat lokal maupun wisatawan dari luar berkunjung ke tempat ini untuk menikmati suasana sambil nongkrong dan bersantai. 

Saat mengobrol asyik dengan sang pemilik, saya sempat ditawari untuk tur keliling pabrik. Namun, waktu tidak cukup karena saya harus mengejar kereta menuju Semarang lagi. Saya lekas mencari makan siang berupa nasi megono di dekat stasiun saja.

Akhir Perjalanan, Awal Kesadaran

Setelah puas menikmati segelas limun, saya melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Pekalongan melewati jembatan Loji, kemudian berlanjut menyusuri gang Pecinan Pekalongan dengan beragam arsitektur khasnya. Saya bergegas mengambil kamera untuk mengambil salah satu foto rumah di sana.

Penelusuran bangunan tua di Pekalongan berakhir ketika sampai di Masjid Agung Pekalongan, yang terdapat sentra perajin batik Kauman yang diproduksi oleh masyarakat lokal. Hal ini menandakan keunikan batik Pekalongan yang diproduksi oleh masyarakat lokal maupun Tionghoa karena memiliki karakteristik tersendiri yang khas.

Setelah hampir seharian menjelajahi sudut Kota Pekalongan yang penuh cerita, saya merasa bahwa tiap bangunan yang saya datangi memiliki beragam kisahnya sendiri, mulai dari jejak kekuasan kolonial, khazanah kuliner, hingga kesenian batik yang menjadi ciri khas dari kota ini. Di dalamnya terselip pesan betapa pentingnya memaknai sejarah secara nyata.

Blusukan ke Jantung Kota Tua Pekalongan
Rumah bergaya Indis di Gang Pecinan Pekalongan/Yuwana Galih Nugrahatama

Pekalongan memberikan pembelajaran kepada saya bahwa kota ini tak hanya dikenal dengan batiknya yang memesona, tetapi juga ternyata menyimpan nadi sejarah penting di pesisir utara Jawa. Tak hanya itu, terdapat pula kisah perjuangan masyarakat melalui seni batik, kemegahan arsitektur Eropa maupun Tionghoa, dan semangat kebersamaan masyarakat yang majemuk.

Perjalanan pun saya akhiri dengan kembali menaiki KA Kaligung menuju Semarang Poncol, kemudian pindah ke Semarang Tawang. Penatnya hari itu juga terobati dengan secara tidak sengaja bertemu Chris John yang sedang buru-buru menuju ke Jakarta. Saya pun tidak melewatkan kesempatan ini untuk foto bersama dengan mantan petinju nasional tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Yuwana Galih Nugrahatama

Pekerja lepas dan kontributor di Indonesia Graveyard yang tinggal di Ngawi. Penikmat lagu-lagu Dream Theater yang gemar menyusuri makam tua maupun bangunan bersejarah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Tahura Djuanda dan Ruang Jeda dari Keramaian Kota Bandung