INTERVAL

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa

Sepintas kehidupan berjalan begitu rumit bagi masyarakat penghuni perairan rawa Tulung Selapan. Seakan menerima suratan takdir menjalani hidup yang begitu-begitu saja. Namun, Sri bersama Bintang Ratu membuktikan setiap orang berhak bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpinya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda


Bentang alam dan geografis yang sulit mengepung kampung-kampung terpencil di kanal-kanal kecil Sungai Selapan, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Tak terkecuali Satuan Penduduk (SP) 2, Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, sebuah kampung yang dihuni sekitar 100 kepala keluarga (KK). Betapa tidak, akses pendidikan, kesehatan, dan kegiatan perekonomian bergantung pada pasang surut perairan rawa yang bermuara di pesisir paling timur Pulau Sumatra tersebut.

Sebagian besar warga berdarah Jawa yang merantau sejak tiga hingga empat dekade lalu dari Lampung. Termasuk Katiyo, salah satu penghuni generasi awal di SP 2. Bapak empat anak asal Trenggalek itu sehari-hari bekerja sebagai petambak udang windu dan bandeng, profesi mayoritas di kampung ini.

Lahan tambak yang dikerjakan biasanya berada jauh dari kampung dan harus memakai perahu klotok atau speed boat. Selebihnya bertani padi, palawija, sayur, dan berkebun kelapa sawit. Kurang lebih radius 10 kilometer dari SP 2 memang terkoneksi jalur darat dengan lahan perkebunan kelapa sawit PT Bumi Khatulistiwa Mandiri. Di antaranya jalur itu terdapat kampung-kampung kecil, seperti SP 1, SP 3, dan SP 5.  

Cuaca jadi tantangan terbesar untuk bertahan hidup di sini. Ketika musim kering, warga, terutama ibu-ibu, bisa menanam sayuran, seperti cabai, terong, kangkung, dan bayam. Begitu musim hujan tiba, air sungai akan meluap dan membanjiri kampung. Semua tanaman mati, sehingga harus istirahat menanam. Sementara saat musim awal budi daya tambak, sebagian suami harus menginap berhari-hari di pondok yang dibangun dekat tambak. Tujuannya untuk mengawasi perkembangan bibit udang dan bandeng agar sesuai harapan, serta memastikan agar air pasang tidak membanjiri tambak.

Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan semangat Sri Ngatoyah (44) berkreasi di luar kesehariannya sebagai ibu rumah tangga. Lewat kelompok UMKM perempuan Bintang Ratu, putri sulung Katiyo itu ingin mengoptimalkan potensi ekonomi kampung dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. 

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
Sejumlah siswa ditemani gurunya melintasi Sungai Selapan dengan kelotok sepulang sekolah. Tampak kerimbunan hutan nipah yang memiliki potensi bernilai ekonomi bagi masyarakat SP 2 Simpang Tiga Abadi, Tulung Selapan/Deta Widyananda

Dari bandeng sampai nipah

“Berdirinya Bintang Ratu itu bulan Juli, tahun 2019. Kami dibina Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk membuat bandeng presto supaya mendapat hasil atau nilai jual yang lebih [dari sekadar bandeng mentah],” kata Sri. 

Bandeng presto dipilih karena bahan baku mudah didapat dari hasil panen tambak yang digarap suami mereka. Jenis ikan bandeng yang digunakan umumnya memiliki ukuran di luar ketentuan minimal yang dijual segar ke pengepul. Istilah Sri, ikan bandeng yang tidak masuk “size”.

Produksi bandeng presto sempat berjalan baik beberapa tahun. Peminatnya banyak. Kabarnya, bandeng presto produksi Bintang Ratu dikenal berkualitas dan terbaik di seantero Sumatra Selatan. Proses produksinya pun relatif mudah. 

Hanya saja, Sri menyadari ada tantangan tersendiri dalam memproduksi bandeng presto. “Karena kita di sini terkendala sama kelistrikan. Jadi, untuk mengirim produk ke Palembang itu lebih susah. Tidak ada freezer di sini,” terangnya. Sri memberi ilustrasi, dari 10 produk bandeng presto yang dikirim ke Palembang, separuhnya “terpaksa” rusak atau sudah membusuk.

Kesulitan Sri dan sembilan anggota kelompok Bintang Ratu sebenarnya juga dialami hampir seluruh masyarakat desa-desa penghuni rawa Sungai Selapan. Dari Simpang Tiga sampai Sungai Lumpur di muara yang berbatasan dengan Selat Bangka. Belum ada pasokan listrik negara yang menjamin kelistrikan tersedia 24 jam. Masyarakat mengandalkan genset yang hanya menyala dari petang sampai pagi, mengingat tingginya harga bahan bakar di daerah yang aksesnya jauh dari mana pun.

“Jadi, kalau misalnya kita di sini sudah ada [pasokan listrik untuk] freezer, kita mengirim ke Palembang lebih mudah,” harap Sri. Tapi kenyataan tersebut berusaha ditanggapi santai oleh Siti Sulkha (42), anggota kelompok sekaligus adik ipar Sri. Baginya, meski bandeng presto sering hancur, setidaknya nama Bintang Ratu bisa makin dikenal orang. “Biar tekor, asal tersohor,” selorohnya.

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
Bentuk buah nipah yang menggantung di pelepah pohon nipah yang banyak ditemukan di pesisir OKI. Untuk memanen buah nipah, warga harus menggunakan perahu/Deta Widyananda

Tentu saja ibu-ibu Bintang Ratu tidak bisa terus-terusan tekor. Inovasi produk dilakukan seiring masuknya Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), seiring penyelenggaraan pengelolaan mangrove melalui program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) di pesisir OKI sejak 2021. Program ini bertujuan merestorasi ekosistem mangrove sekaligus meningkatkan produksi tambak berkelanjutan dengan metode wanamina atau silvofishery

Program tersebut tidak hanya menyasar para petambak yang didominasi laki-laki, tetapi juga kelompok perempuan agar memiliki kemandirian ekonomi. YKAN kemudian mendatangkan Nuraeni, Ketua Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Az-Zahra, yang sukses memberdayakan perempuan dan para nelayan di pesisir Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. Oleh Nuraeni, Sri dan anggota Bintang Ratu diajari mengolah ikan bandeng dalam bentuk lebih segar dan tahan lama, yaitu abon bandeng.

Tidak hanya bandeng, YKAN juga melibatkan akademisi maupun peneliti dari Universitas Sriwijaya (Unsri) untuk mengolah buah nipah. Salah satu produk olahan yang hingga kini masih dikerjakan adalah cookies atau kue kering atau biskuit nipah. Sri mengakui, inovasi tersebut menyadarkan dirinya dan ibu-ibu di SP 2 tentang potensi tersembunyi yang ada di balik hutan nipah, salah satu ekosistem mangrove yang terhampar di perairan rawa pasang surut Sungai Selapan hingga muara. “Kalau dulu, kan, dari zaman nenek moyang sampai kita di sini nipah itu enggak ada artinya. [Paling jauh biasanya] buahnya buat kolang-kaling, daun buat atap rumah,” kenang Sri.

Berkat pendampingan intensif YKAN sepanjang 2022–2023 , Bintang Ratu akhirnya berhasil membuat biskuit nipah, setelah serangkaian proses trial & error sampai benar-benar mendapatkan bentuk produk yang diinginkan. Bahan bakunya berasal dari buah nipah yang diolah menjadi tepung nipah dan mengandung serat yang baik untuk tubuh. 

  • Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
  • Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa

Produksi dari dapur yang sederhana

Luas ruangan berbentuk “L” di sudut rumah itu paling hanya 2×3 meter. Lantainya beralas karpet berbahan vinyl. Di dalamnya rak-rak penuh perabot masak sampai alat makan dan minum. Yang menarik, puluhan botol plastik berisi air berjejer di dinding kayu dekat jendela. “Itu hasil tampungan air hujan. Biasanya buat cuci tangan atau piring supaya menghemat stok air di kamar mandi,” kata Sulkha, pemilik rumah yang juga dijadikan dapur produksi Bintang Ratu. 

Meski terdapat satu daun jendela dan pintu samping yang mengarah ke luar rumah, saat siang terik sirkulasi udara tidak maksimal, pengap, panas. Tapi di sinilah kreasi abon bandeng dan biskuit nipah Bintang Ratu berasal. Sebuah oven tangkring yang nangkring di atas kompor gas menjadi senjata andalan kelompok ibu-ibu berusaha, khususnya untuk memanggang biskuit nipah.

Proses produksi abon bandeng dan biskuit nipah berbeda. Kalau membuat abon bandeng, langkah pertama adalah membersihkan ikan bandeng hasil panen dari tambak. Setelah dibersihkan, ikan dikukus lalu dipisahkan antara duri dan daging sambil dihancurkan. 

“Setelah itu kita siapkan bumbu, kita marinasi (merendam daging ikan dalam campuran bumbu dan cairan marinasi sebelum dimasak) selama satu jam, lalu kita goreng,” ungkap Sri menjelaskan tahapan pembuatan abon bandeng. Usai digoreng, campuran olahan ikan dan bumbu tersebut kemudian ditiriskan dengan mesin spinner. Terakhir, dimasukkan dalam kemasan. Bintang Ratu menyediakan dua varian rasa untuk abon bandeng, yaitu asin gurih dan manis gurih. Setiap varian dikemas dalam standing pouch zipper dengan berat 100 gram, dijual seharga Rp25.000 per kemasan.

Adapun produksi biskuit nipah sedikit lebih panjang daripada abon bandeng. “Karena, pertama kita cari buah nipahnya yang [sudah] tua. Terus kita biarkan beberapa hari sampai rontok. Ketika sudah rontok baru kita belah,” imbuh Sri. 

Bagian dalam dan luar daging buah yang sudah dibelah dibersihkan, ditumbuk kasar, lalu dijemur selama 2–3 hari. Hasil penjemuran akan optimal jika matahari bersinar cerah tanpa terhalang mendung atau hujan. Baru ketika sudah kering, hasil tumbuk kasar tersebut digiling menjadi tepung. Tepung nipah yang sudah jadi dicampur dengan tepung terigu agar tidak mudah hancur ketika dibentuk menjadi biskuit. Terakhir, cetakan biskuit dipanggang dalam oven lalu dimasukkan dalam kemasan.

Ada dua varian rasa biskuit nipah, yakni original dan cokelat. Untuk varian original, tersedia kemasan standing pouch zipper 100 gram seharga Rp15.000 dan kemasan toples 100 gram seharga Rp20.000. “Kalau yang [rasa] cokelat, kita [selain kemasan 100 gram juga] jual bijian agar lebih mudah memperkenalkan ke masyarakat,” tambah Sri. 

Tampilan video produksi abon bandeng (paling atas) dan biskuit nipah Bintang Ratu dari Instagram, untuk menunjukkan bentuk optimalisasi penggunaan platform media sosial sebagai alat promosi

Di luar bahan baku lokal, Sri mengatakan pengadaan untuk bumbu-bumbu tambahan, kemasan, dan cetak label dibeli di Palembang. Meski tersekat jarak yang jauh, harganya lebih murah dan relatif masih bisa dijangkau. Untuk desain merek, label kemasan, dan pemasaran, Sri menyerahkan sepenuhnya ke anak pertamanya, Aang Hidayat, yang bekerja di Palembang. Lulusan Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang itu juga didapuk sebagai administrator akun Instagram bintangratu_sta dan makabon.id. Terkadang ia dibantu anak kedua Sri, Ryan Wahyudi, yang juga lulusan almamater yang sama.

Sri tidak bisa memastikan secara pasti kapasitas produksi Bintang Ratu per hari. Sebab, kelompoknya baru akan membuat produk berdasarkan pesanan. Kecuali sebelum menggunakan media sosial, Bintang Ratu menitipkan produk abon bandeng ke toko-toko oleh-oleh di Palembang setiap tiga bulan sekali. Terakhir, mereka mendapatkan pesanan 100 pak biskuit nipah dari Jakarta. Jumlah segitu bisa diproduksi kurang dari seminggu, melibatkan seluruh anggota kelompok yang berjumlah 10 orang.

Di sisi lain, Bintang Ratu juga kerap mengikuti pameran-pameran UMKM di Palembang hingga Jakarta. Sampai-sampai mereka membawa buah nipah asli untuk dipamerkan. Sebab, banyak orang mengira nipah seperti salak, sawit, atau durian hutan. “Ke depan, saya masih berharap bisa kembali memproduksi bandeng presto agar varian produk Bintang Ratu beragam,” imbuhnya. Olahan pisang dan singkong—yang juga banyak ditanam di kampung—menjadi keripik juga berpotensi memiliki nilai ekonomi untuk dijual.

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
Sri Ngatoyah (paling kiri) dan sejumlah anggota kelompok Bintang Ratu menyongsong harapan berkembangnya bisnis UMKM melalui produk abon bandeng, biskuit nipah, dan produk-produk olahan potensial lainnya untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di perairan rawa pasang surut OKI/Deta Widyananda

Ingin dikenal dulu, untung kemudian

Perjalanan hingga ke titik ini, Sri dan kerabat-kerabatnya meniti jalan panjang. Dari yang semula sebatas mengolah ikan bandeng menjadi ikan asin—dan minim peminat—kini makin kreatif setelah mendapat pendampingan YKAN. Walaupun terbilang sudah cukup sering menerima pesanan, Sri berterus terang kalau Bintang Ratu masih belum berorientasi profit. Ia bersama anggota kelompok sepakat untuk memanfaatkan hasil penjualan sebagai modal agar kelanjutan usaha terus bergulir dan konsisten.

“Kami belum pernah menerima gaji dari hasil kerja kami,” terang Sri, “mengingat kita di sini masih serba keterbatasan semuanya. [Terutama] masalah pendanaan. Jadi, hasil dari penjualan itu kita putar lagi.”

Sekalipun begitu, kiprah ibu-ibu Bintang Ratu diakui oleh Achmad Soleh (48), suami Sulkha. Petambak yang menghuni SP 2 sejak 1992 itu senang dengan kegiatan istrinya di Bintang Ratu, yang berarti mendukung sang kakak—Sri Ngatoyah—untuk lebih produktif dan bisa membantu perekonomian keluarga.

“Karena seperti bandeng ini, kan, kalau kita jual secara langsung mungkin harganya relatif murah, [terutama] yang kecil-kecil. Jadi, kita manfaatkan dibikin abon supaya ada nilai tambah. Kemudian nipah yang selama ini nggak kita apa-apain cuma jatuh, hilang, hanyut, ternyata setelah kita [buat] produk, ya, bisa jadi kue. Dan itu lumayan juga pemesannya,” ungkap Achmad gamblang.

Menurut Sri, meskipun memiliki kesibukan keluarga masing-masing, ia mengusahakan semua anggota kelompok bisa kumpul secara rutin. Membahas inovasi, rencana bisnis, dan juga pembagian peran atau tugas saat ada pesanan datang. Di sisi lain, Sri berpikir setidaknya dengan aktivitas usaha di Bintang Ratu membuat mereka tidak hanya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga atau bertani. Sri menyadari ada peluang besar untuk mewujudkan mimpi besar mereka. 

“Kita pengen mewujudkan bahwa benar-benar produk kita itu dikenal masyarakat luas,” tegas Sri. Dari bersepuluh, Sri berharap di masa mendatang masing-masing anggota bisa berjualan produk lebih banyak, lebih dikenal di media sosial, sehingga kelak bisa menambah orang (anggota) dalam kelompok Bintang Ratu, lalu mendapat manfaat keuntungan dari produk-produk yang dibuat secara berkelanjutan. “Seperti itu mimpinya,” pungkas Sri.


Foto sampul: Anggota kelompok Bintang Ratu mendemonstrasikan cara mengupas buah nipah dan mencongkel dagingnya sebagai bahan baku biskuit nipah (Deta Widyananda).

Publikasi artikel ini merupakan kerja sama TelusuRI bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Avatar photo

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Andai Ada Seribu Pasaribu