TRAVELOG

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan

Sabtu (22/2/2025), saya melakukan sebuah perjalanan akhir pekan yang berbeda dari biasanya. Saya tidak mendatangi pantai, Gunung Merapi, museum, atau bahkan Malioboro. Ada sebuah tawaran kegiatan yang lebih menarik dari semua itu bagi saya: Susur Kampung

Informasi ini saya peroleh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang saya ikuti pada suatu malam. Saya pikir, “Susur kampung? Apa yang menarik dari kampung sehingga harus ditelusuri?” Lalu saya mengambil kesimpulan, bahwa ada hal yang ingin disampaikan melalui kegiatan ini. Tentu saja, jika tidak, untuk apa mereka bersusah payah mengadakan kegiatan semacam itu, bukan?

Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti kegiatan Susur Kampung yang diinisiasi oleh Paguyuban Kalijawi. Ada beberapa rute yang ditawarkan. Sebuah keberuntungan bagi saya dihadirkan dalam kelompok rute susur kampung Sudagaran–Pakuncen–Notoyudan. 

Seluruh peserta diberikan imbauan agar tiba tepat waktu pada pukul 08.30 WIB. Sebisa mungkin saya memenuhi perintah tersebut. Perjalanan dimulai dengan berkumpul di gang DPR. Saya, sebagai penduduk sementara Yogyakarta, dengan polosnya mengira gang DPR berarti gang di sekitar gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa sangka itu bermakna lain, gang DPR yang dimaksud adalah gang Daerah Pinggiran Rel. Saya cukup tergelak dengan penjelasan Bu Atik, pemandu kami pada perjalanan Susur Kampung hari itu. 

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Berjalan kaki menyusuri kampung ke kampung/Karisma Nur Fitria

Di Sudagaran Saya Mengubah Stigma tentang Kampung

Bu Atik, yang juga anggota Paguyuban Kalijawi, ditemani ibu-ibu lain mengajak kami menelusuri kampung. Bukan tanpa tujuan, kami diminta untuk memikirkan dua pertanyaan tentang “apa itu kampung” dan “apa potensi yang ditemukan dari kampung”. Dengan pikiran yang masih sempit, saya berpikir bahwa kampung, ya, kampung. Apalagi kampung di pinggir kali yang terkenal karena kumuhnya. Pendefinisian saya tentang kampung pinggir kali mungkin sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. 

Semuanya berubah ketika susur kampung hari itu. Saya tidak lagi mendefinisikan kampung berdasarkan apa yang saya lihat. Saya menikmati dan memaknai lebih jauh kampung melalui keberadaan masyarakat dengan segala potensi di luar predikat yang melekat padanya.

Sudagaran adalah kampung pertama yang juga menjadi titik keberangkatan kami. Berbekal informasi dari Bu Nani selaku warga Sudagaran, kami mengetahui berbagai hal. Masyarakat setempat membuat sumur komunal, yang berarti satu sumur untuk dipakai bersama. Hal ini menjadi salah satu solusi persoalan air yang ada di sana. 

Dari situ saya melihat bahwa masyarakat berusaha memelihara kampung dan komunitas yang ada di dalamnya dengan memecahkan masalahnya sendiri. Tidak berlama-lama menyusuri kampung Sudagaran, kami diajak untuk berangkat menuju kampung selanjutnya, Pakuncen.  

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Celah pemandangan langit yang terlihat dari atap rumah warga yang berimpitan/Karisma Nur Fitria

Pakuncen, Kampung yang Peduli Lingkungan

Keberadaan masyarakat yang memiliki kesadaran penuh terhadap tempat tinggalnya dapat menciptakan kehidupan kampung menjadi lebih baik. Pakuncen adalah buktinya. Penataan kampung yang mengedepankan prinsip M3K (mundur, munggah, madep kali). Saya tertarik dengan konsep yang baru saya dengar dari Bu Atik hari itu. 

Mundur artinya rumah-rumah diberikan jarak dari pinggir sungai dengan cara mundur ke belakang sekitar tiga meter. Hal ini bertujuan agar tetap ada jalan yang mudah diakses oleh mobil seperti ambulans atau pemadam kebakaran. Apabila dipikirkan ulang, memang benar beberapa kasus di daerah padat penduduk adalah kesulitan akses bagi kendaraan darurat semacam itu.

Munggah artinya naik ke atas. Sebab, rumah-rumah yang ada harus dibuat mundur sehingga solusinya adalah munggah. Penataan kampung yang cakap dan tersusun ini tentunya berkat kesadaran dan kepedulian masyarakat setempat. 

Terakhir, madep kali. Ini menjadi poin yang paling menarik bagi saya. Madep kali artinya menghadap ke sungai. Rumah-rumah yang ada ditata agar menghadap ke sungai, bukan membelakangi sungai. Penataan seperti ini bertujuan agar masyarakat tidak sembarangan membuang sampah ke sungai. Ini berarti sungai ada di halaman depan rumah, sehingga masyarakat tentu segan membuang sampah ke halaman rumahnya sendiri. Lain halnya jika sungai ada di belakang rumah, maka masyarakat akan membuang sampah ke belakang rumahnya. Dari konsep ini saya tahu tentang cara masyarakat terutama di sekitar Pakuncen dan Notoyudan dalam menghargai sungai.

Kesinambungan Elemen Air, Tanah, dan Hawa di Kampung

Festival Pamer Kampung memiliki fokus pada beberapa persoalan dan potensi yang ada di kampung. Mereka menyebutnya sebagai elemen air, tanah, dan hawa. Ketiga elemen ini dijelaskan secara teori oleh Bu Atik dan rekan lainnya. Akan tetapi, saya rasa dapat dimaknai lebih dalam lagi bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di kampung. 

Sepanjang perjalanan susur kampung, hal yang paling dekat dengan masyarakat adalah sungai atau air. Namanya juga kampung pinggir kali, sungai atau air ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar. Tidak hanya memenuhi kebutuhan air, tetapi juga bagaimana air dapat menghidupi masyarakat. Bu Tatik, warga lainnya, menjelaskan bahwa pasir yang diperoleh nantinya dapat dijual dengan harga Rp10.000 per karung.

Masyarakat dapat memanfaatkan potensi apa saja yang ada di sungai selain airnya. Ada hal lain yang menarik perhatian saya terkait elemen air ini. Sepanjang susur kampung, ibu-ibu yang memandu kami sering menunjukkan bahwa di beberapa titik ada “mbelik”. Saya awalnya tidak mengetahui apa itu “mbelik”, sampai di satu titik saya melihat plang yang bertuliskan “Belik Kidul” dengan keterangan mata air. Saya menemukan jawabannya tanpa bertanya. Sepanjang pengetahuan saya di Susur Kampung, sayangnya hanya “mbelik” itu yang memiliki plang nama.

Elemen berikutnya adalah tanah. Tanah berkaitan erat dengan rumah atau tempat tinggal yang pada dasarnya ada di atas tanah. Persoalan tanah bukan hal yang baru lagi di telinga masyarakat Yogyakarta, tidak terkecuali yang tergabung dalam Paguyuban Kalijawi. Berkedudukan di atas tanah informal membuat masyarakat berusaha membentuk dan memperoleh tempat tinggal yang nyaman. 

Bu Tatik menjelaskan, ada sebuah program bernama One Day One Thousand yang berhasil dikumpulkan oleh ibu-ibu untuk membangun Balai Bambu. Hal ini didasari karena tidak adanya ruang publik yang mumpuni bagi masyarakat Pakuncen. Saya kagum dengan penjelasan ibu-ibu sejak awal perjalanan kami dimulai. 

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Pemaparan materi di titik terakhir Susur Kampung di Notoyudan/Karisma Nur Fitria

Hal tersebut lalu menyinggung elemen hawa yang dapat berarti udara, ruang terbuka, atau bahkan perempuan. Dari sana saya mengerti mengapa tidak mengambil padanan kata suasana atau yang lainnya. Usaha pemberdayaan perempuan dalam memajukan kampung sangat menggambarkan peran perempuan tidak cukup di rumah saja. Pengelolaan ruang publik dalam Susur Kampung ini juga mengandalkan peran penting seorang perempuan.  

Kesinambungan antara elemen air, tanah, dan hawa di kampung menunjukkan arti sebenarnya dari kampung itu sendiri. Susur Kampung sangat berarti bagi saya. Masyarakat kampung tidak hanya berdampingan dengan kehidupan sosial budaya saja, tetapi juga makhluk hidup lainnya. 

Saya bertemu banyak orang dan ikut merasakan kehangatan dari setiap sudut kampung yang mereka jaga. Dari Susur Kampung, saya menjumpai pemaknaan lain dari sebuah “kampung”. Kampung tidak terbatas pada sebuah permukiman masyarakat yang tidak “kota”, tetapi kampung adalah masa depan ketika masyarakatnya terus berkembang.


Foto sampul: foto bersama peserta Susur Kampung/Dokumentasi Susur Kampung


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Karisma Nur Fitria, seorang mahasiswi yang gemar menjelajah dan mencoba hal baru. Menulis menjadi hobi dan kegiatan menyenangkan dalam mengisi kesehariannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *