Sektor pariwisata selama ini lebih lekat dengan aspek-aspek keindahan alam, peninggalan sejarah, atau kekayaan budaya lokal. Namun, di tengah perkembangan teknologi dan desain kawasan urban modern, sebuah infrastruktur seperti jembatan ternyata mampu pula menjadi ikon dan daya tarik utama destinasi wisata.
Secara fungsi, jembatan di mana pun adalah penghubung antartitik. Namun, dalam banyak kasus, jembatan justru bisa menjadi tujuan. Jadi, ia bukan sekadar perantara. Dalam konteks inilah muncul konsep pariwisata berbasis infrastruktur, yakni sebuah konsep yang menempatkan struktur buatan manusia sebagai daya tarik wisata itu sendiri.
Urry (2002) menegaskan bahwa objek wisata bukan hanya dinilai dari keindahannya, melainkan juga dari cara pandang dan konstruksi makna yang dibentuk oleh masyarakat terhadap objek tersebut. Dalam konteks ini, jembatan bisa menjadi objek wisata apabila dipandang menarik, simbolik, dan memiliki nilai visual atau historis yang kuat.
Kita ambil contoh, misalnya Golden Gate Bridge di San Francisco. Secara teknis, ia hanyalah sebuah jembatan penghubung. Namun, dalam realitas sosial dan budaya, ia telah menjelma menjadi simbol kota, bahkan negara. Lagu San Francisco, yang dinyanyikan oleh Scott McKenzie pada tahun 1967, menanamkan imajinasi romantis ihwal sebuah kota yang sebagian jiwanya berada di jembatan tersebut.
Fungsi simbolik jembatan juga terlihat di Tower Bridge di London. Dikelilingi oleh arsitektur kuno dan atmosfer kerajaan, Tower Bridge menyatukan keindahan struktural dan daya tarik historis. Banyak turis datang ke London tidak hanya untuk melihat Istana Buckingham atau Menara Big Ben, tetapi juga mengabadikan momen di atas jembatan yang menyeberangi Sungai Thames ini.
Di tanah air kita tercinta, Jembatan Suramadu, yang menghubungkan Surabaya dan Madura, juga mulai tumbuh menjadi sebuah ikon dan menyedot wisatawan. Meski awalnya dibangun sebagai solusi mobilitas, dalam praktiknya, jembatan ini ternyata menarik banyak wisatawan lokal yang ingin merasakan sensasi menyusuri jembatan terpanjang di Indonesia ini (5.438 meter).

Menciptakan Efek Berantai
Dari sudut pandang ekonomi pariwisata, kehadiran jembatan yang ikonis sudah barang tentu mampu menciptakan efek berantai (multiplier effect). Faktanya, jembatan bisa memicu pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan jumlah kunjungan wisatawan, terbentuknya ekosistem kuliner dan suvenir, hingga penciptaan lapangan kerja.
Di sisi lain, jembatan juga bisa berfungsi sebagai kanvas arsitektur modern. Millau Viaduct di Prancis, misalnya, yang dirancang Norman Foster, kini dianggap sebagai mahakarya teknik sipil. Dengan ketinggian yang melampaui Menara Eiffel, viaduk ini justru menjadi magnet wisata bagi para pencinta desain futuristik dan struktur monumental.
Bukan cuma soal kemegahan, jembatan juga bisa memancarkan nuansa intim bahkan mistis. Ambil contoh Charles Bridge, sebuah jembatan batu tua yang dipenuhi patung dan sarat legenda di Praha, Ceko. Saat senja turun dan pengamen memainkan lagu Bridge Over Troubled Water karya Simon & Garfunkel, suasana berubah menjadi emosional, melahirkan pengalaman wisata yang menyentuh sisi diri yang terdalam. Refleksi emosional semacam itu jelas bukan hal remeh.
Dalam banyak budaya, jembatan sering dimaknai secara metaforis sebagai penghubung: antara masa lalu dan masa depan, antara dua hati yang pernah terpisah, atau antara dunia luar dan dunia batin. Lagu The Bridge dari Elton John menggambarkan hal ini dengan indah, yakni jembatan sebagai simbol perjalanan spiritual dan pencarian makna terdalam dalam hidup.

Butuh Dukungan Narasi
Di sejumlah negara, pariwisata berbasis ikon infrastruktur seperti jembatan, ditopang pula dengan narasi yang mampu menggugah emosi dan membangun ikatan antara tempat dan pengunjung. Busan, Korea Selatan, membangun Gwangan Bridge bukan sekadar membentangkan batu dan baja, melainkan juga merangkai pertunjukan cahaya dan maraton malam yang menjelma pesta bagi mata dan jiwa. Dari sinilah wisata kontemporer berbasis infrastruktur berkembang: dari sekadar struktur fisik menjadi sebuah spektakel yang hidup.
Sebagaimana diketahui, elemen-elemen kota yang kuat secara visual (landmark) memiliki kekuatan untuk memandu persepsi dan emosi publik. Nah, jembatan, dengan struktur menjulang dan garis-garis arsitekturnya yang mencolok, bisa menjadi landmark yang kuat bila dikelola dengan baik.
Di Bandung, Jawa Barat, misalnya, Jembatan Pasupati sempat digadang-gadang sebagai ikon Kota Bandung, dengan menonjolkan atraksi cahaya berwarna-warni. Namun, karena tanpa manajemen yang berkelanjutan, daya tarik jembatan kini mulai memudar. Pariwisata tak cukup dengan estetika sementara, dibutuhkan pula keberlanjutan dan inovasi.

Memicu Perasaan Keterikatan
Pada dasarnya, tempat yang memiliki simbol kuat seperti jembatan mampu turut memicu sense of place, perasaan keterikatan pada suatu lokasi. Inilah sebenarnya modal yang bisa diperkuat oleh pemerintah daerah atau sektor swasta dalam upaya membangun sektor pariwisata tematik, khususnya yang melibatkan jembatan di negeri ini.
Namun demikian, ada juga tantangannya, yakni aspek keamanan, perawatan, dan kapasitas. Jembatan yang ramai dikunjungi wisatawan memerlukan kontrol lalu lintas, sistem penerangan yang aman, serta proteksi terhadap vandalisme.
Tak kalah penting juga adalah menjaga keseimbangan antara fungsi asli jembatan dan perannya sebagai daya tarik wisata. Sebagus apa pun desain dan daya pikatnya, jembatan tetaplah infrastruktur publik yang melayani mobilitas. Jangan sampai kunjungan wisata yang ramai justru mengganggu fungsinya sebagai jalur transportasi vital.
Untuk itu, diperlukan pendekatan lintas sektor yang saling melengkapi. Kolaborasi antara dinas pariwisata, dinas pekerjaan umum, dan pelaku ekonomi kreatif menjadi kunci. Mereka harus duduk bersama merancang strategi yang tidak hanya mengedepankan estetika, tetapi juga mempertahankan fungsionalitas. Inilah bentuk sinergi konkret dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan, yang memberi manfaat ekonomi tanpa mengorbankan fungsi infrastruktur dasar.


Pada akhirnya, barangkali sudah waktunya kita merombak cara pandang kita terhadap jembatan. Ia bukan lagi sekadar jalan pintas yang menghubungkan dua tempat, melainkan juga bagian dari perjalanan itu sendiri. Sebuah ruang yang tidak hanya dilewati, tapi juga dialami, tempat di mana waktu, ruang, dan kenangan bertemu dan mengalir bersama pengalaman yang bermakna.
Sebagaimana sebuah puisi yang baik, jembatan tidak selalu harus mewah, panjang, serta tinggi menjulang nyundul langit. Keindahan jembatan justru terletak pada kemampuannya membuat kita berhenti sejenak. Kita menunduk, menatap ke bawah, menyadari perjalanan yang kita lewati, baik secara fisik maupun batin, dan merenungi apa yang telah dan akan kita tempuh.
Untuk itu, dibutuhkan lebih dari sekadar teknik konstruksi. Kita memerlukan visi, narasi, dan manajemen kreatif agar setiap jembatan bisa menjadi ruang reflektif. Ia menjadi sebuah media yang tidak hanya menghubungkan dua sisi tanah, tetapi juga dua sisi jiwa—antara pengunjung dan tempat yang dikunjunginya.
Referensi:
Urry, John. (2002). The Tourist Gaze: Second Edition. London: SAGE Publications.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.