Satu tahun belakangan saya mencatat penelusuran tentang resistensi kesenian rakyat di pinggiran Jawa. Perjalanan ini saya mulai dari sebuah tempat yang mungkin asing bagi sebagian orang, tetapi beberapa menganggap sebagai rumah yang menghidupi.
Tempat itu adalah sebuah dusun bernama Bringin yang terletak di pinggiran Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Bringin merupakan rumah bagi para petani tembakau, yang hingga hari ini memutuskan bertahan membudidayakan tanaman bahan baku rokok tersebut. Meskipun kebijakan cukai kerap menyisihkan mereka.
Dalam pusaran tembakau di daerah Bringin, para petani menjadi kelas paling rentan. Walaupun etalase di supermarket telah memasang harga puluhan ribu hanya untuk pembelian sebungkus rokok. Akan tetapi, para petani tembakau masih terjerembap dalam pusaran rentenir dan keuntungan produksi yang tidak seimbang. Dengan kata lain, tingginya harga rokok tidak sebanding dengan pendapatan para petani tembakau.
Dari kesaksian para petani tembakau Bringin, sebagaimana Mas Ato (warga Dusun Bringin) katakan, bahwa permasalahan petani tidak hanya berhenti pada kebijakan cukai yang timpang. Bahkan di lapangan para calo kerap mengadu domba para petani demi keuntungan pribadi. Terdapat kebencian yang kerap mereka alamatkan kepada sesama warga, sehingga sering terjadi perselisihan. Alih-alih mengarahkan keluh kesah kepada produsen kapital besar yang sering memainkan harga, justru kebencian mereka tergiring dan bergulir di sesama petani.
Meskipun demikian, di luar intrik perselisihan komoditas tembakau, masyarakat Dusun Bringin masih sering menggelar pagelaran seni jaran kepang. Tradisi tersebut masih berlangsung hingga hari ini, guna memelihara ingatan mereka terhadap sosok leluhur.
Kesenian Jaran Kepang Khas Dusun Bringin
Menurut Mas Suti, salah satu pegiat sanggar seni di Dusun Bringin, masyarakat mengenal sosok leluhurnya sebagai salah satu prajurit perang Pangeran Diponegoro. Sebagaimana kita tahu, para prajurit itu kerap terlibat dalam praktik pembangkangan terhadap kekuasaan Mataram dan kolonialisme Belanda di keresidenan Kedu.
Sosok-sosok tersebut merujuk pada Pangeran Suryakusuma, Singa Barong, hingga Kiai Yusup. Penduduk setempat mengenang dan menetapkan ketiga tokoh itu sebagai nama sanggar, yaitu Tri Kudo Waseso Bringin. Sanggar ini menaungi pemberdayaan seni di daerah Bringin.
Antusiasme penduduk Bringin terhadap kesenian jaran kepang menarik perhatian saya untuk singgah lama di tempat ini. Suatu kali, saya menjumpai rombongan anak secara bersemangat menggelar jaran kepang. Tujuannya memeriahkan hajatan kawannya yang habis sunatan. Meskipun tubuh mereka terbilang masih kaku dan lebih dekat dengan kebiasaan bermain, tetapi mereka begitu penuh gairah menari layaknya prajurit di atas papan kayu.
Kemudian pada akhir tahun 2022, sanggar Tri Kudo Waseso melalui para pemudanya, menginisiasi pagelaran seni yang seluruh lapisan masyarakat bisa mengikutinya. Baik itu anak-anak maupun para lansia, semuanya meletupkan energi untuk menyuguhkan penampilan terbaik.
Sembari berbaur dengan para pemuda di sana, menjelang pagelaran tiba saya memutuskan untuk membersamai proses latihan mereka. Proses latihan ini tersebar di setiap gang hingga antar RT di sepanjang jalan Dusun Bringin.
Setiap gang maupun RT di Dusun Bringin memiliki model estetika khasnya masing-masing. Meskipun memang dalam proses pengemasannya secara serentak menggunakan jaran kepang. Maka malam itu, suara gamelan nampak meluber ke segala arah. Semua orang terlihat gemar menari, tak mengenal batas usia maupun gender.
Bahkan di halaman masjid sekalipun, di luar jadwal ibadah rutin, mereka jadikan sebagai tempat latihan. Tak hanya itu, mereka juga secara swadaya menginisiasi penyewaan artistik dan juga pengeras suara besar untuk modal latihan.
Paguyuban Kesenian sebagai Mediasi Konflik
Menariknya, melalui pagelaran seni dan proses swadaya yang berlangsung secara kolektif, para warga yang awalnya saling berselisih satu sama lain, justru berbaur guna menyukseskan acara tersebut. Kebencian yang sempat terjadi justru lenyap dan berusaha menjalin kembali ritme paguyuban satu sama lain.
Mungkin itulah tujuan dari pergelaran tersebut. Bukan hanya sebagai ajang menunjukan kemegahan artistik maupun kemampuan estetika yang luhung. Namun, lebih dari itu, menjadi wadah bagi siapa pun untuk bersatu dan menepis konflik-konflik yang terjadi di Dusun Bringin.
Berangkat dari persinggungan saya dengan nuansa kesenian di Dusun Bringin, saya pun sampai pada suatu pemetaan. Apabila komoditas tembakau dapat menciptakan ketegangan antarwarga di dalamnya, malah justru melalui kesenian upaya rekonsiliasi dapat dilakukan.
Kesenian dapat menjadi wadah bagi konflik-konflik di daerah pinggiran. Terutama yang irama paguyubannya telah terenggut oleh ketimpangan struktur dan kebijakan pemilik kuasa. Dalam kesenian, seluruh lapisan masyarakat dapat menjalin program kontak dan pertemuan yang lebih sehat.
Di pengujung tahun, pergelaran seni tersebut akan berlangsung. Pagelaran yang menjadi ajang menunjukan hasil latihan yang telah mereka lakukan selama ini. Sekali lagi, bekal tersebut bukanlah keterampilan estetika semata, melainkan nada senyum dan sapa yang menguar selama proses latihan hingga malam pagelaran tiba.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.