Berawal dari kebiasaan saling mengirim video-video perjalanan di media sosial, memantik keinginan saya dan Trisna, sahabat saya, untuk bermain kembali setelah bertahun-tahun terkungkung aktivitas yang monoton. Malam itu, dengan diskusi singkat pilihan kami mengerucut ke Kawah Wurung. Kami berencana tidak hanya menikmati pemandangannya dari pos, tapi menyusuri jalan setapak yang masih belum jelas penanda arahnya menuju ceruk kawah. Tempat sapi-sapi dilepas dan dibebaskan di rimbunnya rerumputan. Kami akan berkemah semalam di sana.
Kawah Wurung memberi hamparan sabana dikelilingi bukit-bukit mungil. Di sekitar Kawah Wurung juga menyimpan banyak pemandangan yang tak kalah memukau. Sejalur dengan Kawah Ijen, Kawah Ilalang, Kawah Hapera, dan Bukit Jabal Kirmit, membuat wisatawan bisa berkunjung ke pelbagai wisata alam dalam sekali jalan.
Kami memilih Kawah Wurung untuk menghindari keramaian dan bau belerang, khususnya dari Kawah Ijen. Menurut kami, ini sangat sesuai untuk seseorang yang mendamba sunyi.

Tekad di Awal Perjalanan
Kami bertekad menjelajahi sisi lain dari wajah Kawah Wurung dan berkemah semalam di ceruk sabananya. Sebelumnya, saya sempat berkunjung ke Kawah Wurung bersama teman-teman lain dan hanya berhenti di posnya. Jika parkir di pos, kami hanya mendapatkan pemandangan Kawah Wurung saja. Sebab, terdapat jurang curam yang memisahkan antara pos dan Kawah Wurung itu sendiri. Menurut saya, kurang memuaskan.
Maka pada saat itu, di pikiran saya, kami ingin mencoba sedekat mungkin untuk merasakan rumput di kawahnya yang hijau rimbun dan terlihat empuk itu. Ditambah lagi, saat kunjungan pertama di sana, siangnya kami disambut hujan dan salah satu teman mengusulkan agar segera turun dan pulang secepatnya. Alhasil semakin tidak memuaskan. Saya tidak jadi jalan-jalan di punggung bukit-bukit mungil itu. Luar biasa kecewanya. Sepulangnya dari sana, didorong oleh rasa penasaran yang kuat, saya berjanji untuk mengunjungi Kawah Wurung sekali lagi dan menjelajahi keindahan alamnya secara utuh.
Pukul 14.00 WIB, kami memulai perjalanan dari Jember. Berbekal Google Maps, kami berangkat dengan perasaan membuncah dan yakin akan bisa menemukan ceruk sabana itu. Menyusuri rute Kecamatan Ijen, Bondowoso yang meliuk-liuk tajam. Memasuki gerbang pos Kawah Wurung, kami disambut penjaga loket untuk membayar tiket masuk sebesar Rp5.000/orang dan Rp15.000/tenda.
Mengetahui kami hanya berdua dan sama-sama perempuan, bapak penjaga loket agak kaget. Ia berinisiatif menunjukkan arah jalan yang harus kami tempuh untuk menuju sabana. Arahan darinya sudah cukup jelas. Namun, lagi-lagi kami disambut kecewa. Sebab, melalui jalur tersebut, sepeda motor bebek kami jelas tidak bisa lewat karena terjalnya lereng sekitar kawah. Kami juga tidak mungkin meninggalkan motor di pos, sedangkan kami berkemah di bawah.
Bertemu Penyelamat
Kami mencoba mengisi waktu dengan berfoto sebentar lalu mencari jalan alternatif, yakni jalan memutar dan mengelilingi kawah untuk sampai di sabana. Kami sempat kebingungan di antara ladang petani, sampai akhirnya bantuan datang juga. Bagai malaikat yang turun di siang bolong, ada seorang petani yang mau menunjukkan jalan. Ia juga mengantar sampai ke sabana karena rumahnya juga satu arah menuju sabana Kawah Wurung.
“Mau lihat sapi, ya?” tanya bapak petani itu. Ya, di sabana Kawah Wurung memang terdapat beberapa ekor sapi milik warga yang sengaja digembalakan di sana. Dengan semangat kami mengangguk dan mengikutinya dari belakang.
Rutenya cukup mudah diingat, tapi sulit ditempuh. Jalannya tidak beraspal, agak berpasir, dan sangat bergelombang. Kami sarankan jika melalui jalur ini menggunakan motor bebek atau motor trail, karena jalannya tidak ramah untuk motor matic. Kita hanya perlu memilih belokan ke kanan terus sampai ke sabana. Jalan menuju sabana agak sulit ditemukan karena minimnya sinyal dan tidak ada plang penunjuk arah.
Waktu tempuh dari lereng curam menuju jalan landai ke Kawah Wurung sekitar 20 menit. Tentu saja ini terasa lebih singkat karena ada bantuan bapak petani, sang penunjuk jalan. Kami berterima kasih dan berpisah di pertigaan jalan terakhir menuju ceruk sabana. Tepat di depan pandangan kami, terbentang luasnya sabana, lengkap dengan sapi dan lereng curam yang tadi siang kami lihat. Kami berdua terpesona lebih lama dari perkiraan. Ketika cahaya matahari mulai redup dan kabut mulai turun, barulah kami bergegas membangun tenda.


Mendirikan Tenda di Ujung Senja
Di tengah sabana, terdapat pohon kecil yang tumbuh sendirian. Tepat di samping pohon itu kami memutuskan membangun tenda. Tidak ada masalah berarti ketika membangun tenda. Tanahnya cukup mudah ditembus pasak dan pohon mungil itu cukup berguna sebagai penghalang angin. Lalu lapar menyerang dan kami segera memasak setelah membersihkan dan menata barang kami di dalam tenda.
Awalnya hanya ada kami berdua di sabana. Sempat ada orang-orang yang sama kebingungannya seperti kami di punggung bukit. Suaranya menggema, bertanya ke salah satu temannya, bagaimana caranya bisa turun ke sabana. Sungguh, sama seperti yang kami pikirkan tadi siang. Kemudian beberapa orang memutuskan langsung turun ke bawah tanpa membawa motornya. Ketika hari mulai gelap, ternyata ada rombongan lagi yang berkemah di sabana lewat jalan yang sama seperti kami, memutar dan lewat jalan landai.
Ketika malam menyergap pun, di sabana masih tidak terlalu gelap. Di dekatnya, ada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PT Medco Energi Geothermal yang menyumbang cahaya menyala kecil di balik punggung bukit. Didukung oleh udara yang bersih dan minim polusi, langit malam itu bertabur bintang. Kami bisa melihat dengan jelas hamparan bintang dengan latar langit pekat. Tanpa cahaya rembulan pun, pemandangan langitnya begitu memikat.
Kami mengeluarkan matras hanya untuk berbaring melihat bintang. Walaupun angin berembus dan hawa dingin menyerang, kami tetap bertahan sejenak menikmati pemandangan yang tidak bisa didapat ketika kami di kota. Usai bercerita dan melepas stres sebentar, kami merasa menggigil dan memutuskan untuk kembali ke tenda, berselimut sleeping bag yang hangat. Malam begitu hening dan tenang. Ini yang saya cari, ketika tidur di kos terasa memuakkan.

Pagi harinya, ketika kabut masih bergulung di dekat rumput, kami terbangun disambut udara dingin dan basah di luar tenda. Cahaya matahari masih minim di ufuk timur, tapi kami sudah bersiap keluar tenda. Berjalan-jalan menelusuri setiap lekuk bukit dan sesekali menanjak menuju punggung bukit, menangkap gambaran sabana dan bukit-bukit di sekitarnya.
Gerombolan sapi juga terlihat memulai aktivitasnya, mengunyah rerumputan dengan hikmat di dekat kaki mereka. Mereka terlihat tenang meski ada satu-dua orang yang melintas di dekatnya dan berusaha berfoto bersama. Puas berkeliling sabana, kami kembali ke tenda untuk memasak sarapan dan membuat minuman hangat. Setelah itu kami beres-beres dan bersiap pulang, karena hanya tinggal kami berdua saja di hamparan sabana.

Tersesat di Jalur Pulang
Di perjalanan pulang, lagi-lagi kami tersesat. Namun, sebelum menyadari jalur yang kami lewati berbeda dengan kemarin, kami menemukan kebun yang dipenuhi bunga berwarna ungu, yang belum kami ketahui namanya. Seluas mata memandang terlihat hamparan bunga ungu tersebut dan di tengah kebun terdapat gubuk tanpa atap. Tampak reyot, tapi enak dipandang, meskipun sudah tidak berfungsi. Kami menyempatkan berhenti dan berfoto sebentar di lokasi tersebut. Di kebun bunga itu kami bisa melihat bukit-bukit yang terlihat begitu dekat. Jalanan begitu sepi, hanya ada bapak-bapak dengan hasil rumputnya yang melewati jalanan itu.
Kami memutuskan untuk putar balik, sembari mengingat-ingat jalan kemarin. Ketika melihat tanda di tikungan, kami memilih jalan menukik tersebut. Diselingi rasa ragu kami meneruskan jalan, sampai bertemu bapak-bapak di ladang. Kami pun bertanya arah jalan menuju gerbang Kawah Wurung.
Beruntungnya, kami bertemu dengan bapak petani kemarin. Ya, orang yang sama, sekali lagi menunjukkan jalan pulang hingga akhirnya kami bisa sampai di gerbang Kawah Wurung. Di dekat area parkir, kami memilih ngopi dulu. Merebahkan rasa lelah dan gundah setelah tersesat beberapa saat, ditemani sinar matahari yang mulai menyeruak di balik bayang-bayang pepohonan.
Tak ada kata yang bisa menggambarkan hari itu, kecuali rasa puas yang merebak di hati. Hati kami terasa penuh. Pengalaman unik ini tak akan lekang begitu saja dimakan waktu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menetap di Jember. Di sela-sela kesibukan pekerjaan, wajib meluangkan waktu untuk membaca, menulis, merajut, atau menumpang tidur di alam.