Mendengar nama Boyolali, mungkin bagi sebagian orang langsung mengaitkan dengan produksi susu sapi perah. Memang benar adanya. Namun, kalau mau menyisihkan waktu lebih lama, kalian bakal menemukan sesuatu yang belum kalian tahu sebelumnya. Bahkan warga setempat pun tidak banyak yang mengetahui.
Kali ini saya akan mencoba membawa kalian menikmati hidden gems dari Boyolali, yang sayang untuk dilewatkan. Letaknya di timur persimpangan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, atau biasa disebut Simpang Lima Boyolali. Saya menyebutnya Familiegrafplaats Juch, atau ‘Makam Keluarga Belanda bernama Juch’.
Sejatinya familiegrafplaats ini masuk dalam lingkungan kerkop di pusat Kabupaten Boyolali. Saya tidak tahu persis berapa total jumlah makam Belanda di sini, tetapi yang tersisa saat ini hanya ada tiga prasasti dan dua makam. Mereka adalah Clara Hortense Juch, Carel Simon, dan satu lagi tidak terbaca karena sudah aus.
Dari ketiganya, yang menarik bagi saya adalah milik Clara Hortense Juch, karena sangat utuh dan paling mencolok. Kalau ditanya kapan pertama kali menemukan dan berapa kali berkunjung, tentu sulit saya jawab. Saya asli Boyolali, jadi sudah sering saya berziarah. Bahkan menjelang bulan Ramadan saya sempatkan untuk ziarah, sebelum menuju pusara leluhur yang lain.
Penelusuran pertama dan kedua saya membuahkan hasil. Terlebih ketika penelusuran terakhir saya bersama komunitas Roemah Toea, kami mulai mendapat titik terang siapa sejatinya Clara Hortense Juch. Namun, karena keterbatasan, kami tidak mampu membersihkan seluruh rumput yang menyelimuti makam.
Untuk sementara kami sepakat mendokumentasikan kondisi yang ada, termasuk prasasti dan monumen makam. Setelah itu segera kami kirim ke Hans Boers untuk mendapat informasi detail yang kami butuhkan. Informasi tersebut saya terima sehari kemudian.
Jejak Kerkop itu Milik Clara Hortense Juch
Di prasasti tersebut tertulis, “Hier Rust. Onze Gefeliciteerd Zus. Clara Hortense Juch. Geboren te Bojolali 10 Juni 1888. Overleden te Poerworedjo 6 September 1909” (Di sini Beristirahat, Saudari Kami Tercinta. Clara Hortense Juch. Lahir Boyolali 10 Juni 1888, Wafat Purworejo 6 September 1909).
Menyadur informasi dari Hans Boers, Clara Hortense Juch adalah perempuan muda kelahiran Bledok, Boyolali. Ia wafat di usia yang terbilang belia, 20 tahun. Saya yang tinggal di Boyolali tidak menjumpai nama wilayah Bledok. Adanya kampung Ngledok, berjarak sekitar 1,5 kilometer ke arah barat makam.
“Apa di Ngledok, ya?” pikir saya.
Melalui pesan singkat, Hans menerangkan bahwa tidak ada informasi orang tua Clara, hanya marga Hendrik dan Juch yang ia temukan. Merujuk penggalan kalimat dalam prasasti Clara Hortense Juch yang menyebut zus atau saudari, kemungkinan yang mengabarkan adalah saudaranya.
Hans mengonfirmasikan itu. “Kabar wafatnya Clara dikabarkan salah satu saudaranya, yakni Johannes Frederik Ferdinand Juch dari Jogja. Tidak diketahui apa penyebabnya.”
“Artinya marga Hendrik dan Juch tadi itu adalah ipar dari Clara Hortense Juch, ya, Pak?” tanyaku.
Dalam penjelasan Hans, Clara Hortense Juch tercatat memiliki beberapa saudara. Di antaranya Johannes Frederik Ferdinand Juch, Willem Frederik Juch, Arnold Frederik Juch, dan J. C. F. Juch.
“Dalam almanaak dan familie stamboom, nama mereka semua disingkat. Yang saya temukan hanya tiga nama itu,” jelasnya.
Keluarga-Keluarga Clara Hortense Juch
Menurut Hans, keluarga Clara Hortense Juch tinggal di lokasi tersebar, seperti di Solo, Surabaya, dan Yogyakarta. Saya sempat menduga jika salah satu keluarga Clara Hortense Juch ada di Yogya, dan rupanya Hans membenarkan. Mereka adalah Johannes Frederik Ferdinand Juch, dan Minah (Wilhelmina) Juch.
Ia mengungkapkan, “Minah Juch kelahiran Brosot, Jogja, 6 Desember 1879, wafat 14 Juni 1967. J. Frederik Ferdinand Juch kelahiran Bledok, Boyolali, 6 Desember 1870, wafat Jogja 23 Februari 1940.”
Dari keterangannya, Minah Juch adalah perempuan Jawa. Setelah menikah ia dibaptis dan mengubah namanya menjadi Wilhelmina atas permintaan suaminya. Ada dugaan J. Frederik Ferdinand Juch merupakan seorang pegawai pemerintah di Yogyakarta.
Clara memiliki saudara ipar, yaitu C. Ch. Hendrik, istri J. C. F. Juch, dan Margaretha Carolina Fraeijhoven, istri Arnold Frederik Juch. Kedua keluarga tersebut tinggal di Surabaya, sedangkan saudara dan ipar lain tinggal di tempat yang berbeda-beda..
Dari semua itu, hanya Willem Frederik Juch beserta istri yang tinggal di Solo (Surakarta). Mereka bermukim di kampung Eropa “Loji Wetan”, timur Benteng Vastenburg. Sebagai pegawai perusahaan kereta api negara “Staatsspoorwegen”, tak heran jika W. Frederik Juch hidup di kampung Eropa tertua di Surakarta.
“Lantas bagaimana Clara Hortense Juch tinggal di Purworejo?” tanyaku.
Hans menduga ia ikut orang tuanya bekerja. Masih dugaan, entah sebagai prajurit militer atau pegawai pemerintah. Sayang, tidak diketahui pasti latar belakang kedua orang tuanya. Setelah diberitakan meninggal dunia, keluarga mendiang Clara Hortense Juch membawanya kembali ke kampung halaman untuk dimakamkan di Boyolali.
Makna Monumen Kerkop Clara Hortense Juch
Info mengenai keberadaan makam J. Frederik Ferdinand Juch di Yogyakarta segera saya kabarkan ke rekan-rekan Roemah Toea. Tujuannya adalah untuk memastikan kebenaran berita tersebut. Tidak lama kemudian, mereka membenarkan informasi yang saya sampaikan. Lokasi makam J. Frederik Ferdinand Juch dan Wilhelmina Juch ada di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sasanalaya, Mergangsan, Kota Yogyakarta dalam kondisi utuh dan terawat baik.
Sepertinya orang tua dari keluarga Juch merupakan tuan tanah perkebunan yang cukup berpengaruh di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Lalu anak turunnya bekerja di bidang pemerintahan. Info ini sementara masih bersifat dugaan, karena tidak ada informasi lengkap mengenai keluarga tersebut.
Namun, sesungguhnya saya yakin jika perkiraan saya benar. Sebabnya, dari sekian banyak saudaranya, hanya makam Clara Hortense Juch yang paling mencolok. Hal ini menandakan tidak sembarang orang mampu membuat makam semewah ini. Minimal mereka memiliki pengaruh dan modal keuangan yang kuat.
Desain makam Clara Hortense Juch sengaja berbentuk lebih mewah daripada makam sang kakak, J. Frederik Ferdinand Juch. Selain untuk mengenang mendiang dan tanda makam, juga sebagai monumen kematian bagi keluarga yang ditinggalkan. Lazim mendapati monumen kematian semacam ini di kerkop lain di Indonesia. Unik memang.
Monumen kematian itu biasa disebut “Broken Column”, simbol dari ‘Putusnya Asa”. Artinya, Clara Hortense Juch yang wafat di usia muda tentu memiliki cita-cita dan keinginan yang belum sepenuhnya tercapai. Semasa hidup, ia terus berusaha untuk mencapai segala keinginannya. Namun, takdir berkehendak lain. Ajal secara tiba-tiba merenggut nyawanya. Tentu hal ini cukup mengejutkan.
Titipan untuk Juru Rawat Makam
Di sisi lain, saya sangat bahagia dan lega karena menjumpai monumen Clara Hortense Juch yang masih utuh dan terjaga. Hal ini tidak lepas dari peran juru rawat makam setempat yang sempat saya temui. Meskipun beliau bukan bagian anggota keluarga dan tidak menerima bayaran, saya salut dengan keinginannya untuk turut menjaga.
Sayang, beliau tidak ingin namanya disebut. Ketika saya kembali berziarah tempo hari lalu, beliau sangat antusias menemani dan mendengarkan cerita saya tentang Clara Hortense Juch. Obrolan kami lantas berpindah ke rumahnya yang tidak jauh dari makam. Niat hati hanya berbagi cerita, tidak lebih.
Beliau tampak heran dan bertanya pada saya, “Lho, kok bisa tahu dan kenal keluarganya, Mas?”
“Ada beberapa kenalan di Belanda yang membantu saya mencarikan keluarga Clara. Lalu ketemulah nama J. Frederik Ferdinand Juch, kelahiran Bledok (Ngledok) dan istrinya Minah Juch yang tinggal di Jogja,” terang saya.
“Wah, menarik! Jangan-jangan Mas Benu masih keluarganya?” sahutnya.
Tidak lama kemudian, istri beliau keluar rumah dengan wajah yang tampak serius ingin mendengarkan obrolan kami. Ia membawakan dua gelas teh dan cemilan untuk kami.
“Ini lho, Bu, Mas Benu menemukan keluarga Clara di Jogja.” ucap sang suami.
“Jadi Clara itu sebenarnya punya saudara tinggal di Jogja mas?” tanya ibu penasaran.
“Iya betul, Bu. Selain Frederik Ferdinand Juch, ada Arnold Frederik Juch yang tinggal di Surabaya. Nah, satu lagi Willem Frederik Juch tinggalnya di Solo,” jawab saya.
Si bapak dan ibu itu bersyukur karena jadi tahu seluk-beluk makam Clara Hortense Juch. Selama ini mereka cuma merawat dan tidak mengerti apa-apa. Mereka tahunya makam Belanda, namanya Clara. Itu saja, tidak lebih.
“Seandainya mas Benu punya rencana perawatan, ngomong saya saja. Nanti saya urus,” pesan si bapak.
“Kalau begitu saya minta tolong dan berharap sekali membersihkan makam Clara Hortense Juch secara periodik. Tidak perlu dibuat mewah saya sudah senang, Pak,” titip saya pada beliau.
Segelas teh yang telah habis memungkasi pertemuan kami. Saya berpamitan kepada mereka dan tidak lupa mendoakan Clara Hortense Juch di dekat makam.
Saya berharap, semoga ini bisa menjadi contoh dan awal yang baik untuk generasi muda, agar mau menjaga warisan budaya dengan caranya sendiri. Meski itu makam Belanda dan tidak memiliki hubungan keluarga sekalipun. Bagi saya, yang harus dihilangkan dari kolonialisme adalah sifat buruk pada masa itu, bukan peninggalannya, sebagai bahan evaluasi di masa depan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.