INTERVAL

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago

Ahad pagi (16/3/2025), sejumlah pelari tampak menyusuri ruas kawasan Dago, Bandung, Jawa Barat. Mereka terlihat sedang berlari dari arah persimpangan Jalan Sulanjana–Jalan Ir. H. Juanda ke arah bawah. Ada yang berlari sendirian, ada juga yang berpasangan maupun berkelompok.

Saat mereka sedang berlari, dengan memanfaatkan jalur khusus sepeda yang lengang, sejumlah fotografer yang mangkal di trotoar membidikkan kamera dan mendokumentasi mereka. Klik, klik, klik….tombol rana ditekan. Sebagian pelari langsung sigap berpose.

Salah seorang fotografer yang belakangan ini getol mangkal di Dago adalah Javier Nayaka (18). Belia asal Cimahi yang masih menuntut ilmu di salah satu sekolah vokasi ini, menyisihkan sebagian waktu libur akhir pekannya dengan memotret para pelari pagi, yang biasa wara-wiri di kawasan Dago. Foto-foto hasil jepretannya kemudian diunggah ke aplikasi Fotoyu. Selain mengembangkan dan mengasah kemampuan fotografinya, ia pun bisa meraup cuan dari hasil foto-foto yang terjual lewat aplikasi tersebut.

“Mulai motret di sini sejak Desember tahun lalu,” terang Javier, sembari mengokang kamera mirrorless pabrikan Jepang. Di sampingnya, sebuah komputer pangku berlayar 14 inci menyala. Javier langsung mentransfer foto-foto hasil jepretannya ke komputer pangku tersebut.

Javier tidak sendirian. Puluhan fotografer lain juga mangkal saban akhir pekan di sekitaran Dago. Seperti Javier, mereka juga mengunggah foto-foto karya mereka ke aplikasi Fotoyu.

Javier mengaku dirinya mengetahui adanya Fotoyu dari salah seorang temannya. Sejak itu, ia pun makin rajin memotret dan mengunggah karya-karyanya di aplikasi tersebut. Bahkan, kini bukan hanya foto yang diunggah, melainkan juga video berdurasi pendek.

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago
Dua pelari sedang dipotret fotografer/Djoko Subinarto

Menciptakan Ekosistem Baru 

Kawasan Dago sendiri, khususnya saban Sabtu dan Ahad pagi, belakangan ini menjadi arena para pehobi lari. Jalan aspal mulus dengan naungan pohon-pohon rimbun, udara yang relatif sejuk, plus masih belum banyaknya kendaraan yang memadati jalan saat pagi hari, agaknya membuat para pelari merasa lebih nyaman melangkahkan kaki mereka di kawasan ini. Sementara itu, bagi para fotografer, Dago bisa pula menjadi ladang untuk mengais rupiah.

Alvin Toffler (1980) dalam The Third Wave antara lain menyebutkan, bahwa era informasi telah menciptakan ekosistem baru. Transaksi ekonomi tidak lagi melulu bergantung pada kepemilikan fisik semata, tetapi juga berbasis data dan konten digital. 

Dan inilah yang sejatinya terjadi di kawasan Dago. Foto-foto hasil jepretan para fotografer yang mangkal di kawasan ini, yang mendokumentasikan para pelari pagi dan lantas diunggah ke aplikasi Fotoyu, menjadi contoh konkret bagaimana ekonomi berbasis informasi bekerja.

Para pelari yang tertarik dengan foto-foto hasil jepretan para fotografer itu dapat dengan mudah mengakses, memilih, dan membeli hasil jepretan tersebut langsung melalui aplikasi. Tidak ada lagi kebutuhan untuk transaksi fisik di tempat. Semua dilakukan secara digital, mulai dari proses pemilihan foto hingga pembayaran.

Dalam konteks ini, fotografi bisa dikatakan bukan lagi sekadar urusan dokumentasi, melainkan juga sebagai sebuah bentuk kapital simbolik. Para pelari tidak hanya membeli foto karena mereka ingin memiliki kenangan semata, tetapi juga karena nilai sosial yang melekat pada foto-foto yang mereka beli. Mereka lantas mengunggahnya ke akun media sosial masing-masing, yang mampu menciptakan citra tertentu yang bernilai bagi identitas digital mereka di jagat maya.

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago
Suasana kawasan Dago yang masih jarang kendaraan saat pagi/Djoko Subinarto

Tak bisa dimungkiri, pengalaman individu menjadi faktor utama dalam ekonomi digital saat ini. Pasalnya, di era serba digital, bukan hanya produk yang diperjualbelikan, melainkan juga pengalaman dan bagaimana pengalaman itu didokumentasikan serta dibagikan. Oleh karena itu, lari pagi di Dago agaknya bukan lagi sekadar aktivitas fisik semata, melainkan juga sebuah pengalaman yang memiliki nilai lebih ketika diabadikan dalam bingkai foto dan kemudian dipublikasikan melalui jejaring media sosial.

Bagi para fotografer dan pelari sendiri, apa yang berlangsung di kawasan Dago ini adalah simbiosis mutualisme. Pihak fotografer tidak perlu menyewa studio khusus atau mencari klien secara aktif. Calon klien datang dengan sendirinya saat mereka melaksanakan rutinitas olahraga lari pagi. Dengan bantuan teknologi modern, fotografer cukup mengunggah hasil jepretan mereka ke Fotoyu dan menunggu transaksi terjadi.

Di sisi lain, para pelari dengan mudah mendapatkan dokumentasi yang diinginkannya tanpa harus repot dan ribet membawa fotografer pribadi. Pelari pun semakin termotivasi untuk tampil maksimal, mengenakan pakaian olahraga yang stylish dan berlatih ihwal bagaimana mematut diri serta melakukan pose terbaik saat berlari di depan para fotografer. Semua ini tentu saja menjadi bagian dari ekosistem yang berkembang secara organik, selaras dengan pertumbuhan budaya digital kiwari.

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago
Sejumlah warga memanfaatkan jalanan Dago yang lengang untuk berlari pagi/Djoko Subinarto

Interaksi Simbolik

Ditilik dari kacamata sosiologi, fenomena seperti yang berlangsung di kawasan Dago ini mencerminkan apa yang diistilahkan sebagai interaksi simbolik. Ini merujuk pada interaksi antara pelari dan fotografer yang tidak hanya bersifat transaksional, tetapi juga membentuk makna sosial baru. Sebuah senyuman di depan kamera, lompatan kecil dan acungan tangan saat berlari, hingga ekspresi kelelahan yang tertangkap lensa, semuanya menjadi bagian dari narasi yang lebih besar ihwal pengalaman dan gaya hidup kaum urban berikut eksistensi digital mereka.

Tak bisa dimungkiri, teknologi telah menciptakan cara baru bagi manusia untuk mengapresiasi dan mengkomersialkan pengalaman. Bersama kreativitas dan gaya hidup, teknologi akan terus berkembang sekaligus membukakan pintu-pintu peluang baru di tempat-tempat yang sebelumnya mungkin tidak terpikirkan maupun terbayangkan. 

Sudut-sudut kawasan Dago menjadi contoh nyata. Kemajuan teknologi telah membuat aktivitas sederhana seperti lari pagi mampu melahirkan ekosistem ekonomi berbasis digital yang khas, yang membuka peluang cuan bagi mereka yang jeli menangkap momen sekecil apa pun.


Referensi:

Toffler, A. 1980. The Third Wave. New York: Morrow.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *