Indonesia, negeri yang dianugerahi kekayaan budaya yang tak ternilai, menyimpan berbagai tradisi yang menggambarkan hubungan erat antara manusia, alam, dan nilai-nilai kehidupan. Salah satu simbol kearifan lokal yang unik adalah sopi. Minuman tradisional khas masyarakat Maluku dan Indonesia bagian timur ini merupakan bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual.
Sopi sering kali terlibat dalam acara-acara adat, perayaan, bahkan kegiatan sehari-hari masyarakat Maluku. Di balik setiap gelas sopi yang diminum dalam acara-acara adat, ada sejarah panjang, nilai kebersamaan, dan rasa syukur kepada alam yang telah memberikan bahan baku bagi minuman ini.
Dalam penelitian Pattiruhu dan Therik (2020), kata sopi berasal dari bahasa Belanda, yakni “zoopie”, yang berarti alkohol cair. Sopi merupakan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi dan penyulingan dari bahan-bahan alami. Ada yang dari buah aren—masyarakat lokal sering menyebutnya koli—ada juga yang terbuat dari kelapa, yang sering disebut sageru bahkan nira.
Tipar mayang, tradisi lokal pengambilan nira dan menjadi salah satu mata pencaharian utama/Adipatra Kenaro Wicaksana dan Franklin Untailawan, M.Pd.
Asal usul Sopi dan Fungsinya dalam Masyarakat Maluku
Sopi bukan hanya tentang rasa atau tradisi minum bersama, melainkan juga sebuah simbol identitas. Untuk memahami mengapa sopi begitu penting bagi masyarakat Maluku, kita perlu menelusuri sedikit sejarahnya.
Masyarakat di wilayah perdesaan Maluku memanfaatkan hasil perkebunan lokal, seperti nira dan aren, untuk memproduksi sopi. Hal ini tidak hanya menggambarkan kekayaan alam yang menopang tradisi ini, tetapi juga cara masyarakat setempat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mendukung kehidupan sehari-hari. Termasuk untuk kebutuhan kesehatan.
Dengan bahan yang mudah didapat, cara pembuatan sopi juga bisa dibilang cukup mudah, hanya disuling menggunakan gentong yang tersambung pipa. Kadar alkohol sopi cukup tinggi (mencapai 40%), bahkan bisa menyala bila disulut dengan api.
Minuman ini telah ada dan berakar sejak lama dalam kehidupan masyarakat Maluku, meski keberadaannya dianggap ilegal. Sebab, menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai ritual adat. Tidak hanya untuk perayaan, sopi juga memiliki nilai penting dalam ritual perdamaian, penyambutan tamu, pengukuhan hubungan kekerabatan hingga hubungan sosial.
Misalnya, dalam acara adat seperti tarian Seka Besar (ritual penyambutan maupun ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta), sopi disajikan sebagai simbol penghormatan dan penyatuan. Sopi juga sering digunakan dalam upacara-upacara adat lain sebagai persembahan untuk leluhur atau simbol keakraban di antara sesama anggota komunitas.
Menurut cerita yang berkembang dari masyarakat Pulau Masela, Maluku Barat Daya, mereka bercerita pada saya bahwa budaya minum sopi awalnya berkembang di kampung-kampung pelosok di pegunungan. Bukan karena kebiasaan mabuk-mabukan, melainkan sulitnya mendapatkan sumber air. Sebab, kondisi geografis Masela banyak diselimuti bebatuan.
Di masa lalu, sopi berganti peran menjadi pengganti air karena relatif mudah didapat. Sopi ini disadap dari pohon koli atau lontar setiap pagi dan sore. Umumnya diminum memakai mangkok dari batok kelapa. Sebelum diteguk, sebagian dituang ke tanah sebagai tanda penghormatan kepada arwah leluhur.
Tarian adat Seka Besar saat penyambutan tamu di Pulau Masela, Maluku Barat Daya/Adipatra Kenaro Wicaksana
Filosofi Penting Sopi
Sebagai minuman adat, sopi memiliki filosofi mendalam. Masyarakat Maluku menganggapnya sebagai simbol kesederhanaan dan kebersamaan. Dalam setiap acara adat, sopi menjadi media untuk mempererat ikatan sosial dan memperteguh rasa kebersamaan di antara masyarakat.
Jika kita menyelami lebih jauh, sopi tidak hanya sebuah produk budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, tetapi juga medium yang sarat fungsi. Dalam acara-acara adat, misalnya, sopi hadir sebagai bentuk penghormatan kepada tamu, tanda syukur kepada leluhur, atau bahkan sebagai simbol untuk menyelesaikan konflik antarwarga.
Sebelum teknologi komunikasi modern memudahkan dialog jarak jauh, sopi sudah menjadi “bahasa universal” yang mempertemukan orang-orang dalam satu ruang sosial. Riset Pattiruhu dan Therik (2020) menyiratkan bahwa sopi lebih dari sekadar minuman tradisional. Minuman ini adalah simbol, pengikat, dan cerminan cara masyarakat Maluku memahami hubungan mereka dengan tradisi, alam, dan komunitas. Dalam konteks ini, pelarangan total terhadap sopi dianggap setara dengan menghapus sebagian dari identitas budaya masyarakat Maluku.
Sopi sebagai Tradisi yang Berdampingan dengan Pengobatan Modern
Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah-daerah terpencil, masyarakat Maluku menemukan cara untuk menggunakan apa yang mereka miliki. Minum sopi merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kesehatan sehari-hari.
Sopi kerap digunakan sebagai solusi alami untuk berbagai keluhan kesehatan. Di beberapa tempat, seperti Desa Nura dan Dusun Uwily, sopi akar menjadi pilihan utama. Sopi jenis ini diracik dengan merendam batang akar tumbuhan, seperti tanaman (dalam bahasa lokal) apipmena, atewkelya, dan loliweya dalam cairan fermentasi dari koli atau buah enau. Kombinasi tersebut diyakini mampu mencegah asam lambung, meredakan peradangan, bahkan membantu nelayan menahan lapar sebelum melaut. Dalam tradisi setempat, sopi juga dipercaya meningkatkan nafsu makan dan meredakan sakit macam mag dan flu.
Namun, pemanfaatan sopi sebagai bagian dari pengobatan tradisional memiliki tantangan tersendiri. Meski memiliki manfaat dalam konteks tradisional—karena dicampur dengan tanamanan herbal—penggunaan yang tidak tepat atau berlebihan bisa menimbulkan masalah kesehatan lainnya, termasuk gangguan fungsi hati dan risiko kecanduan. Maka, diperlukan keseimbangan antara menghargai tradisi dan memastikan bahwa penggunaan sopi tetap dalam batas yang aman bagi kesehatan. Meskipun begitu, kenyataan bahwa sopi sebagai pengobatan tradisional terus hadir di tengah masyarakat Maluku, menunjukkan bagaimana budaya dan kesehatan sering kali berjalan beriringan.
Potensi Pengembangan Sumber Ekonomi dari Sebotol Sopi
Melihat potensi ekonomi yang dihasilkan dari penjualan sopi, ada peluang besar bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan industri ini lebih profesional, sembari tetap menghormati nilai-nilai tradisional. Jika dikelola dengan baik, sopi bisa menjadi salah satu komoditas ekonomi lokal yang mampu meningkatkan pendapatan daerah, sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat setempat. Program-program pelatihan dan regulasi yang mendukung pembuatan sopi secara legal dan aman juga bisa membantu para produsen tradisional untuk lebih berkembang, tanpa harus bersinggungan dengan hukum.
Bagi banyak keluarga di daerah terpencil, penjualan sopi menjadi salah satu tulang punggung ekonomi yang membantu mereka mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat di wilayah pedesaan, yang aksesnya terbatas ke pekerjaan formal, turut memanfaatkan keterampilan turun-temurun dalam pembuatan sopi sebagai cara bertahan hidup dan meningkatkan taraf ekonomi keluarga.
Menariknya, keuntungan dari penjualan sopi sering kali dimanfaatkan untuk hal-hal penting. Tidak jarang ditemui kisah sukses karena hasil dari penjualan sopi, yang memungkinkan orang tua menyekolahkan anak-anak mereka hingga sarjana.
Di pasar lokal, sopi dijual dengan harga yang bervariasi, tergantung kualitasnya. Harga per botol sopi berkisar antara Rp25.000–50.000. Meskipun terlihat sebagai harga yang terjangkau, penjualan dalam jumlah besar mampu mendatangkan penghasilan yang cukup signifikan. Misalnya, seorang penjual yang menjual 10 hingga 20 botol sopi per minggu bisa mendapatkan pendapatan tambahan yang stabil.
Beberapa tahapan dalam proses pembuatan sopi di Maluku Barat Daya/Adipatra Kenaro Wicaksana
Sopi sebagai Identitas Budaya
Sopi adalah bagian penting dari identitas Maluku, sehingga upaya untuk melestarikannya harus selalu dihargai. Seperti halnya pada semua tradisi, ada kebutuhan untuk beradaptasi dengan aturan yang dibuat untuk kebaikan bersama. Dengan dialog yang baik, sopi bisa tetap menjadi simbol kebersamaan, sambil menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat luas.
Lebih jauh lagi, sopi juga berbicara tentang kebersamaan. Di tengah kehidupan modern yang sering kali membuat kita terpisah satu sama lain, sopi menjadi alasan sederhana bagi masyarakat untuk berkumpul. Tidak jarang, diskusi penting atau keputusan besar diambil di sela-sela tegukan sopi.
Sopi menciptakan ruang di mana orang-orang bisa saling berbagi cerita, keluh kesah, dan kebahagiaan. Dalam hal ini, sopi bukan hanya sekadar minuman, melainkan juga perekat sosial. Sopi adalah cerita tentang Maluku, dan tentang kita semua yang ingin tetap terhubung dengan apa pun yang membuat kita menjadi siapa hari ini.
Referensi:
Franklin Untailawan, M.Pd., Dosen Universitas Pattimura (UNPATTI) dan Ketua Umum Gerakan Membangun Bumi Kalwedo (GMBK), sebagai informan pendukung.
Jemahan, A. E. dan Purwanti, A. R. (2024). Analisis Kontradiksi Tuak dan Sopi Ditinjau dari Budaya dan Hukum. Journal of Management Education Social Sciences Information and Religion, Vol 1, No 1 (2024). https://doi.org/10.57235/mesir.v1i1.2068.
Luturmas, R., Adam, S., dan Leasa, E. Z. (2023). Kajian Kriminologis Terhadap Minuman Beralkohol (Sopi) Dengan Tindak Pidana Yang Terjadi Di Kabupaten Kepulauan Aru. Bacarita Law Journal, 3(2), pp. 76-81. https://doi.org/10.30598/bacarita.v3i2.8403.
Pattiruhu, G. M. dan Therik, W. M. A. (2020. Sopi Maluku diantara Cultural Capital dan Market Sphere. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 6(2), pp. 104-118. https://doi.org/10.23887/jiis.v6i2.28175.
Wawancara dan Forum Group Discussion kepada masyarakat Pulau Masela–Pulau Babar yang diwakili 32 orang, di antaranya pemangku adat dan pimpinan desa dengan pembahasan sosial, budaya, ekonomi, dan kesehatan masyarakat.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.