TRAVELOG

Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (1)

Tiba di Alun-alun Merdeka, Kota Malang, saya sedikit terperangah. Mata saya langsung disuguhi pemandangan manusia yang ‘berserakan’ di tempat ini. Maklum saja, jarang-jarang saya ke tempat ini saat Minggu pagi. Tempat parkir yang berada di seberang jalan juga sudah dipenuhi motor. Bergegas, saya melangkah ke bagian tengah alun-alun, air mancur, titik kumpul tur heritage yang akan saya ikuti. Drama mencari kunci motor beberapa saat sebelum berangkat sempat merepotkan saya karena kelalaian suami yang lupa menaruh kunci.

Usai melewati seorang lelaki paruh baya yang duduk menjajakan pakan burung, saya mengedarkan pandangan bermaksud mencari kelompok tur. Tak sampai satu menit, mata saya langsung tertuju kepada sekelompok manusia yang duduk tak jauh dari air mancur. Tampak pula laki-laki dengan topi dan tas ransel yang memang menjadi ciri khas lelaki tersebut. Irawan Paulus, namanya, berdiri di hadapan para peserta. 

Om Ir, begitu orang-orang menyapanya, langsung menyodorkan papan alas tulis dengan selembar daftar nama peserta untuk saya tanda tangani sebagai bukti kehadiran. Saya memang akan mengikuti tur heritage bertema Kampung Arab. Sebenarnya, tur ini sudah dilakukan saat Ramadan lalu. Kegiatan kali ini merupakan pengulangan dari tur tersebut, karena saat itu tur terhambat hujan sehingga ada rute-rute yang tidak jadi kami jelajahi. 

Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (1)
Motor dan mobil yang parkir serta para pedagang memenuhi jalanan di depan Masjid Agung Jami’ Malang, yang terletak di sebelah barat Alun-alun Merdeka Kota Malang/Dewi Sartika

Eksplorasi Masjid Agung Jami’ Malang

Tepat pukul 07.30 WIB, para peserta mengikuti langkah Om Ir menuju Masjid Agung Jami’ yang berada tepat di salah satu sisi Alun-alun Merdeka.  Sebelum menyeberang, ia mengeluarkan selembar foto dari tumpukan foto yang dibawanya. Tangannya kini memegang foto Masjid Agung Jami’ lawas yang ia perkirakan diambil pada tahun 1960-an.

“Yang fasad depan ini adalah fasad baru kira-kira tahun 2005, dapat sumbangan. Selain itu, karena masjid ini melebar ke sana, akhirnya ada penambahan bangunan di sana plus fasadnya ditambah. Akibat penambahan fasad ini, yang lama enggak tampak. Justru bangunan yang atap susun ini (wujud) aslinya masjid ini pada waktu awal,” jelasnya. Jarinya menunjuk ke salah satu sisi masjid.

Masih menurut lelaki kelahiran 1967 ini, atap lama Masjid Agung Jami’ berbentuk tumpang susun sebagaimana khas masjid Jawa pada umumnya, seperti Masjid Demak. Ia juga menambahkan, usia masjid ini lebih muda dari Gereja Immanuel yang berdiri pada warsa 1861 dan berada satu deret dengan Masjid Agung Jami’. Sesudah memberikan keterangan sekilas, ia lalu memandu kami menuju masjid. Seorang lelaki dengan baju merah berkopiah sedang duduk di pintu masuk. Ternyata ia ditugaskan pengurus masjid untuk memandu rombongan tur. 

Masjid Agung Jami’ di pagi hari begitu senyap. Hanya ada beberapa orang yang sedang menunaikan salat atau berdoa. Menurut keterangan Pak Yono, petugas yang mengiringi kami melihat-lihat bagian dalam masjid, ketika bukan waktu salat, pagar masjid sengaja tidak dibuka karena selama ini lebih banyak orang yang menumpang tidur daripada untuk salat.

Kami lekas memasuki bagian utama masjid yang menjadi tempat salat bagi kaum laki-laki. Dalam hati, saya berdecak kagum begitu masuk. Saya lupa kapan terakhir masuk (bagian perempuan) untuk salat. Mungkin sudah dua tahun lalu. Hanya saja perasaan saya ketika itu biasa-biasa saja karena memang tidak sebebas sekarang untuk memperhatikan dengan saksama interior masjid.

Melihat beberapa pilar masjid, seketika juga gambaran Masjid Sunan Sendang Duwur memenuhi benak saya. Keduanya sama, bagian dalamnya dihiasi pilar-pilar kayu. Pilar-pilar ini juga masih asli meski sudah diperindah. Begitu pula beberapa bagian dalam masjid, seperti kusen jendela serta bagian atasnya berupa plat pengikat balok kuda-kuda yang mengingatkan saya akan sekolah-sekolah zaman Belanda yang masih ada. Pada salah satu sisi atas, terpasang plakat nama masjid ini dengan tulisan bahasa Arab.

“Dulu atap masjid ini seng, ya. Selain disebut Masjid Jami’, dulu pernah masjid ini disebut Masjid Jemek karena bocor, kan atapnya dari seng,” tambahnya. Menempel pada salah satu pilar masjid dekat pintu masuk terdapat jam dingdong. Om Ir memberitahu bahwa jam tersebut merupakan jam lawas peninggalan sekitar tahun 1900-an.

Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (1)
Pak Yono (berpeci, paling kanan) berbincang bersama peserta tur/Dewi Sartika

Makam di Belakang Masjid dan Bagian Menarik Lainnya

Hal menarik lainnya dari masjid ini, keberadaan tiga nisan tanpa nama di belakang masjid. Dari penuturan Om Ir maupun Arief DKS, salah satu pendiri Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH) yang menyelenggarakan tur ini, makam-makam tersebut milik warga sekitar. 

Sebagaimana gereja zaman dulu yang juga terdapat area pemakaman, begitu pula masjid ini. Sementara itu, Pak Yono memperkirakan bahwa makam-makam lama dijadikan satu dalam tiga makam yang masih tersisa saat ini karena lahan makam digunakan sebagai permukiman warga.

Usai mengeksplor bagian bawah masjid, saya dan lainnya berjalan di belakang Om Ir menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dari atas sini, kami bisa melihat dengan jelas atap asli Masjid Agung Jami’ yang terdiri dari dua susun. Sayangnya, bagian luar atap ini banyak yang sudah diganti alias tak asli lagi, termasuk bagian yang disebut untu walang

  • Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (1)
  • Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (1)

Untuk pertama kalinya saya mendengar istilah ini dan sempat membuat bingung karena tak paham bagian yang mana. Saya juga tak bertanya. Akhirnya baru saya ketahui dari mesin pencari di internet, istilah untu walang ini digunakan untuk menyebut hiasan kayu bangunan yang bergerigi sebagaimana terdapat di luar atap susun Masjid Agung Jami’.

Kunjungan ke masjid ini membuat salah satu peserta tur paling senior, Bu Didin, sapaan akrab perempuan yang berprofesi sebagai tour guide wisatawan mancanegara ini bernostalgia. Kepada kami, ia mengaku dulu paling suka ke perpustakaan masjid, yang sayangnya sekarang ditiadakan karena sepi pengunjung.

“Budaya kita itu bukan membaca, tetapi bertutur.” Begitulah Om Ir menambahi mengapa kebanyakan orang-orang Indonesia tak suka membaca.

Bu Didin juga sempat bertanya tentang tradisi menyalakan blanggur yang dilakukan pihak masjid ketika bulan Ramadan sebagai penanda berbuka puasa. Pak Yono tidak mengetahuinya. Om Ir lalu menerangkan bentuk blanggur ini menyerupai mercon bumbung dan berukuran besar. Blanggur di dinyalakan di alun-alun dan hanya Masjid Agung Jami’ saja melakukannya di Kota Malang saat itu. Suara blanggur ini amat keras sehingga bisa terdengar di seluruh kota. Tradisi menyalakan blanggur menghilang seiring pelarangan jual beli mesiu secara bebas oleh pemerintah. Dari penuturan Arief DKS, saya jadi tahu bahwa pelarangan ini terjadi usai insiden kasus pemboman Candi Borobudur tahun 1985.

Mengenai sejarah masjid itu sendiri, dari penelusuran yang dilakukan Arief DKS, tidak diketahui secara pasti kapan Masjid Agung Jami’ berdiri. Dari data Belanda tertua yang ia dapat, tercatat bahwa pada tahun 1875 dilakukan renovasi besar-besaran masjid. Bangunan ini sendiri terdiri dari tiga lantai. Hanya saja, kami tak menaiki lantai ketiga.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dewi Sartika

Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)