“Penyair bersuara dalam sajak. Ia ingin membayangkan dirinya di dalam kata-katanya. Ia tidak puas sebelum dirinya terucapkan dengan sepenuhnya di dalam sajak. Karena itu ia ingin tak putus-putus menulis sajak.”
—Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi dalam Sajak (Balai Pustaka, 1997)
Beberapa jam kemudian, masih di kedai yang sama, setelah An Ismanto selesai menyodorkan buku kumpulan puisi Jalan Lain ke Majapahit karya Dadang Ari Murtono dan lantas pamit pulang, saya hanya bisa ndelomong mencoba mengembalikan suatu petang yang lampau ketika dengan tanpa diduga-duga seorang dosen meminta untuk dituliskan ulasan sebuah kumpulan puisi, dan baru menyadari bahwa teh rosela hangat yang sejak kedatangannya belum saya seruput kini telah menjadi dingin. Tidaklah penting siapa itu An Ismanto, melainkan ucapannya yang memvonis saya sebagai orang yang tidak berterima kasih kepada buku dengan menganggapnya sebagai suatu yang hanya sepintas lalu.
“Masak berterima kasih saja nunggu ada yang nyuruh,” katanya.
Maka demi menjaga keharmonisan dengan buku, saya pun kembali menulis ulasan. Sebab hanya dengan menempuh jalan ini bukti terima kasih saya menjadi lebih kongkret sekaligus valid. Dan semoga buku-buku tidak melaknat saya.
Penyair Sebagai Pemandu Wisata
Berbeda dengan ulasan sebelumnya, sekali ini saya mendapat kumpulan puisi yang lebih tematik. Jika pada kesempatan lalu Suminto A. Sayuti selaku penyair mendokumentasikan perjalanan diri-nya dari titik tertentu menuju titik tertentu yang lain, kumpulan puisi Jalan Lain ke Majapahit karya Dadang Ari Murtono (DAM) ini cenderung lebih meleburkan diri menjadi subjek yang, dugaan sementara saya, dapat dikatakan lebih kolektif. Pasalnya sedari judul DAM telah secara gamblang memberi tahu bahwa kumpulan puisinya akan berbicara tentang Majapahit; sebuah objek yang milik kita bersama, meskipun yang akan dibicarakan hanyalah jalan lain menujunya.
Sebagai bentuk yang tematik, kumpulan puisi ini setia pada jalan yang diambil. Buktinya, sedari daftar isi yang diistilahi sebagai rute kecil, kita akan disuguhkan periodisasi mendetail yang telah disusun oleh DAM sendiri, yakni pangkal jalan, jalan kemunculan, jalan penaklukan, jalan kejayaan, jalan para pemberontak, jalan keruntuhan, jalan raja-raja, tilas jalan, dan ujung jalan. Di sini, DAM melakukan pembagian yang difungsikan sebagai alur, mendukung bentuk sajak[1] yang keseluruhannya adalah naratif. Dengan juga menyebut penulis sebagai pemandu pada bagian akhir yang umumnya berisi tentang penulis, DAM seakan menempatkan pembaca sebagai wisatawan, yang tentunya bukan wisatawan biasa sebab rute kecil yang disusun DAM adalah sebuah jalan lain.
Kembali kepada judul, dari sana dapat kita sepakati bahwa jika ada jalan lain maka mestinya ada jalan yang tidak lain. Artinya, sebagai jalan yang menyimpang, sajak-sajak yang termuat di dalamnya berupaya untuk menentang suatu jalan lurus yang sejak sebelum sajak-sajak itu tercipta telah menjadi common sense. Dalam perjalanan karya sastra, hal ini tentu sudah biasa. Misalnya, dalam sajak Pleidoi Malin Kundang karya Indrian Koto yang menggugat kedurhakaan Malin dalam folklor Malin Kundang, atau bagaimana cerita pendek Robohnya Surau Kami karya AA Navis yang ‘mengganggu’ cara beragama umat Islam kebanyakan.
Yang menjadi sorotan saya adalah soal Majapahit. Dalam buku-buku pelajaran IPS dulu, salah satu kecenderungan yang sering dilakukan raja-raja di Jawa adalah mendewakan diri. Sederhananya, dalam masyarakat yang taat beragama, mengubah diri menjadi dewa adalah cara yang jitu untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu peran sosial yang dapat mewujudkan hal itu, di samping perajin patung atau juga Silpin (arsitek candi), adalah pujangga. Atas perintah raja, para pujangga akan mengarang cerita bahwa raja mereka adalah titisan dari dewa tertentu (kebanyakan Wisnu). Biasanya, cerita tersebut diabadikan dalam ukiran pada batu atau kitab-kitab seperti Pararaton dan Negarakertagama. Dapat dilihat pada sajak pembuka dalam periode pangkal jalan yang berjudul lewat di trowulan.
Budaya mendayagunakan pujangga/penyair sebagai alat legitimasi, atau sederhananya ‘wakil Tuhan’ ternyata terus berlanjut. Sekitar satu abad setelah keruntuhan Majapahit, di Britania Raya sana juga dapat kita temukan budaya serupa dengan istilah Poet Laureate atau ‘Penyair Kerajaan’. Sebenarnya, dalam sejarah sastra di Indonesia pun praktik seperti ini terjadi pada setiap periodenya. Sejak era Balai Pustaka hingga angkatan terkini, katakanlah Angkatan 2000, misalnya, kuasa yang mendominasi hanya akan melegalkan komposisi estetika yang sejalan dengan misi-misinya dan akan membabat yang sebaliknya. Politik, agaknya, pada bidang apa pun itu, selalu menjadi dalang dalam penentuan-penentuan tentang legalitas komposisi tertentu. Di celah-celah seperti inilah, meminjam istilah Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi dalam Sajak dapat dibongkar persembunyiannya.
Kepenyairan Pemandu Wisata
Akan tetapi, suara DAM sulit terdeteksi dalam keseluruhan kumpulan puisi, kecuali pada sajak pembuka, serta tiga sajak lain, yakni memandang rel; trowulan, november 2016; serta majapahit, setiap aku mengingatmu. Anehnya, sajak memandang rel dan trowulan, november 2016 berada pada periode tilas jalan bersamaan dengan sajak lain yang ukuran suara DAM-nya kecil bahkan nihil. Adalah sebuah kerancuan bila mengacu pada keteraturan yang telah diterapkan pada bagian lain, sementara pada bagian ini sajak berjudul candi bayi, misalnya, berada di tempat yang sama dengan sajak memandang rel, yang rasanya akan lebih tepat jika diletakkan pada ujung jalan yang hanya berisi satu sajak, yakni majapahit, setiap aku mengingatmu.
Dalam sajak-sajak tersebut, keresahan DAM muncul ditandai dengan perubahan ekstrem soal sudut pandang. Sedari sajak pembuka, baru pada sajak memandang rel-lah aku-lirik muncul, setelah sebelumnya konsisten menggunakan orang ketiga.
Soal suara DAM, kita dapat melihat pada sajak trowulan, november 2016, misalnya. Sajak tersebut berjumlah 15 bait dan konsisten 2 baris pada masing-masing baitnya. Di sisi lain, terdapat citra-citra biner dengan hubungan yang paradoksal, seperti jazz – ruwatan; kejayaan, sumpah yang epik – aib, siasat licik; duka – luka, juga pada adegan dalam dua bait terakhir: dan seseorang, di tengah gelegak kebanggaan/ purba, tak mampu tak menyeka airmata/ sewaktu bergumam/ “selamat ulang tahun, majapahit”. Sesuatu yang sifatnya bertentangan tersebut dapat ditengarai sebagai suara DAM dalam sajak yang membagikan pengalaman pribadinya dan berada pada posisi netral saat menyikapi sesuatu yang dalam konteks ini adalah perayaan ulang tahun Majapahit.
Pada titik ini, terdapat potensi kekaburan antara DAM sebagai pemandu (subjek) Majapahit (objek), dengan DAM sebagai pemandu (subjek) Majapahit (objek yang telah diidentifikasikan dengan diri). Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya perubahan ekstrem dalam tubuh kumpulan puisi, terutama pada 3 sajak terakhir, yang dapat diintegrasikan dengan ketidakyakinan DAM pada sesuatu yang semula diyakininya dan terwujudkan dalam sajak-sajak. Pembelokan yang mendadak memang dapat menciptakan efek suspend. Hanya saja, salah satu aspek kunci dalam suspend, yang juga menjadikannya sulit dan karenanya menjadi istimewa, adalah bagaimana menciptakan kejutan tanpa paksaan. Dalam konteks kumpulan puisi ini, saya lebih merasa dipaksa.
Jalan Lain yang Paradoksal
Meski menyusun jalan lain, bukan berarti DAM tidak berpotensi lepas dari segala yang umum. Pada hakikatnya, frasa jalan lain sebagai perwakilan sesuatu yang khusus akan tetap terperangkap pada tanda-tanda umum dari dirinya sendiri. Upaya DAM untuk menyusun jalan lain menuju Majapahit, mesti tunduk pada kerangka masyarakat tentang definisi jalan lain.
Kita mungkin setuju, bahwa tidak mungkin lahir jalan lain apabila tidak ada hambatan pada jalan umum. Masalahnya, hambatan di sini tentu amat relatif. Namun hal ini dapat diselamatkan oleh konteks ke Majapahit.
Selama ini, kita hanya mengakses Majapahit melalui buku sejarah, terjemahan kitab-kitab, berjilid-jilid novel Majapahit karya Langit Kresna Hariadi, atau Gajah Mada oleh Moh. Yamin. Kecuali Pararaton, sumber bacaan tentang Majapahit cenderung berbentuk prosa dan panjang. Berangkat dari hal tersebut, bila benar hambatan yang menjadi penyebab lahirnya jalan lain adalah bentuk prosa dan panjang naskah, maka jalan lain yang sah adalah segala bentuk selain prosa yang pendek. Di sini DAM tampil meyakinkan dengan membawa kumpulan puisinya. Satu-kosong dapat kita berikan untuk kemenangan sementara bagi DAM.
Sayangnya, meski berbentuk puisi, sajak-sajak DAM tetap mengandung unsur-unsur prosa sepeti alur yang teratur, tokoh yang jelas, dan juga konflik. Di sisi lain, bila dibandingkan dengan puisi pada umumnya, sajak-sajak DAM termasuk panjang dan membutuhkan energi lebih untuk dibaca. Seperti saga damarwulan dan metamorfosa sebilah pisau yang memakan hingga 10 halaman.
Pada akhirnya, tetap menjadi keyakinan bagi saya bahwa apa-apa yang telah saya utarakan tak lain suatu kesiaan belaka. Toh, hanya cinta, kata Rilke[2], yang mampu menyentuh hingga menggenggam karya seni, lantas berinteraksi dengannya. Dan di era ini, di mana cinta telah menjadi suatu yang saintifik dan bahkan matematis, saya rasa kecerdasan diri ini belum mumpuni untuk sekadar menjadi pecinta. Karenanyalah. Demikianlah.
Judul: Jalan Lain ke Majapahit
Penulis: Dadang Ari Murtono
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 160 Halaman
ISBN: 978-602-391-724-2
[1] Mengikut Nirwan Dewanto dalam Gerimis Logam, Mayat Oleander, istilah sajak dalam tulisan ini mengarah pada poem yakni salah satu judul yang khusus, sedangkan istilah puisi merujuk pada poetry secara umum (Yogyakarta: Penerbit OAK, 2016).
[2] Pada tulisan sebelumnya, Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi, saya juga mengutip perkataan Rainer Maria Rilke (Yogyakarta: JBS, 2020). Silakan baca di sini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.