Suara debur ombak mengisi udara saat saya menginjakkan kaki di Pelabuhan Batu Guluk. Aroma segara terbang bersama angin. Di cakrawala, langit dan laut menyatu. Sulit dipercaya, tempat sejauh ini masih bagian dari Jawa Timur. Padahal, kalau dilihat di peta, daratan ini bahkan sejajar dengan Bali. Inilah Kangean, pulau berbentuk perkutut yang konon oleh Prapanca disebut sebagai Ngaliyao, jauh di timur Madura, yakni Kangean.
Sebelumnya, saya bersama seorang kawan, Odeng, bertolak dari Pelabuhan Kalianget. Kapal cepat yang akan membawa kami ke Kangean dijadwalkan angkat sauh pukul sembilan pagi. Meski begitu, para penumpang sudah memadati dermaga. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan kepulangan jamaah haji dari tanah suci. Alhasil, suasana makin ramai.
“Bawa Antimo?” tanya Odeng.
“Tidak perlu. Aku tak akan tumbang semudah itu,” jawab saya jemawa.
Ada dua opsi penyeberangan ke Kangean. Kapal feri lebih murah, tapi makan waktu setidaknya 10–12 jam. Sementara kapal cepat (speed boat) lebih mahal, sekitar 200 ribuan, tapi waktu tempuhnya hanya empat jam saja. Keduanya biasa berangkat bergantian. Jika kapal cepat berangkat hari ini, kapal feri akan bertolak besok petang dan tiba lusa. Meski begitu, cuaca buruk bisa merusak jadwal kapal-kapal itu.
Kapal berangkat tepat pukul 09.00. Perlahan, speed boat yang kami tumpangi menjauhi dermaga lalu melesat meninggalkan perairan Sumenep. Pulau Madura perlahan mengecil. Begitu juga Talango yang hanya terpisah beberapa meter dari pelabuhan. Kami terus menuju ke timur, ke tanah yang terendam.
Tanah yang Terendam
Tempat yang kami tuju merupakan kawasan kepulauan yang terletak sekitar 160 kilometer dari Sumenep. Daratan tersebut diapit Selat Madura, Laut Jawa, dan Laut Bali. Walau sejajar dengan Bali, anehnya, kawasan tersebut masih berzona waktu WIB. Di sekelilingnya, pulau-pulau kecil bertebaran, termasuk Sapeken yang dihuni suku Bajo dan Pagerungan Besar yang kaya gas alam. Letak Kangean yang benar-benar di tengah segara agaknya melahirkan legenda bagi penduduk pulau itu.
Konon, nama Kangean berasal dari kata “kaaengan”, yang dalam bahasa setempat artinya “terendam air” alias “kebanjiran”. Menurut cerita, pulau tersebut dulunya timbul tenggelam di tengah samudra. Ia muncul ketika laut surut, hilang kala pasang.
Selain “teori” tanah yang terendam, terdapat beberapa versi lain perihal muasal nama Kangean. Salah satunya yaitu kisah tentang orang-orang yang minggat ke pulau itu. Diceritakan, pada masa lampau, beberapa suku kabur dari raja yang lalim. Usai mengarungi lautan, mereka menemukan sebuah pulau lalu memboyong anak istri mereka untuk menetap di daratan baru tersebut. Syahdan, para pengungsi itu berkumpul dan menyepakati nama rumah baru mereka. Kangean, dari kata kaaengan, kangen, dan kangayan.
Perjalanan kami lancar, setidaknya sampai beberapa kilometer dari daratan Sumenep. Saya asyik berbincang dengan Pak Ahmad, seorang penumpang yang duduk di kursi sebelah. Ia orang Kangean yang hendak pulang usai menjenguk kerabatnya di Sumenep. Dia menceritakan beberapa keunikan kampung halamannya itu.
“Tahu melon Kangean? Bibitnya sebenarnya dari Sumenep. Tapi entah kenapa saat ditanam di tanah Kangean, rasanya jadi jauh lebih manis ketimbang yang dibudidayakan di tempat asalnya,” kata dia.
Barangkali Kangean memang berbeda dari Madura, baik secara kultur maupun topografi. Kangean adalah semesta yang lain, kata kawan saya. Meski secara administratif masih wilayah Sumenep, pulau itu punya identitasnya sendiri. Lebih-lebih, orang Kangean tak mau disebut orang Madura. Walau bahasa yang digunakan hampir sama, bahasa Kangean beda.
Jika di Madura menggunakan kata sengko’ (aku) dan ba’na (kamu), orang Kangean menggunakan ako dan kao. Mereka juga punya kata keta yang berarti “kita”, kata yang tidak ada dalam kamus bahasa Madura. Lain dari itu, ketika orang Madura gemar memacu sapi-sapi mereka, masyarakat Kangean malah mengadu lari kerbau-kerbau mereka saat musim padi. Agaknya, perbedaan tersebut lahir dari persinggungan budaya antara suku-suku yang tinggal di pulau tersebut, seperti Bugis, Mandar, Bajo, Arab, juga Tionghoa. Boleh jadi, cerita tentang orang-orang yang kabur itu benar adanya.
Berlabuh di Batu Guluk
Tak terasa, kami sudah jauh sekali dari daratan. Kapal mulai bergoyang. Tampaknya, laut di bawah kami sedang bergolak. Di bulan Juli seperti ini, angin berembus kencang dari timur ke barat. Laju kapal ke arah timur tentu bertabrakan dengan tiupan angin dan gejolak ombak. Sesekali, kapal terangkat. Terdengar seorang penumpang menjerit. Beberapa menyebut nama Tuhan. Saya mulai cemas.
“Ini biasa. Kalau ada yang menjerit kayak tadi, itu lebay,” kata Pak Ahmad. Mungkin dia membaca kekhawatiran di wajah saya. Namun, goyangan kapal benar-benar membuat perut mual. Ketika gejolak ombak menggila, saya perlahan bangkit dari kursi dan menuju toilet. Di dalam kamar kecil, isi perut saya tumpah.
Akhirnya, setelah empat jam melintasi lautan, tanah yang kami tuju telah menanti di depan haluan. Tepat pukul satu siang, kapal melempar sauh di Pelabuhan Batu Guluk. Dari kaca jendela, tampak gerombolan orang berkerumun di dermaga. Mereka adalah penyambut jamaah haji. Rupanya, masyarakat Kangean sepaham dengan orang Madura yang menyambut jamaah haji bak malaikat.
Beberapa orang merangsek masuk. Suasana di pintu keluar kacau. Nyaris terjadi baku hantam andai awak kapal tak sigap menengahi para penumpang yang hendak turun dan orang-orang yang tak sabaran itu. Perlahan, satu per satu penumpang melangkah keluar.
Di dermaga, seorang kawan lama, Firman, menyambut kami dengan senyum semringah. Ia tampak lebih gemuk dibandingkan lima belas tahun lalu saat kami masih satu SMA. Ia bertanya soal perjalanan kami. Saya mengacungkan jempol.
“Kan, sudah kubilang, ini musim angin. Untung kalian duduk di dek bawah. Di dek atas, goyangannya makin gila!” kata Firman. Ia membimbing kami ke mobilnya dan mengantar kami ke hotel.
Walau kapal cepat mampu memangkas waktu tempuh, empat jam melawan ombak masih menyisakan pusing dan mual. Sepanjang sisa hari itu, saya rebahan saja di hotel. Aneh, kasur di bawah punggung saya rasanya bergoyang. Jika orang mengenal jet lag, mestinya juga ada boat lag. Saya mengatupkan mata dan mencoba tidur.
Sorenya, kami menikmati senja di Pantai Pasir Putih di barat pulau. Tak jauh dari tempat kapal bersandar tadi. Lautan di hadapan kami tak berombak. Seorang nelayan mendayung sampan, menebar jaring, berharap menjerat beberapa ekor ikan. Di seberang, sebuah daratan terbentang, dengan mercusuar tegak menjulang. Itu Mamburit, pulau terdekat dari Kangean.
Menyeberang ke Mamburit
Lokasi penyeberangan menuju Mamburit terpisah dari dermaga tempat kami berlabuh tempo hari. Meski begitu, keduanya bersebelahan. Mungkin, itu pelabuhan lama yang kini digunakan kapal-kapal tanker dan perahu kecil parkir. Pagi itu, saat matahari belum terlalu tinggi, kami sudah sampai di dermaga.
Dengan cekatan, saya memasukkan motor ke geladak kapal. Di sebelah perahu kami, sebuah kapal tanker besar melego jangkar. Seutas selang panjang menjulur dari lambung kapal menuju ke truk tangki. Di dalamnya, sesuatu mengalir. Sepertinya itu solar. Di Kangean, pembangkit listrik masih menggunakan diesel. Tentu butuh ribuan liter bahan bakar untuk menggerakkan mesin-mesin itu agar seisi pulau tetap menyala.
Usai menaikkan beberapa penumpang, kapal pun beranjak. Tak ada gelombang berarti ketika kami menyeberangi selat sempit yang memisahkan Mamburit dengan Kangean. Di laut inilah pada masa silam kapal-kapal Belanda berpatroli. Walau letaknya nun jauh di timur Madura, nyatanya Kangean turut menjadi panggung sejarah negeri ini. Bahkan, pulau-pulau kecil di sekitarnya macam Sapeken, Saobi, dan Sakala, sempat menjadi basis militer Belanda dan Jepang.
Kapal bergerak pelan, melewati tanker-tanker besar berisi minyak yang parkir di pelabuhan. Perlahan, kami mendekati Mamburit. Rakit-rakit apung warga mulai terlihat. Di bawahnya, karamba-karamba penuh ikan milik penduduk setempat tertata rapi. Perahu merapat ke dermaga dan kami pun tiba di pulau mungil itu. Lantaran Mamburit bukanlah spot turisme, barangkali satu-satunya yang bisa kami kunjungi adalah mercusuar tua yang tampak dari seberang sore kemarin.
Menara suar itu sepertinya sudah uzur. Besi-besi penyangganya digerogoti karat. Entah sejak tahun berapa ia telah berdiri di situ. Wajar jika di sampingnya, sebuah mercusuar baru tengah dibangun. Para pekerja berseliweran mengangkut material bangunan. Mereka mempersilakan saya melihat-lihat area konstruksi. Menara tersebut tentu sangat penting bagi lalu lintas laut di perairan Kangean. Tanpa cahaya mercusuar, bisa-bisa banyak kapal kandas atau menabrak karang.
Meski bukan destinasi wisata, Mamburit punya pantai berpasir putih dan lautnya toska sempurna. Bentangan terumbu karang terlihat saat saya menengok sekeliling dari puncak menara. Kami berkeliling hingga tengah hari lalu menyeberang kembali ke Kangean.
Di jalan menuju hotel, beberapa kali kami menepi dan mengamati bentang alam sisi barat Kangean. Pohon-pohon jati tumbuh subur di sini dan menghasilkan kayu berkualitas top. Sesekali, kami juga menjumpai sawah-sawah subur dan tambak udang. Saya jadi penasaran, bagaimana dengan sisi timur pulau? Ada apa saja di sana?
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.