TRAVELOG

Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang

Hari Minggu pagi, saya putuskan untuk belajar sejarah tentang Kota Malang bersama History Fun Walk. Kami diajak lebih mengenali kota yang banyak menyimpan sejarah masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. 

Selama ini, setiap melewati kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya, saya selalu dibuat kagum dengan rumah-rumah megah bergaya arsitektur Belanda. Ternyata setiap bangunan dan wilayah memiliki sejarah yang mungkin saja tak banyak orang tahu.

Selama hampir tiga jam saya diajak berkeliling di sekitar Bouwplan VII Malang. Perjalanan kami diawali dari Simpang Balapan, Ijen Boulevard, Jalan Dempo, Jalan Tanggamus, berlanjut ke arah Jalan Cerme, dan berakhir di titik awal, yakni Jalan Pucuk. Sepanjang tiga kilometer perjalanan, banyak cerita yang saya dapatkan dari Mas Han dan Mas Yehezkiel, sang pemandu. Dari perjalanan tersebut, saya baru mengetahui bahwa ada kisah kelam yang dikenal dengan masa interniran.

  • Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang
  • Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang

Dari Arena Pacuan Kuda sampai Hamid Rusdi

Sebelum menceritakan interniran, saya akan membagikan cerita yang saya dapatkan. Pertama tentang Simpang Balapan, yang sempat saya kira namanya demikian karena sering dijadikan sebagai sirkuit balap liar. Rupanya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar.

Pada tahun 1920, area yang kini menjadi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kemenkes Malang, masih berupa lahan tebu. Kemudian sekitar bulan Mei 1920 dibangunlah sebuah arena pacuan kuda. Akses jalan dari pacuan kuda tersebut langsung menghadap ke timur sehingga dijuluki Simpang Balapan. Salah satu keunikan dari pacuan kuda tersebut ialah latar pemandangannya yang sangat indah, yakni Gunung Arjuno. Bahkan sekitar tahun 1938 area pacuan kuda itu dijadikan lokasi jambore internasional dari organisasi kepanduan sedunia.

Tepat di seberang Simpang Balapan, terdapat sebuah patung pria yang berdiri gagah bernama Hamid Rusdi. Ia merupakan pahlawan asli dari Pagak, Malang sekaligus pencetus bahasa walikan yang identik dengan Kera Ngalam (Arek Malang), digunakan untuk mengecoh musuh.

Pada masa pendudukan Jepang, Hamid Rusdi bergabung sebagai Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Setelah PETA dibubarkan, banyak anggota yang bergabung pada Badan Keamanan Rakyat (BKR) termasuk Hamid Rusdi. Pada peralihan masa bersiap itulah banyak terjadi spionase dari para sekutu. Guna menjaga kerahasiaan, informasi disampaikan menggunakan bahasa walikan sehingga hanya orang tertentu yang memahaminya. Bahkan beberapa anak buah pun tidak mengetahui artinya.

Singkat cerita, pada 8 Maret 1949, tepatnya saat Agresi Militer Belanda II, Hamid Rusdi gugur di daerah Cemorokandang. Ia dimakamkan di daerah Buring, lalu tahun 1970-an makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan. Untuk mengenang jasa Arek Malang itu, dibangunlah monumen Hamid Rusdi yang berada di Simpang Balapan, tepat di depan Poltekkes Malang.

Kiri: Pemandu menjelaskan tentang arena pacuan kuda yang dulu ada di depan Jalan Simpang Balapan/Lutfia Indah M. Kanan: Dokumentasi pacuan kuda yang populer semasa kolonialisme Belanda/SIKN Kota Malang.

Jalan Ijen dan Rumah-rumah Mewah Orang Belanda

Simpang Balapan bersandingan dengan Jalan Ijen yang dikenal teduh, memiliki tata ruang yang cantik dengan jajaran rumah khas Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Jalan Ijen menjadi kawasan yang populer dan masuk dalam ajang bergengsi tata kota terbaik di Paris, sekitar 1930-an.

Kawasan tersebut didesain oleh arsitek Belanda bernama Thomas Karsten yang juga mendesain daerah Bandung dan Semarang bagian atas. Pernak-pernik yang sampai sekarang masih eksis, seperti pohon palem, rumah beserta taman kecil, trotoar, jalan raya dengan diisi boulevard di tengahnya, merupakan konsep yang sudah dicanangkan sejak zaman Belanda. 

Jalan Ijen diambil dari nama gunung yang ada di Indonesia. Penamaan ini merupakan bagian dari konsep Bouwplan VII yang menggunakan nama-nama gunung sebagai salah satu temanya. Nama-nama jalan bertema gunung lainnya adalah Jalan Kawi dan Jalan Semeru. Tak terkecuali Jalan Salak, sebuah gunung di Jawa Barat yang jadi nama awal jalan di sekitar Taman Makam Pahlawan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Penamaan tersebut masih dalam satu kesatuan dengan Bouwplan VII. Namun, untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur mempertahankan Kota Malang, nama jalan tersebut diubah menjadi Jalan Pahlawan TRIP.

Selain bertemakan gunung, beberapa kawasan diberi nama dengan tema beragam, seperti silsilah kerajaan Belanda. Untuk tema ini digunakan pada Bouwplan I, yakni Wilhelminastraat (Jalan Dr. Cipto), Willemstraat (Jalan Diponegoro), Julianastraat (Jalan Kartini), dan Emmastraat (Jalan Dr. Sutomo).

Di Jalan Ijen juga terdapat Katedral Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel, gereja Katolik kedua di Kota Malang setelah gereja Kayutangan. Gereja ini didirikan pada 1934 setelah Malang menjadi kota praja dan mulai banyak penduduk.

Gereja ini dirancang oleh Rijksen en Estourgie dengan menggunakan konstruksi beton bertulang. Metode tersebut termasuk konstruksi baru dan pertama kali diterapkan di Hindia Belanda. Gereja Ijen pun akhirnya berdiri dengan sumbu lebih lebar dan panjang tanpa pilar di tengahnya. Gereja yang dibangun pada Februari–Oktober 1934 ini memiliki sebuah lonceng untuk doa kepada Santa Maria yang dibunyikan setiap pukul 06.00, 12.00, dan 18.00 WIB.

Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang
Gereja Ijen berada tepat menghadap Jalan Salak (Jalan Pahlawan TRIP) dan berada di kawasan Jalan Ijen/Lutfia Indah M

Kisah Gugurnya Pasukan TRIP Mempertahankan Tanah Air

Tak jauh dari gereja tersebut, terdapat Taman Makam Pahlawan TRIP yang mengandung cerita tragis. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Warga saat itu telah mundur ke Blitar. Namun, terdapat sekelompok pemuda TRIP dari Brigade VII Batalyon 5000 ingin mempertahankan Kota Malang. Ketika mendengar bahwa pasukan Belanda akan melintasi Kota Malang, mereka bersiap untuk mengadang. 

Untuk mengadang Belanda, mereka disebar di beberapa titik. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari menebang pohon di Singosari, hingga membumihanguskan Kota Malang. Setidaknya terdapat 1.000 bangunan berupa hotel, bioskop, kantor pemerintahan yang berhasil terbakar. 

Namun, ternyata perkiraan tentang arah kedatangan pasukan Belanda meleset. Pergerakan Belanda sempat terhenti di sekitar Gereja Ijen. Pasukan TRIP hanya bermodalkan senjata seadanya, tetap melawan Belanda dengan gagah berani. Pertarungan terjadi hingga di Jalan Salak. Belanda dengan masif melayangkan serangan, menyebabkan banyak pasukan TRIP tertembak. Bahkan terdapat salah satu pelajar datang membawa granat untuk dilemparkan ke arah tank, tetapi gagal. 

Agar tidak banyak memakan korban, pasukan yang masih selamat harus bersembunyi dan berpura-pura mati di parit sekitar Jalan Salak. Sore harinya, mereka kembali ke markas dan berlari ke perkampungan yang ada di daerah Gadingkasri.

Butuh waktu 3–4 hari untuk memastikan suasana sudah aman dari pergerakan Belanda. Pada saat itulah jenazah pemuda TRIP baru dapat dikuburkan. Terdapat 35 jasad yang ditemukan dan dikubur secara massal di lahan kosong Jalan Salak. Kini makam para Pahlawan TRIP telah direnovasi oleh Pemkot Malang. 

Di jalan tersebut juga dibangun sebuah monumen untuk mengenang pahlawan TRIP. Bahkan setiap bulan Juli, terdapat kelompok masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Reenactor memperingati peristiwa tersebut dengan aksi teatrikal.

Kiri: Gambaran peta kawasan kamp interniran yang digunakan untuk menahan orang Belanda pada masa pendudukan Jepang/History Dun Walk Malang. Kanan: Peta kamp interniran di Kota Malang/japanseburgerkampen.

Jepang Datang, Orang Belanda Tertahan di Kamp Interniran

Setelah perjalanan yang panjang, kami dibawa ke depan bangunan SMPN 1 Kota Malang yang berada di Jalan Lawu. Ternyata bangunan sekolah tersebut dulunya dimiliki oleh Yayasan Freemason. Tak hanya itu, Jalan Lawu juga termasuk dalam kamp interniran atau kamp konsentrasi atau penjara bagi warga keturunan Belanda pada masa pendudukan Jepang di Kota Malang.

Kamp interniran berada di dua wilayah, yakni daerah Rampal dan kawasan Jalan Ijen serta Oro-oro Dowo. Kamp Ijen berada di seluruh area yang berbatasan dengan Jalan Ijen, Jalan Wilis, Jalan Anjasmoro, Jalan Buring, Jalan Bromo, hingga Jalan Semeru. Pada saat Jepang menguasai Kota Malang, orang Belanda khususnya perempuan dan anak-anak ditahan di rumah-rumah dan bangunan yang berada di kawasan Ijen. Kamp tersebut dikelilingi dengan gedek dan kawat berduri.

Terdapat tiga pintu gerbang yang dijaga ketat oleh Tentara Jepang di Jalan Ijen, Jalan Oro-oro Dowo, dan Jalan Bromo. Setiap rumah dapat dihuni lebih dari 50 orang dan berlangsung hingga tiga tahun, dimulai saat Jepang datang ke Kota Malang pada 1942. Terdapat satu dapur umum yang terpusat di daerah Welirang dan rumah sakit di Jalan Argopuro. Namun, suplai makanan dan minuman yang disediakan sangat terbatas, bahkan untuk mengakses pakaian layak pun mereka kesulitan.

Saat ditahan dan dipaksa meninggalkan rumah masing-masing, tidak banyak barang yang dapat mereka bawa. Jepang menyita barang-barang milik Belanda yang tersisa, termasuk pagar rumah untuk digunakan sebagai bahan pembuat alat-alat perang.

Diketahui bahwa penahanan tersebut salah satunya disebabkan oleh ketidaksukaan Jepang terhadap orang-orang kulit putih. Jepang ingin menunjukkan supremasi kekuasaan dan kedudukannya yang lebih tinggi dibandingkan Eropa. 

Beberapa sumber mengatakan bahwa rumah-rumah Belanda yang kosong akibat interniran, diserahkan kepada warga Tionghoa. Mereka dianggap lebih mampu merawat rumah-rumah tersebut, tetapi menimbulkan kecemburuan terhadap warga pribumi. Ada juga yang mengatakan bahwa setiap rumah yang kosong dapat dengan mudah ditempati oleh siapa pun. Hingga akhirnya, setelah Jepang menyerah kepada sekutu dan mundur dari Indonesia, para interniran mulai dibebaskan dan dipulangkan ke negara asalnya.  

Cerita-cerita itu merupakan sedikit dari rangkuman perjalanan mencari sejarah-sejarah yang masih terkandung di Kota Malang. Siapa sangka kota yang kini sering dilanda banjir saat hujan deras dan macet ketika akhir pekan panjang, memiliki sejarah kelam yang tak gagal membuat bulu kuduk merinding. Kendati demikian, kota yang menjadi tempat saya betah merantau hingga delapan tahun ini membuat saya semakin penasaran dan ingin menyelaminya lebih dalam lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Avatar photo

Lutfia Indah, perempuan yang sedang senang.

    1 Comment

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Kayutangan Heritage Ramai (Lagi)