Sebuah masa yang ditunggu semua orang telah menghantui. Rencana telah dirancang sedemikian rupa hingga siap merajut memori baru. Libur tengah tahun menjadi momentum menggembirakan baik bagi pelajar, mahasiswa, pekerja, terlebih para perantau. Semusim telah dilalui dengan memenuhi kaleng kerinduan terhadap kampung halaman. Saya adalah salah satunya.
Merantau jauh di luar pulau yang saya kenal tentu mengundang banyak kerinduan. Berusaha mengalihkan perhatian dari Bumi Sriwijaya untuk senantiasa kerasan di Yogyakarta cukup menguras tenaga. Bagi saya, liburan kali ini tidak seistimewa seperti para perantau yang mengindahkan masa cutinya untuk mudik ke tanah kelahiran. Saya tetap di Pulau Jawa. Mengunjungi kerabat yang berada di Salatiga, sebuah kota yang terkenal dengan julukan “Hati Beriman”.
Perjalanan Menuju Salatiga
Saya menempuh perjalanan dari Yogyakarta menuju Salatiga dengan memesan travel. Saya sudah merasa cukup untuk naik bus antarkota Solo–Semarang dengan segala problematikanya. Sungguh, travel adalah pilihan terbaik apabila dompet tidak sedang paceklik. Cukup menyiapkan ongkos sebesar Rp65.000 sudah dapat menikmati perjalanan dengan nyaman dan aman—semoga.
Jalan berliku-liku mulai diterjang bus shuttle berwarna merah ini. Ditemani pemandangan yang tidak selalu menyejukkan mata, perjalanan selama kurang lebih 2 jam 30 menit itu cukup menyegarkan diri dari hiruk-piruk padatnya Kota Yogyakarta. Sekali, dua kali, akan disuguhkan indahnya pemandangan sawah yang terbentang. Tidak lupa pula dengan suasana macetnya jalanan di sore hari, dibarengi keriuhan pengendara yang ingin segera sampai rumah selepas letih bekerja.
Saya memilih jadwal perjalanan pada pukul 15.30 WIB. Saya sengaja tidak ingin terburu waktu untuk menyiapkan diri agar lebih nyaman menikmati perjalanan di sore hari. Tepat 30 menit sebelum keberangkatan, saya disiplin dan sudah menunggu shuttle yang akan membawa menuju Salatiga. Tidak butuh waktu lebih lama lagi untuk segera berangkat. Minibus yang saya nantikan telah tiba.
Sewaktu berjalan bersama serombongan orang yang memiliki tujuan sama, saya bertanya kepada seorang ibu paruh baya soal tujuannya. Dengan sangat kebetulan, ternyata saya adalah penumpang yang duduk tepat di sebelahnya. Begitu ramah ia membuka pembicaraan.
Perbincangan kami singkat, tetapi mampu membuat saya terkagum-kagum kepadanya. Ia merupakan seorang ibu yang sengaja meliburkan diri sebagai seorang ibu. Berangkat dari Bintaro, lalu merebahkan diri sejenak di Yogyakarta, hingga berlabuh ke Salatiga. Sendirian. Begitu hebatnya ia menceritakan “me time”–nya.
Selepas beradu cerita, saya dan si Ibu terlelap. Tidak terasa, berpedoman pada aplikasi peta di gawai, ternyata tidak kurang dari 15 menit lagi saya tiba. Sekitar pukul 18.00 sopir menuruti perintah saya untuk memberhentikan mobil di Terminal Tingkir. Suasana dingin menyambut kedatangan saya dengan kasar, menusuk hidung dan tulang belakang. Rasa-rasanya memang tidak ada yang menandingi hawa dingin tempat ini sejauh saya pergi.
Menjelajah Sawah, Meleburkan Diri
Besok paginya, Sabtu (29/6/2024), saya diajak berkeliling sekitar. Siapa yang tidak setuju dengan kenikmatan udara pagi di sawah?
Tidak jauh dari rumah, cukup lurus saja—begitu petunjuknya. Saya menemukan keajaiban alam Tuhan yang dibantu manusia dalam menatanya. Bentangan sawah seperti anak tangga yang menyegarkan sejauh mata memandang.
Suasana tersebut belum pernah saya temukan di tanah kelahiran. Apalagi ditambah bumbu kesejukan yang datang dari gemercik sungai jernih menambah kekhidmatan sawah ini. Seketika saya ingat lirik lagu Bebek Adus Kali. Begitulah yang terlintas dalam benak saya ketika melihat sekumpulan bebek dengan riang, nyaman, dan gembira bermain air di kali. Pemandangan ini baru saya dapatkan di sini. Sederhana saja, melihat lenggak-lenggok bebek berenang dengan anggun dan membuat saya tertawa. Sembari membayangkan lirik lagu tadi, bagi saya pengalaman seperti ini sudah cukup bikin puas.
Melanjutkan penjelajahan, saya dipertemukan dengan seorang petani. Ia tengah khusyuk membajak sawah dengan “sapi modern” yang disebut traktor. Tanah yang tadinya rata menjadi tak keruan bentuknya. Begitulah prosesnya. Sesuatu yang tampak baik belum tentu cocok untuk sesuatu yang tengah disiapkan.
Pagi yang sejuk mulai memancarkan sengatan matahari. Tentu saja hal ini tidak menyurutkan semangat petani itu membajak sawahnya. Mendorong traktor andalannya mondar-mandir, yang tampaknya mudah dan sangat seru.
Petani tersebut menyadari kehadiran saya lalu memberikan senyum ramah dan berbalas sapaan pula. Terjadilah percakapan singkat di antara kami. Sebatas bertanya dari mana petani itu mengenal saya sebagai kerabat dari salah seorang warga di sana.
Sebuah desa di Salatiga bernama Medayu, benar-benar menunjukkan keramahtamahan khas orang Jawa. Sepanjang saya melalui jalan menuju sawah, banyak orang dengan ramahnya saling tegur sapa. Mengobrol dengan nyaman di pinggir sawah sambil mengisap tembakau sungguh menjadi pemandangan yang damai. Seperti bapak-bapak itu, yang perbincangannya terdengar menarik sekali. Layaknya para pemuda yang tengah asyik nongkrong di kafe, mereka—para mantan pemuda—nongkrong di sawah dengan nikmat.
Liburan kali ini memang belum jadi liburan terbaik, tapi sudah jadi momen liburan saya yang paling istimewa. Melihat sawah beserta para penghuninya sungguh menenangkan. Celengan kerinduan terhadap Sungai Musi tidak tergadai dengan keberadaan sungai di sawah ini. Akan tetapi, Medayu mampu membawa saya mengagumi Salatiga.
Sawah yang mahal, begitulah sekiranya ungkapan paling tepat untuk tempat ini. Tentu mahal, dilihat dari segala hasil alamnya sebagai ciptaan Tuhan yang tidak ada tandingannya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.