Travelog

Keris yang Ditempa Rahim Api (3)

Saat ditanya, bagian mana dari keris yang terlihat paling feminin, Rista menjawab: ladrang. Pangkal warangka itu, baginya, seperti visualisasi gerakan menari dengan satu tangan ke atas dan yang lain ke bawah. Kita bisa menjumpai gestur tersebut di banyak tarian Nusantara, bahkan pada gerakan darwis berputar Tarekat Maulawiyah. Tapi, secara zahir, ladrang memang tampak seperti labia mayora.

Jawaban ladrang ala Rista berbeda dengan pendapat arus utama bahwa ganja adalah unsur feminin keris yang dianggap lambang yoni. Dasar bilah keris itu merupakan bagian yang ditusuk pesi, besi yang mencuat di pangkal keris yang tampak seperti kontol cilik. Rista sepakat bila pesi merupakan elemen maskulin keris.

“Menurut mitos orang Jawa, kalau pesi-nya patah, bagian yang lain akan lemah. Bahkan, pesi seringkali dijadikan sikep. Pesi adalah inti keris. Aku pernah pakai aplikasi android untuk menguji daya magnet keris. Rata-rata daya tarik tinggi memang ada di bagian pesi.”

Keris yang Ditempa Rahim Api (3)
Ika Arista mengajar anak-anak TK/Ika Arista

Rista dan Madura

“Apa yang enggak kamu suka dari orang Madura?” Pertanyaanku langsung meloncat ke persoalan yang lebih personal.

“Bukan Maduranya, tapi lingkungan di mana aku tinggal dan berinteraksi,” ucap perempuan yang pernah bekerja dua tahun di Jakarta itu. “Tidak bisa dipukul rata. Madura terlalu luas. Masyarakatku belum siap menerima pilihan-pilihan hidup hari ini.”

“Tapi, kamu tetap bisa berkarya, kan?”

“Karena aku bodo amat. Orang ngomong, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Aku lajang dikiranya pilih-pilih. Makanya, kalau lebaran aku memilih tinggal di rumah ibu di Blitar. Kalau di sini mengusik banget. Perkata style, misalnya. Uban itu kayak aib. Ibu minta aku mewarnai semua rambut untuk menghilangkan yang putih-putih. Malah, aku pengen diputihin semua biar dikomen masyarakat. Aku, kan, tipe orang yang suka coba-coba.”

“Cek ombak,” celetuk Rosi.

“Benar. Teman-teman sepantaranku, anaknya gede-gede semua, sedangkan aku? Udah enggak nikah, enggak berhijab, enggak feminin. Paket komplet bahan gibah. Awalnya agak jiper. Lama-lama peduli setan. Di sini, perempuan enggak dinilai dari pekerjaannya, tapi dari seberapa cepat dia menikah. Sebenarnya, masalah kerja, mereka support-support aja, tapi perkara nikah, orang-orang di sini masih konservatif.”

Rista memandang pernikahan sebagai kawah candradimuka untuk memaklumi ketidaknyamanan bersama orang lain. Baginya, menikah tidak enak, tapi bukan berarti ia tidak mau menikah. Ia berharap, suatu saat bisa menikah, tapi dengan cara tak seperti orang-orang melayarkan bahtera rumah tangganya. 

“Di tengah tekanan, tinggal di sini, enggak gila aja udah untung,” keluhnya. “Orang nikah itu ke mana-mana enggak harus bareng. Kayak apaan aja.”

“Bukannya orang menikah memang harus selalu bareng?”

“Aku enggak mau. Hidupmu tetap hidupmu, hidupku tetap hidupku.”

“Tapi tetap tinggal di rumah yang sama, kan?”

“Enggak harus.” Meski begitu, seorang suami, Rista akui tetap menjadi manzil penghabisan di mana ia bebas mengungkapkan diri kepada dunia tanpa penghakiman. “Kalau ternyata pernikahan itu enggak enak, ya sudah, cerai aja.”

“Punya kriteria pria idaman, enggak?”

“Enggak ada. Yang ngerti hidupku ajalah. Visi-misi hidupku, kan, udah nyeleneh banget. Emangnya ada cowok Madura yang bakal bilang: Kamu dengan hidupmu enggak apa-apa, aku dengan hidupku. Mustahil. Aku enggak bisa bersopan-santun kaku, harus salaman, duduk manis. Aduh, enggak, makasih. Kalau ditanya, mau nikah? Pengen. Enggak nikah juga enggak apa-apa. Aku sudah nyaman dengan hidupku hari ini.”

Suatu kali, rumah Rista kedatangan tamu pasutri dari Jawa. Mereka childfree

“Di pikiran kita, punya anak itu investasi masa tua. Kita melahirkan jongos lah, ya,” ucap Rista. 

Konon, pasutri tersebut sudah punya tabungan masa tua untuk biaya panti wreda. Rista iseng bertanya kepada ibunya: Bagaimana seandainya ia memutuskan tak menikah dengan konsekuensi tidak memiliki anak. Mungkin Rista juga harus menyiapkan anggaran untuk panti jompo sebagaimana pasutri itu. 

Ngapain?” jawab ibunya di luar dugaan. “Adik-adikmu mungkin akan menikah dan punya anak. Biar ponakan-ponakanmu yang merawatmu di masa tua. Atau kamu bisa bayar orang.”

Rista melihat orang-orang yang mencurahkan hidupnya di dunia ilmu dan kesenian jauh dari kata uzur, antipikun, masih sehat, dan tetap giat berkarya. Rista tak ingin masa tua seperti orang kebanyakan. Itulah yang membuat Rista, di usianya yang berkepala tiga, senantiasa menjaga kesehatan. 

“Aku enggak pernah mikir punya anak untuk ngurusin diriku. Cukup jadi khalifah aja. Kalaupun perlu punya penerus, penerus enggak mesti anak sendiri, kan?”

“Aku bayangin keris adalah suamimu,” timpalku acak.

“Wah, belum sepuitis itu. Masih jauh. Tetap ingin suami manusia. Tapi, kalau ada calon yang mau melarangku bikin keris, ya sudah, aku enggak nikah aja. Enggak apa-apa. Masa tiba-tiba datang sudah sok-sokan. Aku pengen suami yang maklum ketika istrinya ada tamu cowok-cowok, ngobrol hahahihi cekikikan. Laki-laki kayak gitu yang belum kutemukan. Nikah itu iseng-iseng berhadiah, enggak sih. Ya, coba aja dulu.”

Rista ngeri membayangkan proses persalinan. Itulah mengapa ia ragu untuk punya anak. Namun, ia sadar, ketakutan itu bisa saja hilang ketika sudah menikah. Ia suka anak kecil. Makanya, dulu ia pernah berprofesi guru TK.

“Bisa enggak sih punya anak tanpa melahirkan? Kayak orang meludah gitu. Atau pakai ibu pengganti. Halal, enggak? Halal ajalah, ya. Kita ambil telur, lalu pinjam rahim.” 

Pengakuan Rista tentu akan membuat kritikus seni macam Ellie Jones mengernyitkan jidat. Ia pernah bilang bahwa sejak abad ke-20, keibuan dan kehamilan telah menjadi siasat mapan bagi perempuan untuk menghadirkan diri. Seniman perempuan mengekspresikan pengalaman hamil dan peristiwa keibuan sebagai tema karya untuk memproyeksikan kompleksitas serta visi mereka. Tapi, konsekuensi dari pengalaman tubuh yang spesifik semacam itu telah Rista sublimkan melalui cita-citanya menciptakan keris yang mampu merepresentasikan kepekaan diri dalam merespons realitas sosial. Maka, Rista telah melampaui diskursus Jones dengan menarik ranah personal ke aras komunal.

Keris yang Ditempa Rahim Api (3)
Ika Arista menempa bilah/Ika Arista

Interseksi yang Tradisional dan yang Modern

Meski begitu, menciptakan karya dengan citarasa pribadi bukan harapan ultim Rista. Cita-cita terbesarnya, yaitu ingin memiliki minigaleri sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda yang hendak belajar bikin keris. Baginya, seorang seniman perlu berinteraksi dengan anak muda agar ketika tua tidak menjadi manusia kolot yang menganggap banal hal-hal baru. 

“Di sini, banyak senior kita yang merasa adidaya di zamannya dan songong di masa tuanya. Enggak mau digeser. Ketika udah enggak kepakai, nyinyir. Anak-anak muda bikin karya dijatuhin. Maunya dia aja yang selalu tampil dengan ide-idenya yang juga gitu-gitu aja. Itu bahaya banget buat pelestarian dan pengembangan budaya. Aku enggak mau jadi senior kayak gitu. Makanya aku harus terbuka. Kadang-kadang suka K-Pop juga, ngomongin anime, atau apa pun yang lagi hits. Aku melihat sisi lain itu meski orang-orang menganggapnya norak. Paling enggak, ketika anak-anak muda ngobrolin yang lagi viral hari ini, aku enggak haho.”

Itulah mengapa rumah Rista berdesain modern meski juga menjadi kediaman benda-benda pusaka. Tak sesuai ekspektasi Rosi yang berharap memasuki griya adat dengan suasana suram sebagaimana yang ditontonnya dalam film KKN di Desa Penari

“Dupa juga ada, sih. Tapi aku enggak mau stagnan di masa lalu. Yang sudah berlalu cukup jadi romantisme. Serap spiritnya aja. Ke mana-mana aku berkain, tapi enggak mesti berkebaya, toh? Bawahan kain, atasannya Erigo enggak masalah, kan? Klasik itu enggak melulu kita lempar mentah. Batik aja bergeser. Awalnya cuma dipakai sebagai bawahan, lalu jadi baju, bahkan sekarang cuma ditempel-tempelin di aksesoris. Zaman sudah berubah.”

Dengan semangat modern pula, kini Ika tengah mencari desain blawong minimalis dengan lampu elegan sehingga tak terkesan kuno. Ia tak ingin keris-kerisnya cuma nangkring di jagrak ukir naga sebagaimana yang teronggok di ruangan itu. 

“Desain rumahnya modern, tapi jomplang sama keris yang dari sononya sudah bernuansa mistis. Enggak nyatu. Makanya, paling enggak, tatakannya dibuat kekinian juga,” pungkasnya. 

Jagrak dengan keris. Keris dengan rumah. Rumah dengan kampung. Yang tenang dengan yang bising. Yang keras dengan yang lembut. Yang dingin dengan yang panas. Yang feminin dengan yang maskulin. Oposisi-oposisi biner itu akan menjadi pekerjaan rumah (PR) di sepanjang hayat Rista. Berdamai dengan jukstaposisi. Berdiri di atas antinomi. 

Akhirnya, Rista memandai segala paradoks itu agar hadir bukan sebagai konflik, melainkan pasangan yang saling melengkapi. Tentu, penyatuan dua unsur kontradiktif tersebut menghendaki sebuah adidaya. Sebagai perempuan, ia telah menggenggamnya. Sebab, perempuan adalah prima causa yang darinya keberadaan hidup menjadi mungkin. Sebab, perempuan adalah pemilik garba yang olehnya dunia dilahirkan. Maka, karena Rista seorang per-‘empu’-an, ia tak hanya menatah keris, tetapi juga menempa hayat dengan tubuhnya, dengan rahimnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Royyan Julian

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Keris yang Ditempa Rahim Api (1)