Travelog

Belajar Sejarah Bangka Belitung di Museum Timah Indonesia

Belajar Sejarah Bangka Belitung di Museum Timah Indonesia
Tampak depan gedung Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang/Ramsyah Al Akhab

Hari cerah menemani laju motor kami—aku dan seorang teman bernama Deri—melintasi jalanan Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Bila mendengar kata Babel, beberapa orang mungkin akan membayangkan pantai berhias batu-batu granit raksasa seperti di film Laskar Pelangi. Namun, Babel tidak hanya soal pantai.

Sampai saat ini, Babel menjadi penghasil timah terbesar di Indonesia bahkan dunia. Untuk lebih tahu tentang Babel dan timahnya, kami menuju Museum Timah Indonesia (MTI) yang terletak tepat di jantung kota Pangkalpinang.

Kurang dari 100 meter selepas Tugu Depati Bahrin, pahlawan Bangka Belitung, kami tiba di MTI. Belum masuk saja, museum yang beralamat di Jl. Ahmad Yani No. 179 itu sudah menampilkan hal-hal menarik, seperti kepala lokomotif tua yang dipajang tepat di depan pintu museum. Terdapat juga peralatan penambangan timah, seperti buket kapal keruk (sekop besar dari baja), spiral timah (alat pencuci timah), bor bangka, dan beberapa batu granit besar.

  • Belajar Sejarah Bangka Belitung di Museum Timah Indonesia
  • Belajar Sejarah Bangka Belitung di Museum Timah Indonesia

Sejarah Museum Timah Indonesia 

MTI di Pangkalpinang menjadi satu-satunya museum timah yang ada di Asia. Menurut sejarah, bangunan yang menjadi tempat MTI sekarang dulunya adalah rumah dinas Hoofdt Administrateur Banka Tin Winning (BTW). Perusahaan pertambangan timah di era Belanda itu kini bertransformasi menjadi PT Timah Tbk., sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga memiliki dan mengelola aset dari MTI. 

Pada 1950-an, dalam kegiatan penambangan banyak ditemukan benda-benda tradisional yang digunakan oleh penambang zaman dulu. Oleh karena itu di tahun 1958, MTI didirikan untuk mencatat sejarah pertimahan di Babel dan memperkenalkannya kepada masyarakat luas. Walau telah lama berdiri, MTI baru diresmikan pada 2 Agustus 1997.

Di era kemerdekaan, saat terjadi pengasingan pemimpin Indonesia ke Pulau Bangka, gedung MTI menjadi tempat bersejarah. MTI menjadi lokasi perundingan oleh pemimpin Republik Indonesia, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, Roem, dan Ali Sastroamidjojo untuk membahas isi perjanjian yang akan dibawa dalam perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949 di Jakarta.

Sebagai informasi, MTI selalu buka setiap hari (kecuali Jumat) dari pukul 08.00 sampai 16.00 WIB. Setelah motor terparkir dan mengisi buku daftar pengunjung, kami pun masuk tanpa dipungut biaya apa pun alias gratis.  

Belajar Sejarah Bangka Belitung di Museum Timah Indonesia
Pengunjung melihat informasi Prasasti Kota Kapur/Ramsyah Al Akhab

Sejarah Peradaban di Bangka Belitung

Setelah melewati pintu masuk, kami disambut ruangan yang berisi benda-benda dan gambar-gambar terkait sejarah Babel. Sebuah batu besar berisi pahatan huruf kuno menjadi daya tarik pertama. Batu tersebut adalah sebuah prasasti yang diberi nama Prasasti Kota Kapur. Tentu aku tidak bisa membaca tulisan tersebut, tetapi penjelasan dan terjemahan dari tulisan kuno itu telah tersedia. Batu ini adalah bukti dari peradaban tertua yang tercatat di Babel. Prasasti Kota Kapur berisi perjanjian dan sumpah setia masyarakat Babel kepada Kerajaan Sriwijaya yang terpahat pada abad ke-7 Masehi.

Menurut penjelasan yang ada di ruangan ini, sangat sedikit bukti sejarah peradaban Babel yang tercatat. Hingga pada 1710, saat timah di Babel mulai dikomersialisasi oleh Kesultanan Palembang Darussalam, barulah Babel hadir dalam peradaban masyarakat luas. Sebelum berada di bawah kuasa Kesultanan Palembang, Babel tercatat pernah masuk dalam Kesultanan Banten. Setelah Sultan Palembang memperdagangkan timah ke pasar dunia, pulau ini mulai banyak kedatangan tamu dari luar. Hingga akhirnya yang tercatat oleh sejarah Babel seolah hanya sejarah timah, karena alasan orang-orang yang datang ke Babel di era itu pasti tergiur oleh timah.

Di tahun 1823, saat Kesultanan Palembang kalah oleh Belanda, kuasa Pulau Bangka dan Pulau Belitung dipegang oleh para depati dan pemimpin lokal lainnya. Di antara para depati terdapat beberapa nama yang terus dibanggakan hingga kini oleh masyarakat, seperti Depati Bahrin, Depati Amir, Depati Hamzah, dan Batin Tikal. 

Perhatianku beralih ke sebuah tiang besar di ruangan ini yang sangat mencolok. Isinya gambar-gambar pemimpin Indonesia era kemerdekaan. Gambar-gambar itu berisi informasi tentang Pulau Bangka yang memainkan peran strategis, karena menjadi tempat pengasingan para pemimpin Indonesia saat Agresi Militer Belanda II. “Van Bangka Begint de Victorie,” ujar Mohammad Roem. Bangka menjadi tempat diskusi dan perumusan muatan isi yang akan dibawa oleh Roem agar Indonesia lepas dari cengkeraman Belanda.

  • Belajar Sejarah Bangka Belitung di Museum Timah Indonesia
  • Belajar Sejarah Bangka Belitung di Museum Timah Indonesia
  • Belajar Sejarah Bangka Belitung di Museum Timah Indonesia

Sejarah Timah Bangka Belitung

Kami pindah ke ruangan berikutnya. Ruangan yang berisi alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Babel zaman dulu untuk menggali timah, seperti godam, kerita surong (kereta sorong), gayung, dan rantai yang terbuat dari kayu. Dalam kotak kaca lainnya, terdapat kepingan dan potongan logam timah seukuran jari yang umurnya lebih tua dari Kesultanan Palembang. Ternyata jauh sebelum timah dikomersialkan oleh Sultan Palembang tahun 1710, timah telah digali dan digunakan oleh masyarakat Babel sebagai alat perhiasan dan alat tukar untuk jual beli. Ini memberi informasi bahwa timah telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Babel untuk kebutuhan sehari-hari. 

Di dinding ruangan terdapat gambar-gambar orang Tionghoa yang mencuri perhatian saya. Mereka terlihat sibuk melakukan pekerjaan penambangan timah. Dari penjelasan yang ada, orang-orang Tionghoa sengaja didatangkan oleh Sultan Palembang untuk menjadi penambang timah di Babel agar produksi timah meningkat. Bahkan saat Babel telah dikuasai Belanda, orang-orang Tionghoa tetap didatangkan. Maka tidak heran hari ini etnis Tionghoa menjadi yang terbesar kedua setelah Melayu di Babel.

Setelah Kesultanan Palembang kalah, Belanda memonopoli seluruh jalur penambangan dan penjualan timah Babel. Hingga pada 1819 Belanda mendirikan perusahaan BTW yang berfokus mengelola timah di Babel, mulai dari eksplorasi hingga penjualan setelah dilakukan peleburan.

Masih di ruangan yang sama, sebuah maket kapal isap dan kapal keruk yang digunakan untuk mengeksploitasi timah di laut terlihat mengagumkan. Pembuatan dan informasinya terperinci hingga ke detail-detail terkecil. Selain itu juga terdapat beberapa maket yang menggambarkan situasi penambangan yang dilakukan di daratan tempo dulu hingga sekarang.

Di sisi lain maket ada batu-batu yang tersusun rapi di atas meja. Batu granit, riolit, diorit, andesit, gabro, basalt, dan dunit beserta muatan informasi mineral yang terkandung di dalamnya. Di sudut ini museum memberikan informasi terkait geologi Bangka Belitung dan juga proses eksplorasi timah. Dari data yang disajikan oleh MTI, aku jadi tahu kenapa ada batu-batu granit di halaman MTI. Batu-batu granitlah yang membawa atau menjadi tempat bersarangnya mineral timah di Babel. Saat batu-batu ini tererosi selama jutaan tahun, akhirnya timah sekarang berbentuk pasir seperti yang sering kita lihat.

Sahang yang Terlupakan

Beralih dari pojok geologi, kami masuk ke sebuah ruangan kecil. Ada replika dari tumbuhan lada atau orang-orang Babel biasa menyebutnya sahang. Dari informasi yang tertera di ruangan ini, aku menjadi tergugah karena suguhan sejarah lada Babel. Mentok white pepper atau lada putih mentok telah menjadi salah satu komoditi lokal selama ratusan tahun, bahkan sebelum Sultan Palembang memutuskan komersialisasi timah. 

Lada putih Babel memiliki kualitas bertaraf internasional. Sayangnya kini hanya sedikit masyarakat Babel yang menjadi petani lada. Banyak orang beralih menjadi penambang atau petani sawit. Selama ratusan tahun, lada menjadi pendamping hidup masyarakat Babel. Lada bukan lagi sekadar rempah-rempah, melainkan juga telah menjadi budaya dan tradisi masyarakat Babel. Namun, karena makin sedikit masyarakat yang menanam lada, budaya dan tradisi tersebut kian tergerus.

Belajar Sejarah Bangka Belitung di Museum Timah Indonesia
Gambar gadis kecil yang memeluk pelanduk/Ramsyah Al Akhab

Di ruangan terakhir, sebuah mural gadis perempuan sedang memeluk pelanduk khas Babel (hewan mirip kancil) yang menampilkan sorot mata sedih. Ruangan ini berisi proses terakhir dari pertambangan, yaitu reklamasi pascatambang. Timah rupanya tidak hanya tentang uang, tetapi juga membawa dampak lain: kerusakan alam. Yang paling miris, ada informasi bahwa banyak anak Babel yang putus sekolah karena menambang timah.

Di ruangan terakhir ini, tidak ada alat-alat atau replika, hanya berisi gambar dan kata-kata. Namun, di sinilah aku mampu menyimpulkan tentang timah. Dari sejarah timah yang panjang di Babel, banyak hal positif dan negatif yang dibawa oleh penambangan timah. Oleh karena itu, timah sebagai sumber daya alam akan tetap menjadi karunia selama dilakukan dengan bijak. Bukan hanya tentang keuntungan, melainkan juga arif terhadap alam dan masyarakat yang renta, yakni kaum perempuan dan anak-anak Babel.


Referensi:

Dwinanto. (2017, 5 Juli). Museum Timah Indonesia: Satu-Satunya di Asia. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12573/Museum-Timah-Indonesia-Satu-Satunya-di-Asia.html.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ramsyah Al Akhab

Ramsyah Al Akhab tinggal di Pangkalpinang. Kalau lagi senggang, suka membaca buku, menulis dan jalan-jalan (traveling) untuk mencari tempat baca buku dan menulis.

Ramsyah Al Akhab tinggal di Pangkalpinang. Kalau lagi senggang, suka membaca buku, menulis dan jalan-jalan (traveling) untuk mencari tempat baca buku dan menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang