Travelog

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta

Ingin menikmati senja di Kota Surakarta, cocoknya dengan menyigi kehidupan warga Kampung Kemlayan, Kecamatan Serengan. Tepatnya di seberang selatan Pura Mangkunegaran. Kampung Kemlayan layaknya kampung-kampung di sekitarnya. Hilir mudik warga silih berganti, berdampingan dengan pejalan kaki.

Keramaian di Kampung Kemlayan setia menemani perjalanan saya tempo hari. Akan tetapi, jika menelusuri gang-gang sempit di balik padatnya pertokoan Kemlayan, bakal menemukan harta karun yang menarik untuk ditelusuri.

Gang sempit tepat di depan Matahari Singosaren menjadi titik awal perjalanan saya. Gang dengan tembok setinggi dua meter itu menjadi pemandangan lumrah untuk warga Kampung Kemlayan. Bagi mereka, kediaman di balik tembok tersebut milik priyayi keraton dan tidak mudah disambangi.

Latar belakang para pemilik rumah di Kampung Kemlayan, selain priyayi keraton ada juga arsitek keraton, seniman musik, saudagar batik, pedagang Arab dan Tionghoa. Mereka hidup berbaur. Saat ini, mayoritas warga yang tinggal Kemlayan bekerja sebagai seniman tari dan musik gamelan khas Keraton Kasunanan Surakarta.

Tak heran Kampung Kemlayan mendapat julukan “Kampung Seniman”. Ada empat maestro kondang yang dilahirkan dari Kampung Kemlayan, yakni Sardono W. Kusumo, Mlaya Widada, S. Ngaliman, dan pencipta langgam keroncong Bengawan Solo, Gesang. 

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Mural di kawasan Kampung Kemlayan/Ibnu Rustamadji

Kampung Lawas di Jantung Kota

Kampung Kemlayan identik dengan gang sempit. Di tengah asik mengabadikan mural di ujung gang kampung, tampak pria paruh baya dari kejauhan bersantai di dalam lorong estetis ini. Saya segera mengabadikan setiap momen dengan kamera.

Tepat di pertigaan gang, mata saya tertuju pada pintu regol kayu berwarna hijau terang. Saya mengetuk seraya membatin, “Kulonuwun saja, siapa tahu [ini] rumah lawas dan boleh dikunjungi.”

Dugaan saya benar. Ada sebuah rumah lawas bergaya Joglo tepat di belakang pertokoan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya diperkenankan masuk seraya memotret detail pendapa hingga ndalem ageng. Ndalem Prodjoloekitan atau Ndalem Kemlayan, begitu sebutannya.

Mengacu pada penuturan keluarga, Ndalem Prodjoloekitan didirikan sekitar tahun 1840 oleh Raden Ngabehi (R.Ng) Prodjoloekito. Beliau merupakan pensiunan pejabat panewu (wedana) Bupati Anom sekaligus arsitek Keraton Kasunanan Surakarta.

  • Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
  • Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta

Tak heran jika di beberapa sudut Ndalem Prodjoloekitan, meski bergaya Joglo Jawa, terdapat aksen budaya Eropa, seperti patung prajurit yang dipajang di pendapa. Pada bagian ventilasi pintu tengah berhias inskripsi sengkalan angka 1911, merujuk waktu renovasi Ndalem Prodjoloekitan.

Inskripsi sengkalan lain berbunyi Sesanti Karaharjanipun para Tamu ingkang Rawuh. Artinya, “Kehormatan kepada para Tamu yang Datang”. Inskripsi lain berbunyi Jalma Sutji Ngesti Ratu. Selain itu juga terdapat relief dua ekor bangau mengapit vas bunga, yang bermakna kesuburan memberikan kemakmuran.

Relief lainnya adalah penggambaran tokoh wayang menunggangi gajah, yang artinya menandakan kewibawaan dan kekuatan. Kemudian relief terakhir menggambarkan mahkota raja dan ratu dengan sengkalan angka 1638. Ndalem ageng layaknya keraton kecil, dengan krobongan tepat di bagian tengah dan diapit dua kamar tidur.

Sungguh luar biasa Ndalem Prodjoloekitan. Meski tertutup dari dunia luar, aura kemewahan begitu terpancar bagi siapa pun yang berkunjung. Puas menyambangi dan mendokumentasikan Ndalem Kemlayan, langkah kaki terjerumus ke sanggar tari milik maestro tari Indonesia kelahiran Surakarta, Sardono W. Kusumo.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Gang kecil menuju sanggar tari milik Sardono W. Kusumo di Kampung Kemlayan/Ibnu Rustamadji

Sanggar milik Sardono ini sejatinya merupakan kediaman salah satu selir Gusti Mangkunegara VII. Namun, saat ini bangunan tidak utuh lagi, karena semua kayu jati telah diboyong menuju kediaman sang maestro di Jakarta. Hanya waktu-waktu tertentu saja digunakan latihan menari oleh Sanggar Suryo Sumirat Mangkunegaran.

Saat saya bertandang, tidak ada aktivitas latihan menari di sanggar. Hanya tampak beberapa sesepuh berkunjung. 

Rumah Indis Saudagar Batik

Saya melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Kampung Coyudan. Di gang dekat sisi belakang sanggar, tiba-tiba muncul seorang ibu. Ia memberitahukan adanya bangunan kuno megah yang menjadi incaran saya. Beliau lantas menunjukan jalan yang harus saya lalui, untuk menuju tempat tujuan saya berikutnya.

“Lurus ikuti jalan ini saja, tapi jangan sampai keluar gang. Rumahnya di utara jalan, tembok tinggi, pintu gerbang besi warna biru. Kalau lurus terus masuk Coyudan,” jelasnya mengarahkan. 

Berbekal nekat dan penasaran, saya berkesempatan melihat lebih dekat lagi rumah kuno yang lain di Kampung Kemlayan. Hanya saja, rumah yang ini bergaya Indische Empire, lengkap dengan pilar besi dan tegel motif yang berbeda dari rumah bergaya joglo sebelumnya.

Gaya Indische Empires sejatinya merupakan perpaduan gaya arsitektur Jawa dan Belanda. Mayoritas pemilik rumah seperti ini adalah saudagar dan pejabat pemerintah. Rumah indis tersebut diketahui dibangun sekitar tahun 1830 oleh keluarga Abdul Fattah, seorang saudagar batik di Kemlayan. 

“Rumah ini ketika masih ditempati keluarga, pabrik batiknya dibangun di Laweyan. Saat ini keluarga ada di Jakarta semua, rumah ini hanya dijadikan tempat transit jika bertandang ke Surakarta,” ujar bapak penjaga.

Rumah indis itu satu-satunya rumah elite di Kemlayan yang terawat baik. Pintu berukuran besar dengan besi ukiran di ventilasi masih terjaga keasliannya. Begitu juga dengan orisinalitas tegel antik motif garis biru-merah dan tegel warna kuning-hijau di bagian tengahnya. 

Kondisi rumah indis tetap dipertahankan seperti sediakala. Sesekali hanya dilakukan sedikit perbaikan karena umurnya yang sudah tua. Sudah sepatutnya untuk merawat bangunan kuno—termasuk cagar budaya—semampunya. Puas mengabadikan kediaman Abdul Fattah, saya lanjutkan menyigi rumah kuno lain di sebelah barat daya Matahari Singosaren.

Ndalem Pangeran Singosari, begitu penyebutannya. Pangeran Singosari, sang pemilik rumah, diketahui merupakan menantu Sunan Pakubuwana IX. Raja Keraton Kasunanan yang notabene juga masih keturunan kerabat Praja Mangkunegaran.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Kondisi bagian dalam Ndalem Singosari, terlihat foto potret Pangeran Singosari di dalam pigura/Ibnu Rustamadji

Saat ini aura kemewahan Ndalem Pangeran Singosari mulai sirna, seiring berputarnya waktu. Pagar tembok keliling yang dahulunya megah, kini berubah menjadi bangunan permanen warga lain. Menyisakan satu rumah saja milik keluarga Pangeran Singosari dari Praja Mangkunegaran, yakni Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) Haroeng Binang.

Secara konstruksi, bangunan Ndalem Pangeran Singosari bergaya joglo. Namun, karena kondisi yang kurang terawat, tidak tampak layaknya rumah. Hanya waktu yang bisa menjawab, sampai kapan kediaman ini dapat bertahan.

Kunjungan Pamungkas di Rumah Maestro Keroncong

Perjalanan berlanjut menuju kediaman maestro langgam keroncong, Gesang Martohartono, di Jalan Bedoyo 5 Kemlayan. Jejeran piagam penghargaan, dan foto diri Gesang terpajang rapi di setiap sudut ruangan. Ada satu pajangan yang menarik bagi saya, yakni tulisan mandarin berbahasa Jepang.

Ternyata, tulisan tersebut adalah gubahan lirik lagu langgam keroncong berjudul Bengawan Solo dalam bahasa Jepang. Selain bahasa Jepang, lagu tersebut sudah dialihbahasakan dalam 13 bahasa. Semuanya laku di pasaran dunia, berkat kepiawaian dan keuletan sang maestro.

Pasca Gesang wafat 2010 lalu, banyak seniman musik dan mahasiswa seni berkunjung untuk berlatih keroncong bersama dengan salah satu keponakan Gesang. Keluarga tidak keberatan akan hal tersebut. Mereka justru berharap semangat menggelorakan kembali lagu keroncong di Indonesia dan mancanegara semakin kuat.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Piagam Gesang/Ibnu Rustamadji

Langgam keroncong bukanlah lagu yang ketinggalan zaman, melainkan lagu lawas yang masih tetap relevan dengan keadaan saat ini. Menikmati langgam keroncong sama dengan mempelajari akar rumput, tempat di mana musik itu diciptakan. Salah satunya di Kampung Lawas Kemlayan, Surakarta.

Bagi saya, yang setiap hari berkutat dengan kampung lawas, Kemlayan sudah selayaknya dibangkitkan kembali ruh keseniannya. Meski para maestro sudah tidak kuasa untuk menggelar pertunjukan, setidaknya kampung kelahiran merekalah yang menjadi penggantinya.

Berkesenian memang tidaklah mudah. Salah satu cara sederhana yang mungkin bisa dilakukan adalah menyambangi tempat seni tersebut dilahirkan. Berjalan menelusuri kampung lawas, tidak selamanya berkonotasi kurang pergaulan layaknya hidup di kota. 

Ada kota, tetapi tidak ada kampungnya, tentu akan mati. Sebaliknya, ada kampung, tetapi tidak ada kota, akan tetap hidup. Jantung ekonomi suatu kota berawal dari kampung lawas yang menjamur di sekitarnya. Jika tidak ada kampung, maka kota akan kesulitan menghadapi gempuran zaman. Selain menyajikan kepolosan warganya, kampung lawas juga menyimpan harta terpendam—yang sama sekali tidak dimiliki kota—yang menunggu untuk dijelajahi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Melacak Jejak Pesanggrahan Lawas Peninggalan Kasunanan Surakarta