Pada Juni 2022, saya menyusuri Kota Lama di Semarang, Jawa Tengah yang penuh dengan gedung-gedung peninggalan kolonial. Saya penasaran dengan gedung milik Oei Tiong Ham, saudagar yang dikenal dunia sebagai raja gula.
Untuk menyusuri Kota Lama, demi mendapat kisah di balik gedung-gedung tua itu, saya meminta bantuan seorang pemandu wisata di sana, Aziz Nurkhusyaini. Kami janji bertemu di sebuah minimarket, tak jauh dari area Kota Lama. Dia lantas mengajak saya berkeliling.

Riwayat Oei Tiong Ham
Di Semarang, nama Oei Tiong Ham seakan sudah menjadi legenda sebagai pengusaha sukses berjuluk Raja Gula. Mendengar nama itu, orang-orang langsung teringat pada bisnis gula.
Oei Tiong Ham kelahiran Semarang, 19 November 1866. Dalam buku Liem Tjwan Ling berjudul Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang, ayah Tiong Ham adalah seorang imigran yang meninggalkan Tiongkok pada 1858 ke Semarang lantaran meletus pemberontakan Taiping yang gagal.1
Tahun 1863 di Kota Atlas (julukan Semarang), ayahnya, Oei Tjie Sien, mendirikan firma Kian Gwan, yang berarti sumber dari seluruh kesejahteraan. Perusahaan itu bergerak dalam perdagangan produk khas dari Tiongkok serta mengekspor gula, tembakau, gambir, dan kemenyan ke Tiongkok. Berlanjut bisnis perdagangan antarpulau hingga antarnegara.
Di usianya yang baru 24 tahun pada 1890, Oei Tiong Ham memimpin perusahaan tersebut. Diperkirakan, antara 1890 dan 1904, perusahaan itu meraup untung sekitar 18 juta gulden dari perdagangan opium, yang menjadi peletak dasar berdirinya kerajaan bisnis tersebut.
Seiring perkembangan perusahaan, gula lantas menjadi komoditas penting penggerak roda bisnis keluarga Tiong Ham. Dominasi bisnis gula bertumbuh kala Tiong Ham mengambil alih lima pabrik gula, yaitu pabrik gula Pakis di Pati (1894); pabrik gula di Tanggulangin, Sidoarjo (1897); pabrik gula di Rejoagung, Madiun (1899); pabrik gula di Ponen, Jombang (1908); dan pabrik gula di Krebet, Malang (1908).
Dengan demikian, Tiong Ham menguasai 60% produksi gula di Jawa. Bisnisnya kian maju karena Perang Dunia I meletus pada 1914–1918. Akibatnya, negara-negara Eropa membutuhkan impor keperluan sehari-hari, utamanya gula, dari Dunia Timur.
Sebelumnya, tahun 1893, perusahaan diubah namanya menjadi NV Handel Maatschappij Kian Gwan. Pada 1910, perusahaan itu membuka cabang di London, Inggris. Selanjutnya menyusul di Amsterdam (Belanda), New York (Amerika Serikat), serta Kalkuta dan Karachi (India).
Seiring waktu, nama perusahaan berubah menjadi Oei Tiong Ham Concern. Kemudian menjelma menjadi perusahaan dagang raksasa, yang meliputi Bank Vereeniging Oei Tiong Ham, pabrik-pabrik gula, perusahaan kapal Heap Eng Moh, NV Midden Java Veem, Soen Bie Kongsie, dan sebagainya.
Kala itu, Tiong Ham pun dekat dengan pejabat-pejabat kolonial. Ketika hingga akhir abad ke-19 di Hindia Belanda orang-orang Tionghoa tidak diizinkan memakai pakaian gaya Eropa, Tiong Ham adalah pengecualian. Dia orang Tionghoa pertama yang diperbolehkan memakai pakaian bergaya Eropa.
Menurut sejarawan Mona Lohanda,2 pemerintah kolonial mengangkat Tiong Ham menjadi Kapitan Cina di Semarang pada 1898. Kapitan adalah gelar untuk para petinggi di kalangan masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara. Namun, jabatan tersebut cuma dipegang kurang lebih dua tahun. Tiong Ham minta dibebastugaskan. Sebab, dia sibuk mengurus perusahaan. Belanda lalu memberikan pangkat kehormatan Mayor kepadanya.
Pada 1921, Tiong Ham memilih meninggalkan Hindia Belanda, lalu menyingkir ke Singapura. Perkaranya, karena dia diwajibkan membayar pajak yang sangat tinggi. Di Singapura, dia berstatus tanpa kewarganegaraan karena tak melaporkan diri pada legatie Belanda dan tidak masuk menjadi warga negara Inggris, yang kala itu menjajah Singapura. Pada 6 Juli 1924, Tiong Ham meninggal dunia.
Kisah Oei Tiong Ham Concern berakhir pada Juli 1961.3 Saat itu, pengadilan ekonomi Semarang memberikan voin in absentia kepada tujuh pemegang sahamnya. Vonis itu diberikan usai sebelumnya pemilik saham absen dalam persidangan dengan tuduhan perusahaan melakukan pelanggaran terhadap peraturan valuta asing.
Selanjutnya, pada Oktober 1964, pemerintah membentuk PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional Radjawali Nusantara atau PT Radjawali Indonesia untuk mengelola aset-aset Oei Tiong Ham Concern.

Tiong Ham Mati Meninggalkan Gedung
Beberapa bangunan warisan Oei Tiong Ham masih bisa kita lihat di Kota Lama Semarang. Salah satunya bangunan yang kini menjadi Restoran Pringsewu. Menurut pemandu wisata Kota Lama, Aziz, bangunan ini dahulu adalah kantor pertama firma Kian Gwan.
Ketika saya menyusur ke dalam, ada dua brankas besar peninggalan Tiong Ham. Brankas terbuat dari besi itu, untuk menarik pintunya saja sangat berat. Dahulu, firma Kian Gwan menyimpan uang dan emas di brankas tersebut.
Saya dan Aziz kemudian berjalan lagi ke Jalan Kepodang. Di sini, ada bekas kantor Oei Tiong Ham Concern. Bangunan ini mulai difungsikan pada awal 1930-an, di bawah kendali putra Tiong Ham, yakni Oei Tjong Hauw. Dirancang arsitek Tionghoa bernama Liem Bwan Tjie, bangunannya sangat megah dan modern, dengan banyak kaca. Kantor itu digunakan sebagai kantor Bank Vereeniging Oei Tiong Ham. Sekarang sudah dijadikan kantor PT Rajawali Nusindo dan marketing PT Pharos.
Lalu, menurut dosen arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, Choirul Anam, bangunan yang sekarang menjadi Hero Coffe dahulu adalah kantor pusat firma Kian Gwan.4 Akan tetapi, bangunan ini pada 1930-an merupakan kantor Yokohama Specie Bank (YSB).5

Tak jauh dari Hero Coffee, ada bangunan Soesman Kantoor, yang menurut Choirul Amin dibangun pada 1866. Dia menulis, jedung itu merupakan milik Kian Gwan Concern, yang menjadi kantor ekspor dan impor.
Gedung itu pernah digunakan sebagai kantor pusat perusahaan importir NV Soesman & Co, yang didirikan A.E. Soesman pada 1835. Lantas pada 1898, Soesman & Co berubah menjadi perusahaan patungan bernama Soesman’s Emigratie, Vendu, en Commissie Kantoor. Dalam versi Dewi Yuliati dkk, tidak pernah disebutkan bangunan yang sekarang menjadi Hero Coffee dan Soesman Kantoor adalah peninggalan Tiong Ham.6
Di sebelah Soesman Kantoor, ada gedung yang menurut Choirul dibangun pada 1921. Bangunan yang dinamakan Monod Diephuis tersebut adalah milik Tiong Ham yang diberi dari Belanda. Dahulu dipakai sebagai kantor asuransi Monod milik Tiong Ham.
Sementara dalam tulisan Dewi Yuliati dkk, gedung tersebut milik perusahaan makelar H.J. Monod de Froideville Co. Tahun 1922, perusahaan itu melakukan merger dengan Diephuis en Fehr en Co, lalu menggunakan nama baru, yakni Monod, Diephuis & Co.
Setelah berkeliling menelusuri Kota Lama, Aziz memberikan informasi yang menarik. Katanya, ada bangunan lain di luar Kota Lama, yang dahulu merupakan rumah Tiong Ham.
Berbekal alamat singkat yang diberikan Aziz, saya mencari rumah itu. Tibalah saya di depan Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 3 Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta di Jalan Kyai Saleh, Semarang.

Dari trotoar, saya menyaksikan halaman yang begitu luas, juga bangunan tua yang megah. Rumah Tiong Ham ini dikenal orang dengan sebutan Istana Balekambang atau Istana Gergaji. Inilah rumah peninggalan taipan kaya raya Tiong Ham yang sangat luas. Di salah satu gerbangnya masih terdapat tulisan “Rumah Sembahyang Keluarga Oei”, yang cukup menandakan kantor tersebut dahulu benar-benar warisan Tiong Ham.
Bangunan ini hanya sebagian dari seluruh kawasan sekitarnya yang juga milik Tiong Ham, seluas 8,5 hektare. Di bagian belakang, dahulu ada taman yang sangat luas, difungsikan sebagai kebun binatang pribadi Tiong Ham.
Matahari mulai terbenam. Senja mengantarkan saya pulang ke penginapan. Anak-anak masih asyik berlarian di depan rumah megah itu, yang barangkali mereka tidak tahu, dahulu itu adalah istana sang Raja Gula.
- Liem Tjwan Ling, “Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019). ↩︎
- Mona Lohanda,“The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942”, (Ann Arbor: ProQuest, 1994). ↩︎
- Dewi Yuliati, Endang Susilowati, dan Titiek Suliyati, “Riwayat Kota Lama Semarang dan Keunggulannya sebagai Warisan Dunia”, (Semarang: Sinar Hidoep, 2020). ↩︎
- Amin, Choirul, “Jejak Bangunan Oei Tiong Ham di Kota Lama Semarang”, (Jurnal Sarga, 27 Maret 2020). ↩︎
- Dewi Yuliati et al, op. cit. ↩︎
- Ibid. ↩︎
Foto sampul: Potret Lukisan Oei Tiong Ham (Koleksi Peranakan Museum Singapura)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.