Senja mulai merangkak turun di pengujung minggu kedua November, tepatnya Sabtu, 9 November 2024. Tercipta bias oranye keemasan yang menerobos lewat celah-celah gedung pencakar langit Tangerang Selatan.
Di sudut kamar kosku yang sederhana, jam dinding berbentuk burung beo kuning bercampur biru dan hitam—dengan ekor yang berayun setiap detik—mengingatkanku pada kehangatan Kupang. Hadiah perpisahan dari Uni, teman sekamarku selama program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) 2 itu, kini menjadi saksi bisu perjalanan hidupku di perantauan. Jarum pendeknya menunjuk angka 6, sementara jarum panjangnya melewati angka 6, membentuk formasi yang meneriakkan pukul 18.30 WIB.
Kusampirkan Alkitab usang di tas selempang, bergegas menuju Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) Tangerang Selatan, gereja yang menjadi potongan kecil Pulau Nias di tengah hiruk-piruk kota metropolitan ini. Melintasi Pamulang Square, mataku dimanjakan oleh gemerlap lampu pasar malam bagai kunang-kunang urban.
Sabtu Malam yang Berulang
Pasar malam selalu punya cara unik untuk mengubah kanvas gelap malam menjadi pameran yang hidup dan berkedip. Setiap sudut menyala dengan ceritanya sendiri: lentera-lentera plastik yang menari di atas gerobak bakso hingga lampion-lampion murah yang bergoyang diterpa angin. Semuanya bersekongkol menciptakan aurora jalanan yang membuat kita lupa, bahwa ini hanya pasar malam biasa di pinggir kota, bukan festival cahaya di negeri dongeng.
Asap sate taichan bergulung di udara, membawa aroma pedasnya beradu dengan manisnya gulali yang mengambang seperti awan gula-gula. Jagung bakar menambahkan aksennya sendiri—gurih dan hangat. Sementara itu, jalanan Pamulang menggelar konsernya: dengung knalpot bersahutan dengan protes klakson yang tersangkut macet, menciptakan melodi khas penutup pekan.
Sebagai pengurus Komisi Remaja dan Pemuda, aku seharusnya sudah hafal untuk berangkat lebih awal. Namun, entah mengapa waktu seolah berkonspirasi melawanku—selalu saja ada lima menit yang ‘hilang’ di perjalanan. Mungkin terselip di antara godaan sempol yang mengepul atau tersangkut di antara kerumunan pembeli cilok yang mengular. Rasa bersalah menggelayut di pundak setiap kali aku terlambat dengan sengaja, seperti dosa kecil yang tak terampuni.
Setiap Sabtu malam, jalanan di depan Pamulang Square memiliki warna tersendiri. Di antara gemerlap lampu kendaraan yang bergerak lambat dan aroma bermacam jajanan yang menguar, pasar malam ini menjadi saksi bisu rutinitas mingguanku menuju BNKP Tangerang Selatan. Biasanya, aku hanya melintas dengan masker terpasang rapat, menghalau asap kendaraan yang bergulung-gulung di tengah kemacetan.
Mobil-mobil merayap bagai siput di depanku, “rel merah” berpendar memanjang di hadapanku—bukan rel kereta sungguhan, tapi untaian lampu rem yang berkedip. Mobil-mobil bergerak dalam tempo mengantuk, kadang mendesis berhenti, kadang tersentak maju seperti robot tua yang engselnya berkarat. Jaket kulit sang pengemudi ojek menguar aroma campuran bensin dan parfum maskulin murah, mengingatkanku pada bengkel motor tempat kendaraanku dirawat. Jari-jariku mencengkeram ujung jaketnya dengan canggung—sebuah gestur yang selalu terasa asing meski sudah puluhan kali kuulangi selama sebulan terakhir naik ojek daring.
Motor kami menyelip di antara celah sempit dalam tarian yang sudah terlalu familiar di jalanan kota: gas-rem-gas-rem, sebuah koreografi yang membuat perutku seperti sedang menaiki roller coaster mini. Ketika motornya kembali melesat menemukan celah, genggamanku pada ujung jaket mengerat. Bukan gestur ketakutan, melainkan semacam ritual bertahan hidup yang kupelajari dari ratusan perjalanan sebelumnya.
Singgah Mencuri Waktu
Angka digital di smartwatch Samsung putih—hadiah dari pacarku yang ia buru saat flash sale, menawar harga dari sejuta menjadi Rp499.000—berkedip menunjukkan 21.05 WIB. Ibadah pemuda baru saja usai, jalan pun sudah tidak semacet saat aku berangkat tadi. Kendaraan berlalu-lalang dengan lega, sedang para penikmat jajanan sibuk dengan dunianya.
Ini adalah kali pertamaku memberanikan diri menepuk pundak tukang ojek dan meminta berhenti. Suaraku terdengar seperti anak sekolah yang ketahuan membolos, tapi responsnya mengejutkan. “Tidak apa-apa, Mbak. Kebetulan Anda penumpang terakhir saya hari ini,” ucapnya dengan senyum yang membuat keragu-raguanku luruh seperti es yang mencair.
Malam menghampar di hadapanku bagai kanvas hitam yang ditaburi titik-titik cahaya. Deretan lapak pedagang kaki lima memanjang bagai ular neon yang meliuk, ujungnya menghilang di kegelapan Danau Pamulang yang bagai cermin obsidian. Di tepiannya, siluet-siluet manusia bergerak dalam slow motion: sepasang kekasih yang tenggelam dalam dunia mereka sendiri, penyendiri dengan secangkir kopi yang beruap, dan sekelompok remaja yang tawanya mengambang di udara malam. Sesekali aku melirik waswas, membayangkan kemungkinan mereka tergelincir ke dalam air yang kelam.
Gerimis mulai turun seperti konfeti transparan yang ditaburkan langit. Tidak cukup deras untuk menghancurkan hasil karya satu setengah jam di depan cermin—ritual kecantikan yang kumulai sejak pukul lima sore dengan serum vitamin C, moisturizer, sunscreen (yang sebenarnya tidak terlalu penting di malam hari), foundation, bedak, dan sentuhan akhir berupa maskara tahan air.
Tetesan air yang jatuh justru menciptakan prisma-prisma mini di bawah lampu pedagang, membuat malam terasa seperti adegan dalam film yang direkam dengan lensa blur. Pemandangan ini membawa ingatanku melompat ke beberapa waktu lalu; saat Mawar, kakakku si pekerja keras, dan Ardin, adikku yang sibuk dengan dunia perkuliahan Hukum di UNPAM—tempat perkuliahan dengan biaya terjangkau di Pamulang—menemani petualangan kulinerku di sini.
Dua celana knit yang kubeli hari itu kini hanya menjadi penghuni pasif lemari, tapi kenangan mencicipi jajanan bersamanya masih terasa hangat. Telur gulung yang mengepul, cimol yang masih bermandi minyak, dan sempol yang menggoda—semuanya dijejer rapi di atas meja plastik biru dengan harga yang bersahabat: sepuluh ribu per porsi. Saat itu kami masih bisa bebas mondar-mandir dengan motor bekas kebanggaan kami, sebelum akhirnya si kuda besi memutuskan untuk ‘ambil cuti’—istilah halus untuk mogok—selama sebulan terakhir.
Suasana Hiburan Jalanan
“Telur gulung masih hangat, Kak!” tawaran ramah ini selalu menggoda setiap kali aku melewati deretan pedagang. Aroma gurih mengusik hidungku, bersaing dengan dengung aktivitas pasar malam. Di tengah ingar-ingar itu, petikan gitar retak membelah udara—melodi Memori Berkasih mengalun dari ujung jari seorang pengamen berjaket lusuh. Nadanya sumbang, tapi entah mengapa terasa pas dengan gemerlap lampu stan yang berkedip-kedip.
Tak jauh dari mereka, sosok manusia silver—anak kecil dengan tubuh berlumur cat perak—berjalan mendekat, menyodorkan kotak pengamen sambil menundukkan kepala. Matanya—satu-satunya bagian yang tidak tersentuh cat—menatap ke bawah, seakan menghitung retakan aspal.
Hatiku mencelos saat hanya bisa merapatkan tangan dan meminta maaf. Dompetku telah kosong malam itu. Belum lama sosok berkilau tersebut berlalu, sepasang badut dan ondel-ondel Betawi berbaju merah dengan topeng berhias melintas, menambah warna-warni kehidupan malam.
Di tengah semua pertunjukan ini, seorang tukang parkir sibuk meniup peluitnya, mengarahkan motor-motor yang berdatangan mencari tempat berhenti. Suara peluitnya berbaur dengan dentingan gitar pengamen dan celoteh pengunjung, menciptakan simfoni khas pasar malam Pamulang.
Makna Perjalanan
Dari tempatku berdiri, Pamulang Square tampak berbeda. Bukan lagi sekadar gedung yang kulewati dengan masker terkatup rapat, melainkan panggung tempat kehidupan malam beraksi.
Para pedagang masih tekun mengaduk penggorengan, seolah waktu belum beranjak dari sore. Di tepian danau yang berkilau memantulkan lampu-lampu stan, beberapa orang duduk dengan secangkir kopi kemasan—mungkin juga mencari ketenangan mereka sendiri di tengah kebisingan kota.
Malam mengajariku bahwa keramaian kota punya ritmenya sendiri. Ada yang bergegas seperti diriku biasanya, ada yang memperlambat langkah seperti diriku malam ini. Para pedagang yang bertahan hingga larut, pengunjung yang mencari kedamaian di tepi danau, bahkan mas Gojek yang menjadikanku penumpang terakhirnya—semua punya cerita yang tak terlihat saat kita terlalu sibuk bergerak.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.