Om Ir bercerita mengenai keberadaan komunitas Arab di Kota Malang. Komunitas Arab tersebut merupakan keturunan orang-orang Hadramaut (Yaman). Dulunya, mereka datang ke Hindia Belanda untuk berdagang. Kebanyakan yang datang adalah laki-laki yang tidak membawa pasangan (belum menikah), lalu menikah dengan perempuan setempat.
“Makanya, kalau kita ketemu sama orang Arab di sini, mereka sudah enggak murni lagi alias sudah campuran. Kalau orang-orang Arab di Saudi, kan, kulitnya putih-putih. Nah, Arab campuran ini kulitnya lebih gelap,” tambahnya.
Seperti komunitas Tionghoa, orang-orang Arab ini juga ditempatkan dalam satu wilayah. Namun, saat itu karena jumlah orang Arab terhitung sedikit, sekitar 500 orang tahun 1800-an, permukiman mereka digabung dengan orang-orang Melayu dan Moor (pendatang dari Afrika Utara). Ketiga komunitas berbeda ini dipimpin seorang warga sipil dari orang Melayu yang diberi pangkat letnan (tituler). Seiring waktu, orang-orang Melayu dan Moor ini ‘punah’ sehingga hanya menyisakan komunitas Arab yang masih bertahan hingga kini.
Terbaginya permukiman penduduk berdasarkan ras tak lepas dari peristiwa Geger Pecinan di Batavia tahun 1740. Ketika itu, VOC melakukan pembunuhan massal terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Mereka yang berhasil lolos kemudian melarikan diri dan bekerja sama dengan orang-orang Jawa untuk memerangi VOC. Tak ingin perlawanan serupa timbul kembali, VOC mengeluarkan aturan wijkenstelsel yang mengharuskan orang-orang Tionghoa atau Arab berkumpul dalam satu wilayah agar mudah diawasi.

Rumah Berornamen Tionghoa di Kampung Arab
Kami menyeberangi Jalan Syarif Alqodri atau dikenal Embong Arab. Di sepanjang jalan, berdiri toko-toko milik orang Arab yang menjual kurma, obat-obatan herbal maupun mebel. Nama Syarif Alqodri merupakan pahlawan Ampera dari Makassar yang meninggal saat memperjuangkan Tritura pascaperistiwa 1965.
Bersama peserta lainnya, saya memasuki sebuah gang di jalan ini. Om Ir memandu kami menuju sebuah rumah milik orang Arab. Uniknya, bangunan ini memiliki ciri khas Tionghoa. Pintu gerbangnya yang berwarna kuning menyerupai bangunan kelenteng.
“Orang-orang yang tidak tahu, bakalan mengira rumah ini milik orang Tionghoa. Kok bisa, ada orang Tionghoa yang tinggal di tengah-tengah permukiman Arab,” kata Om Ir.
Om Ir melanjutkan, pemilik rumah tersebut berasal dari Hadramaut. Tak disebutkan siapa nama pemiliknya, hanya saja ia mengenal Tajuddin, adik sang pemilik yang tinggal di depan rumah unik itu. Kakak Tajuddin merupakan pedagang benda-benda antik berbau Buddha dan Tionghoa untuk dijual kembali. Om Ir mengaku pernah masuk ke rumah itu dan menjumpai patung-patung Buddha dan kelenteng mini.
“Dulu, Keluarga Tajuddin tanahnya seluas ini. Terus dikatakan kakeknya Tajuddin ini punya kuda. Kandang kudanya ada di sana. Kudanya buat apa? Untuk transportasi, narik dokar karena waktu itu belum ada angkot. Ya, sama seperti Boldy. Ada yang ingat siapa Boldy ini? Dia juga pengusaha kereta kuda dan namanya kemudian diabadikan menjadi nama kawasan.”
Kami berjalan kembali, melewati permukiman dan sesekali menyapa warga yang duduk-duduk di depan rumah. Sekitar lima menit kemudian, sebuah rumah bergaya indische empire di pojok menarik perhatian kami. Bangunannya terdiri dari tiga pintu, gewel dan gelagarnya masih kayu. Termasuk pula untu walang-nya yang masih asli. Kami hanya bisa memandangi bangunan tersebut dari luar pagar.
Selain itu, hal lain yang kami temui adalah keberadaan gardu listrik ANIEM di tengah-tengah Kampung Arab. Menurut Om Ir, tak semua kampung di Kota Malang ada gardu ANIEM. Gardu ini hanya ada di Kampung Arab dan Pecinan. Secara tidak langsung, ia memuji pemerintah kota saat itu yang sudah menyediakan listrik di permukiman non-Eropa. Hanya saja, ia masih menduga-duga kenapa tidak ditemukan gardu listrik di permukiman pribumi .

Tempat Persembunyian Pejuang
Jalan yang kami lalui nantinya tembus ke Jalan Sutan Syahrir—sering disebut Jagalan. Namun, sebelum kami sampai di jalan besar tersebut, Om Ir kembali mengajak kami berhenti di depan musala Roudlotul Muttaqin yang mempunyai menara tunggal.
“Kisahnya musala ini, ada di tahun 1947 saat Agresi Militer I. Saat itu area sini dipertahankan oleh warga lokal. Disebutkan tentara Belanda menyasar mencari para pejuang kita. Saya pernah dapat cerita dari pengurus musala ini kalau saat itu para pejuang sempat bersembunyi di sini. Yang masih bertahan sampai sekarang, dua pilar lama ini kemudian menaranya juga sudah ditambahkan ke atas, begitu juga atapnya sudah berubah,” ucapnya sambil memegang foto lama musala yang menunjukkan menara musala belum setinggi sekarang.
Keberadaan musala juga terhubung dengan sosok Mbah Bungkuk, pengikut Pangeran Diponegoro sekaligus penyebar ajaran Islam di Singosari, Kabupaten Malang. Musala tersebut didirikan Kiai Nachrowi, cucu Mbah Bungkuk. Kelak, Kiai Nachrowi menikah dengan anak saudagar kaya dari Jagalan. Atas bantuan mertuanya, Kiai Nachrowi mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum pribumi.
Ada dua versi mengenai sosok Mbah Bungkuk. Pertama, Mbah Bungkuk adalah ayah dari Kiai Nachrowi bernama Kiai Muhammad Thohir. Kedua, berdasarkan pengakuan Om Ir saat mengunjungi Ponpes Miftahul Falah Bungkuk beberapa waktu lalu, Mbah Bungkuk merupakan mertua dari Kiai Muhammad Thohir.


Jejak Jalur Trem di Kota Malang
Tak jauh dari Roudlatul Muttaqin, tepatnya di perempatan Jalan Jagalan, ada sisa trem peninggalan masa kolonial. Perempatan ini pula yang memisahkan Pecinan dan permukiman Arab. Kami kemudian diajak ke sana. Jalur trem ini berdekatan dengan Stasiun Jagalan. Baik jalur maupun stasiunnya sudah tidak berfungsi lagi.
“Dulu orang menyebutnya Jagalan Trem karena tremnya dari sana masuk ke stasiun di sana,” kata Om Ir sambil menunjuk sebuah tempat dengan pohon cemara tunggal yang menjulang. Di sanalah dulunya pernah berdiri Stasiun Jagalan.
Saat trem masih beroperasi, jalurnya membelah Alun-alun Merdeka dan melewati Jalan Sutan Syahrir. Namun, kini jalurnya sudah terkubur di bawah jalan raya, sementara yang berada di Jalan Halmahera masih ada meski terpotong di ujung perempatan. Sepanjang jalur mati ini berdiri bedak-bedak dari seng yang dipakai untuk jualan.
Kami juga sempat ditunjukkan beberapa rumah dinas pegawai Malang Stoomtram Maatschappij (MSM), perusahaan yang mengoperasikan trem. Bangunan-bangunan tersebut masih tersisa. Kehadiran trem di Malang sudah ada menjelang akhir abad ke-19 untuk menunjang kegiatan ekonomi. Sarana transportasi ini kemudian menghilang di sekitar penghujung tahun 1960-an atau awal 1970-an karena faktor efisiensi biaya operasional serta bermunculan sarana transportasi lainnya yang lebih murah.
“Ya, hari ini, rel ini cuma digunakan buat langsir minyak dari Kota Lama dibawa ke sini, kemudian ditarik mundur ke depo di Jalan Halmahera,” Om Ir memungkasi cerita jalur trem.

Cerita dari Kampung Arab
Selanjutnya, dari jalur trem Jagalan kami menyeberang lalu masuk ke sebuah gang yang diapit pertokoan. Sebuah bangunan dicat kuning mencolok menjadi objek cerita berikutnya. Ternyata, bangunan dengan lubang di bagian depannya tersebut merupakan sebuah loket. Di sampingnya berjejer WC umum. Bangunan ini sudah ada sejak zaman Belanda. Saat itu pengguna WC umum harus membayar.
Ada tiga WC yang berjejer. Menurut Arief DKS, dulunya bagian atas WC tidak tertutup. Keberadaan WC ini sudah ada sekitar tahun 1920-an. Selain di daerah Jagalan, WC peninggalan kolonial juga ada di seberang Pasar Kebalen.
Berberapa meter dari WC lawas, kami melangkah kemudian berhenti di sebuah rumah jadul yang dicat krem. Sebagaimana rumah-rumah lawas di permukiman non-Eropa, di rumah ini juga terpasang papan nama si pemilik rumah yang ada di sebelah kanan atas, tertulis: SD. Sech Bin Awad Moeladawilah.
“Masing-masing kampung itu, Kampung Arab, Kampung China, selalu ada pemimpinnya yang ditunjuk Belanda. Kalau di Malang, pemimpinnya dipangkati letnan, kalau kotanya besar dipangkati kapten. Kalau kota yang lebih besar lagi seperti Batavia dipangkati mayor. Dan dalam catatan, ditemukan pemimpin yang tersisa menjelang Jepang masuk tahun 1942. Di Kota Malang ini, letnan terakhir Kampung Arab namanya Moeladawilah. Dia menjabat sebagai letnan kira-kira di tahun 1931 sampai Jepang masuk. Setelah itu, hilanglah model-model seperti itu,” jelas Om Ir.
Kami bergerak kembali, menyusuri jalan-jalan di Kampung Arab sampai di pertigaan Jalan Pierre Tendean, Jalan Yulius Usman, dan Jalan Syarif Alqodri. Tepat di sebelah kami berdiri ada Cairo, rumah makan legendaris yang menyajikan makanan Timur Tengah sejak tahun 1951. Sementara di pojok seberang jalan terdapat toko lawas Bayakub yang menjual buku-buku dan oleh-oleh haji. Bangunan toko yang berdiri tahun 1931 ini awalnya belum sekokoh sekarang, mulanya dari gedeg.
Kami kembali ke Jalan Syarif Alqodri. Menyusuri jalan ini, masih bisa ditemui bangunan-bangunan lawas yang kebanyakan dijadikan toko. Perjalanan tur ini berakhir sesudah melalui Jalan Wahid Hasyim kemudian bergerak ke arah Alun-alun Merdeka.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.