Awal 2019 lalu, saya ke Blitar, Jawa Timur karena ada undangan diskusi tentang selebritas masa kolonial dari seorang teman yang mengelola beberapa komunitas. Badan terasa sangat pegal setibanya di Stasiun Blitar, pagi hari. Nyaris 15 jam saya duduk di kursi kereta kelas ekonomi, yang berangkat dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta.
Kesan pertama melihat keadaan jalan kota ini, saat keluar dari stasiun, sangat bersih. Tak lama, teman saya menjemput dengan mobil. Kami bergegas untuk sekadar beristirahat di rumahnya.

Jejak Pemberontakan PETA Blitar
Seorang teman, yang berasal dari kampus yang sama dengan saya, mengajak berkeliling Blitar menggunakan sepeda motornya, sehari sehabis diskusi. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Monumen Pembela Tanah Air (PETA).
Di monumen tersebut ada tujuh patung berseragam tentara PETA dengan ekspresi marah, membawa senapan laras panjang, bayonet, pedang, dan pistol. Sementara patung yang di tengah, tangan kanannya meninju ke langit. Di bawah patung yang paling tengah itu, terdapat lambang PETA. Lantas, di bawahnya, ada prasasti kecil.
PETA adalah tentara sukarela. Menurut Lebra (1988), pembentukan pasukan ini merupakan hasil karya badan intelijen Sambobu Tokubetsu-ham pada 3 Oktober 1943. Daidan (Batalion) Blitar dibentuk pada 25 Desember 1943.
“4 tempat stelling (?) regu senapan yang menembaki mess Kasikan Sidukan.”
Kira-kira begitu tulisan yang terukir di dinding gerbang SMP Negeri 4 Blitar, seberang Monumen PETA. Lebra mencatat sejumlah alasan mengapa beberapa anggota PETA di Blitar marah, hingga meletus pemberontakan. Pertama, Daidan PETA Blitar meninggalkan kota pada paruh kedua 1944. Mereka dikirim ke daerah-daerah pantai, lokasi mereka bekerja bersama pekerja sukarela romusha. Di sana, mereka melihat kesengsaraan para romusha. Belum lagi, mereka menyaksikan kesombongan para Kempeitai (polisi militer), yang juga berlaku kejam kepada romusha.
Kedua, daidancho (mayor, pemimpin batalion) dan perwira Indonesia tidak senang dengan kewajiban hormat kepada bintara Jepang, yang pangkatnya paling rendah sekalipun. Ketiga, Lebra mengutip sejarawan Kahin, yang mengaitkan pemberontakan ini dengan kegiatan anti-Jepang yang dilakukan kelompok Sjarifuddin dari Partai Komunis. Menurutnya, kelompok ini beroperasi di bawah tanah. Alasan terakhir, Soeprijadi sang pemimpin pemberontakan, ingin Indonesia merdeka sepenuhnya. Pemberontakan ini sudah direncanakan sejak September 1944. Beberapa orang pucuk pimpinan pemberontak, sudah melakukan pertemuan rahasia.
Soeprijadi, yang seorang shodanco (komandan peleton), menjadi pemimpinnya. Sukarno, salah seorang pemimpin yang disegani ketika itu, sebenarnya sudah mengetahui rencana makar anak-anak muda PETA Blitar ini. Hal itu dia akui dalam buku biografinya, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) yang ditulis Cindy Adams. Kebetulan, ketika ada rencana pemberontakan, Sukarno sedang berkunjung ke rumah orang tuanya di Blitar. Lalu, beberapa orang perwira PETA, termasuk Soeprijadi, menemuinya. Mereka lantas meminta pendapat Bung Karno terhadap rencana pemberontakan.

“Pertimbangkanlah masak-masak untung ruginya. Saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja,” kata Sukarno.
“Kita akan berhasil,” ujar Soeprijadi.
Sukarno beranggapan, kekuatan militer mereka sangat lemah. Dia pun memikirkan keberlangsungan PETA sebagai alat revolusi bisa hancur lantaran pemberontakan ini. Akan tetapi, perlawanan mereka tak bisa dibendung lagi. Menurut Lebra, pemberontakan pecah pada 14 Februari 1945, pukul 03.00. Hal ini ditandai dengan penembakan mortir ke Hotel Sakura yang ditempati para perwira Jepang di Blitar.
Markas Kempeitai pun tak luput dari rentetan peluru senapan mesin. Lebra menulis, jumlah total pemberontak sebanyak 360 orang. Selama perlawanan, 25 perwira Jepang berhasil dibunuh. Namun, perlawanan itu bisa dipadamkan dengan perundingan dan kekerasan. Akibat perlawanan ini, 78 perwira beserta anak buahnya dikirim ke Jakarta untuk dihadapkan ke pengadilan militer tentara Jepang. Enam orang dihukum mati, enam orang dihukum seumur hidup, dan sisanya mendapat hukuman kurungan beragam.
Selain itu, Dumadi (1985) menulis, pada 14 April 1945 Daidan Blitar dijatuhi hukuman kolektif. Mereka yang tak diberangkatkan ke Jakarta, dikucilkan di daerah Gambyok, lereng Gunung Wilis yang tandus. Di dalam pengasingan, mereka membuat rumah dari bambu dan atap ilalang. Untuk mendapatkan air minum, mereka harus berjalan 25 kilometer ke arah Nganjuk.
Notosusanto (1979) mencatat enam orang yang dijatuhi hukuman mati, yakni dokter Ismangil (chudancho), Moeradi (shodancho), Soeparjono (shodancho), Soenanto (bundancho), Halir Mangkoedidjaja (bundancho), dan Soedarmo (bundancho). Vonis mati itu dijatuhkan pada 16 April 1945. Mereka dieksekusi di Ancol, Jakarta Utara. Namun, anehnya tak ada nama Soeprijadi di dalam daftar orang-orang yang dijatuhi hukuman. Dia menghilang entah ke mana.

“Sowan” ke Bung Karno
Perjalanan saya di Blitar berlanjut ke rumah orang tua Bung Karno, yang dikenal dengan Istana Gebang. Istana Gebang adalah rumah kedua orang tua Sukarno. Menurut Adams (1966), tahun 1917—saat Sukarno berusia 16 tahun—ayahnya, yang seorang guru, dipindahkan ke Blitar karena kenaikan jabatan. Sementara Sukarno tinggal di pondokan kediaman H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya karena bersekolah di Hogere Burger School (HBS). Dalam buku itu, Sukarno mengatakan, biasanya dia pulang mengunjungi orang tuanya saat waktu libur sekolah.
Di Istana Gebang, kita bisa melihat koleksi peninggalan Bung Karno, seperti mesin ketik, radio, foto, gramofon, kursi, meja, mobil Mercy, dan sumur tua. Ada sebuah patung Sukarno besar yang diletakkan di halaman Istana Gebang. Patung ini adalah sumbangan dari keluarga animator Dukut Hendronoto (Ooq). Dukut, menurut Ihwanny dkk (2023), adalah seniman Indonesia pertama yang dikirim Sukarno ke Walt Disney, Amerika Serikat untuk belajar animasi.
Kemudian, saya diajak ke Museum Bung Karno. Di antara bangunan museum dan Perpustakaan Bung Karno, ada patung Sukarno besar tengah membaca buku. Di museum ini, tersimpan barang-barang seni karya Bung Karno, berkas tentang kehidupan dan perjuangannya, cendera mata, serta karya tulis Bung Karno.
Yang menarik perhatian, ada lukisan Sukarno di dekat pintu masuk museum. Jika diperhatikan, bagian dada di lukisan itu tampak berdetak, mirip detak jantung. Lukisan itu adalah karya I.B. Said. Dibuat pada 2001, sebelum ada di Museum Bung Karno, lukisan itu disimpan di Istana Bogor. Lukisan yang seolah jantungnya berdetak itu kemungkinan karena ilusi optik.


Ketika masuk, ada relief berbahan perunggu sepanjang 30 meter dengan lebar delapan meter. Relief itu menggambarkan perjuangan Sukarno sebelum dan setelah kemerdekaan. Berjalan sedikit lagi, kita akan melintasi beberapa anak tangga dan gapura. Selepas itu, banyak orang berkerumun di sebuah bangunan pendopo. Mereka adalah peziarah dari berbagai daerah. Di sini, ada makam Sukarno dan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Para peziarah merapal doa, yang lainnya menabur bunga.
Pemilihan Blitar sebagai tempat peristirahatan Bung Karno, menurut Adam (2010), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1970 tanggal 21 Juni 1970. Soeharto menjelaskan keputusannya memakamkan proklamator kemerdekaan Indonesia itu dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).
“Kemudian timbul masalah, di mana pemakaman itu harus dilakukan? Kami ingat akan wasiatnya. Kami ingat permintaan almarhum semasa hidupnya, jenazahnya hendaknya dimakamkan di suatu tempat di mana rakyat dapat datang seperti dipesankan kepada Dewi (Ratna Sari Dewi). Pesannya kepada Hartini pun begitu,” kata Soeharto dalam otobiografinya.
Tampaknya, presiden yang baru berkuasa dua tahun tersebut sedikit ketar-ketir juga menentukan lokasi pemakaman Putra Sang Fajar. Usai mendengar kabar Sukarno wafat pada 21 Juni 1970, ia mengumpulkan para pemimpin partai. Adam (2010) memandang, dengan dikumpulkannya para pemimpin partai itu menandakan urusan pemakaman Bung Karno merupakan masalah politik yang cukup pelik. Jadi, pemakaman tersebut, tulis Adam, tak ditentukan keluarga, tetapi melalui pertimbangan elite politik.
Lantas, menurut Soeharto, keluarga yang lain memiliki pandangan berbeda. “Andaikata kita serahkan kepada keluarga besar yang ditinggalkannya, maka saya melihatnya bakal repot,” ujar Soeharto. Soeharto berkilah, dipilihnya Blitar karena Sukarno sangat mencintai dan menghormati ibunya. Bila Sukarno ingin pergi jauh, kata Soeharto, ia selalu minta doa restu dan sungkem kepada ibunya.
“Melihat kebiasaan Bung Karno, maka saya tetapkan alangkah baiknya kalau Bung Karno dimakamkan di dekat makam ibunya di Blitar. Inilah alasan saya dan keputusan saya berkenaan dengan pemakaman proklamator kita itu,” ucap Soeharto.
Soeharto mengakui, dari pihak keluarga ada yang protes. Namun, ia tak menghiraukan. “Kalau saya turuti keinginan mereka, saya pikir, tak akan ada penyelesaian. Maka saya ambil oper seperti demikian. Soal nanti, terserah,” tutur Soeharto.

Sewindu setelah Sukarno dimakamkan, pemerintah Orde Baru merenovasi pusaranya. Majalah Sonata (Juli 1978) melaporkan, peresmian pemugaran dilakukan pada 21 Juni 1978. Sonata menulis, lorong sepanjang 500 meter di kiri dan kanan Jalan Sultan Agung, dipadati massa. Mereka datang ke Blitar sejak hari-hari sebelumnya dari berbagai kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali.
“Sepanjang jalan berderet-deret orang menjual buku-buku tentang Bung Karno, kaus-kaus bergambar Bung Karno, foto-foto dalam bentuk besar, dan lain-lain,” tulis Sonata.
Hingga kini, makam Sukarno tak pernah sepi. “Apalagi menjelang Pemilu,” ujar seorang peziarah.
Referensi:
Adam, A. W. (2010). Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Adams, C. (1966). Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Dumadi, S. M. (1985). Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang. Jakarta: Inti Idayu Press.
Dwipayana, G. dan Ramadhan KH. (1989). Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.
Lebra, J. C. (1988). Tentara Gemblengan Jepang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Ihwanny, R., Sudarsono, K., dan Annita. (2023). Dukut Hendronoto: Animator Pertama Indonesia. Journal of Animation and Games Studies, Vol. 9, No. 2, Oktober 2023, ISSN 2502-499x.
Notosusanto, N. (1979). Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.