Travelog

Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru

Pertama kali aku mengetahui Buku Akik adalah dari Instagram. Waktu itu, lagi scrolling di Instagram, tiba-tiba menemukan konten video tentang toko buku yang unik. Setelah kucermati, toko buku itu bernama Buku Akik. Lokasinya di Jogja. Sepintas dari video tersebut, tempatnya cukup ramai dengan pernak-pernik beragam bentuk dan warna yang memenuhi setiap sudut ruangan. 

Eh, iya. Namaku Leya. Aku tinggal di Semarang. Setelah melihat reels tadi, aku merasa tertarik. Keinginan untuk berkunjung muncul seketika. Soalnya aku jarang melihat toko buku yang estetis. Seperti jadi keunikan sendiri dan tampaknya cocok untuk mengisi konten pribadiku.

Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru
Kutipan menarik di depan pintu masuk/Aldino Jalu Seto

Kunjungan Pertamaku

Setelah penantian beberapa waktu, di bulan April lalu, akhirnya aku punya kesempatan untuk datang ke Buku Akik. Apa yang menjadi bayanganku dari Instagram dengan realitasnya ternyata tak jauh berbeda—bukan berarti sama persis.

Aku kira, lokasinya di seberang Jalan Kaliurang. Namun, setelah dicari, ternyata tempat ini masuk ke dalam gang desa sampai beberapa belokan. Agak susah, sih, mencarinya. Walau setelah dipikir-pikir, letaknya cukup strategis karena tidak terlalu berisik dengan keramaian jalan raya. 

Tampak dari luar, kita disambut dengan tempat duduk yang berbentuk mirip seperti mesin tik jadul. Lengkap dengan huruf dan angka di setiap kursinya. 

Tak kalah menariknya, aku melihat bangunan dari toko buku ini mencolok dengan batu bata merah yang menjadi ciri khas. Terdapat jendela-jendela besar, termasuk yang paling ikonis adalah jendela yang di bawahnya terdapat dua buah kursi, lalu di atasnya bertuliskan “Buku Akik” dan “Independent Bookstore”.

Aku juga mengira jika tempat ini cukup luas dan terdapat beberapa ruangan yang digunakan untuk memajang buku. Akan tetapi, begitu pertama masuk, ternyata tak seluas bayanganku. Tidak terlalu luas, tetapi juga tidak terlalu sempit. Mirip seperti perpustakaan rumahan.

Meskipun begitu tempat ini cukup nyaman. Mungkin karena banyaknya tumpukan buku yang tingginya bisa mencapai tiga meter. Dan mungkin karena saking banyaknya pernak-pernik yang dipajang, membuat tempat ini serasa kecil. 

Kesan pertamaku terhadap Buku Akik adalah, “Wah, banyak sekali barang-barang lucu, apalagi ditambah dengan tone warna yang kecokelatan yang menjadikan impresinya hangat dan sangat homey,” ujarku dalam hati sambil mataku menjelajah ke seluruh ruangan. 

Ragam dekorasi mengisi setiap sela rak di Buku Akik. Ada foto, lukisan, tanaman, Lego, action figure, patung, piringan hitam lengkap dengan alat putarnya, dan mesin tik.

Yang Membedakan Buku Akik dengan Toko Buku Lainnya

Di Buku Akik, interiornya memancarkan suasana era tempo dulu. Termasuk gambar tokoh revolusioner, seperti Tan Malaka. Namun, masih ada juga beberapa hiasan yang identik di zaman modern, seperti miniatur rumah yang mirip dengan instalasi mini Buku Akik. Karena keunikan dekorasi dan pernak-pernik ini, orang biasa menyebut Buku Akik memiliki nuansa Ghibli.

Ghibli adalah studio animasi Jepang yang didirikan Hayao Miyazaki dan Isao Takahata pada 1985 di Koganei, Tokyo. Studio ini dikenal menghasilkan film dengan visualisasi yang memanjakan mata, seperti My Neighbor Totoro, Kiki’s Delivery Service, dan Ponyo. Keunikan dari film-film itu terletak di tone atau nada warna yang unik dan konsisten digunakan oleh sang sutradara. Tone warna tersebut menjadi sebuah daya tarik bagi masyarakat untuk membuat hal serupa, lalu memunculkan sebuah diksi “Ghibli vibes” atau suasananya Ghibli banget. 

Oleh karena itu, aku menduga Buku Akik terinspirasi dari Studio Ghibli. Alasannya, terdapat banyak kesamaan, mulai dari warna hingga karakter-karakter menggemaskan yang menjadi hiasan di Buku Akik. Namun, meriahnya dekorasi tak mengaburkan Buku Akik sebagai toko buku. Buku-buku baru tetap dipajang di sana. Judul-judul buku yang tak familiar di benakku juga banyak tersaji di raknya.

Menurut kabar yang aku dengar dari beberapa kawan, Buku Akik ini adalah toko buku independen. Prinsip itu jelas tertulis di jendela kaca yang terletak persis di depan toko. Aku melihat banyak buku yang tak banyak diketahui orang. Aku mengira, independensi dari Buku Akik ini sampai mengarah ke tata letak penempatan buku-buku yang dijual.

Aku membaca sebuah wawancara Mojok.co dengan Tomi Wibisono (13/12/2022). Pemilik Buku Akik itu bilang, buku-buku yang ditaruh di tempat yang sering dilihat—atau dianggap strategis—bukanlah buku-buku best seller atau sering ditemui di toko buku besar. Ia menempatkan buku-buku yang (memang) perlu dibaca oleh para pembaca, atau dianggap penting untuk dibaca menurut Tomi. 

Menurutku, konsep ini cukup menarik karena sepertinya Buku Akik jadi tidak kaku. Berbeda dengan pakem toko-toko buku besar lainnya. Sepertinya, Tomi ingin membantu para penulis kecil yang tulisannya menarik untuk dibaca, tapi tidak memiliki kesempatan untuk memperluas jangkauan bukunya. 

Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru
Instalasi miniatur toko Buku Akik/Aldino Jalu Seto

Hal menarik lainnya yang saya lihat adalah penggabungan antara toko buku dengan perpustakaan. Melihat perpustakaan di dalam toko buku memberikan sebuah perspektif baru tentang toko buku. Aku cukup antusias ketika melihat koleksi di perpustakaan yang menyatu dengan toko buku itu. Ternyata tak hanya aku, orang yang kuajak ke Buku Akik pun terkejut dengan koleksinya. 

“Wah, koleksinya bagus-bagus sekali. Kayaknya aku bisa deh bertapa di sini buat membaca. Kalau semisal toko ini tak jauh dari Kota Jogja, tiap hari aku bakal ke sini,” ujarnya sambil senyum-senyum siput. 

Aku sempat salah fokus dengan keberadaan meja yang bisa memuat sampai enam orang. Letaknya di tengah-tengah ruangan sempit itu. Meja tersebut bertuliskan sebuah instruksi agar tidak mengerjakan tugas di sana, tetapi hanya boleh membaca. Setelah sebelumnya dibuat kagum dengan segala pernak-pernik sekaligus koleksi mereka, sekarang kian kagum dengan kepekaan para pengelola Buku Akik tentang pentingnya literasi.

Sebetulnya, lawatanku ke sana hanyalah ingin melihat keunikan dari toko buku ini. Namun, ternyata kedatanganku justru membawa ke sebuah perspektif baru tentang konsep toko buku.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Aldino Jalu Seto

Aldino Jalu Seto adalah bolang (bocah petualang) yang tinggal di kota Boyolali. Ia suka bermain sepak bola. Sekarang ia sedang tidak sibuk, silakan kontak dia di Instagram @aldhinojaluseto untuk berbagi kesibukan.

Aldino Jalu Seto adalah bolang (bocah petualang) yang tinggal di kota Boyolali. Ia suka bermain sepak bola. Sekarang ia sedang tidak sibuk, silakan kontak dia di Instagram @aldhinojaluseto untuk berbagi kesibukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten