“S.O.S. SAYA MEMBUTUHKAN PERTOLONGAN ANDA. SAYA TERLUKA, HAMPIR MATI, DAN TERLALU LEMAH UNTUK BERJALAN KELUAR DARI TEMPAT INI. SAYA SENDIRI, INI BUKAN MAIN-MAIN. DEMI TUHAN, TETAPLAH TINGGAL DAN SELAMATKAN SAYA. SAYA SEDANG KELUAR UNTUK MENGUMPULKAN BUAH RASBERI DI SEKITAR TEMPAT INI DAN AKAN KEMBALI SORE INI. TERIMA KASIH, CHRIS MCCANDLESS. AGUSTUS?”
Pesan bernada cemas ini tertulis pada sobekan halaman dari novel karya Nikolai Gogol. Tertempel di pintu bus bernomor 142 dengan cat hijau putih yang sedikit terbuka. Dari dalamnya, terhirup aroma busuk yang sangat nyata dan menusuk hidung sepasang pejalan dari Anchorage, 6 September 1992.
Terlalu takut karena implikasi bau dan catatan aneh, akhirnya seorang dari rombongan pemburu rusa yang datang tidak lama setelah sang pasangan, memberanikan diri mengintip lewat jendela bus. Matanya menangkap senapan Remington, kotak plastik kerang, delapan atau sembilan buku bersampul tipis, beberapa celana robek, peralatan masak, dan sebuah ransel mahal. Ia melihat dan meraih kantung tidur berwarna biru, yang jelas membungkus sesuatu. Entah apa. Namun, saat ia goyangkan, terasa sangat ringan. Berpindah ke sisi lain, ia melihat kepala mencuat.
Itu adalah Christopher Johnson McCandless, yang mati kira-kira dua setengah minggu lalu. Pria dari keluarga kaya lulusan Universitas Emory berpredikat cum laude, yang meninggalkan segala privilesenya untuk mengembara. Melintasi Amerika Utara menuju alam liar Alaska pada tahun 1990.
Jon Krakauer adalah orang pertama yang memublikasikan cerita perjalanan nekat Chris di majalah Outside, edisi Januari 1993. Jon kemudian mengabadikan kisah Chris lebih panjang dalam sebuah buku berjudul Into the Wild yang terbit tahun 1996. Sebelas tahun berselang, sutradara Sean Penn mengadaptasinya menjadi sebuah film berjudul sama.
Minim Dialog, Namun Menghanyutkan
Adegan Chris tiba di Stampede Trail menjadi pembuka film. Ia diantar Jim Gallien, warga lokal terakhir yang Chris temui, sebelum benar-benar mengasingkan diri di Alaska yang tidak pernah mudah ditaklukkan. Apalagi bagi seorang pemuda yang tidak membekali dirinya dengan kemampuan bertahan hidup. Di alam liar sendirian pula dengan persediaan makanan terbatas dan cuaca dingin yang menembus tulang.
Dari Alaska, Sean Penn memulai cerita menggunakan banyak adegan kilas balik yang fokus pada perjalanan Chris—yang kemudian menamai dirinya sebagai Alexander Supertramp. Ia menyusun rencana petualangannya sejak lama. Mendonasikan seluruh tabungan pribadi untuk amal, menggunting semua kartu identitas, meninggalkan mobil sendiri di gurun tanpa plat nomor, memutus komunikasi dengan keluarga serta teman-temannya, dan membakar habis sisa uang tunai yang ia miliki.
Chris benar-benar sudah muak pada kehidupan peradaban yang gila. Orang-orang bersikap buruk terhadap orang lain. Termasuk para orang tua, hipokrit, hingga politisi yang mengontrol semuanya melalui relasi kekuasaan.
Ia memimpikan hidup di alam bebas. Tanpa arloji mahal yang memberitahu waktu—yang kadang-kadang bagi sebagian orang cukup menakutkan—karena harus berkejaran dengan target pekerjaan. Tiada orang lain dan omong kosong. Hanya dirinya sendiri.
Dalam dua tahun perjalanannya, Chris bertemu dengan beberapa orang yang menyenangkan. Meski tetap saja, tidak ada satu pun yang berhasil meredam tekat kuatnya melihat sungai, pegunungan besar, dan langit dari sudut yang sunyi.
Sayangnya, Chris hanya mampu bertahan selama 113 hari. Napasnya purna usai sekuat tenaga bertahan di tengah ketangguhan Alaska, kawasan dengan kondisi dan cuaca yang terlalu ekstrem untuk hidup.
Durasi dua jam lebih rasanya tidak cukup merangkum kisah si petualang super. Visualisasi lanskap Alaska berhasil membuat jantungku berdebar. Adegan-adegannya minim dialog, tetapi justru menghanyutkan. Narasi puitis Chris dan adiknya adalah kekuatan film ini.
Bagian favoritku adalah kutipan-kutipan Leo Tolstoy dan Thoreau yang Chris yakini tanpa keraguan sedikit pun. Salah satunya ia lontarkan pada pasangan “Rubber Tramps”, “Rather than love, than money, than fame, give me truth”. Dan surat-suratnya kepada Wayne. Catatan-catatan perjalanannya terdengar sangat jujur.
Magic Bus
Kisah Chris meledak di kalangan penggila petualang. Beberapa media menyebut, ratusan orang pernah mencoba menelusuri jejak-jejaknya. Banyak yang terjebak dan sebagian cukup beruntung diselamatkan otoritas setempat.
Ada juga yang menemui takdir sial dan tragis. Seperti pasangan Veranika Nikanava dan Piotr Markielau dari Belarus. Veranika tersapu arus sungai Teklanika yang kuat pada Juli 2019. Ia bernasib sama dengan Claire Jane Ackermann pada Agustus 2010. Warga negara Swiss itu kehilangan pijakan saat berusaha menyeberangi sungai. Dua tahun kemudian, Jonathan Croom, penggemar kisah Chris yang lain dari Oklahoma, hilang dan mayatnya ditemukan di pegunungan Oregon. Lalu tahun 2013, Dustin Self juga hilang. Mayatnya baru ketemu setahun setelahnya di bagian selatan Alaska.
Mereka semua ingin mencapai situs kematian Chris. Seperti peziarah yang mengunjungi makam.
Fairbanks 142, bus yang sengaja ditinggalkan oleh kru perusahaan konstruksi Yutan pada tahun 1961, biasa terpakai sebagai tempat istirahat para pemburu. Maka saat pertama kali Chris menemukan Fairbanks 142, bus itu sudah memiliki tempat untuk tidur, meja, dan peralatan masak seadanya. Tanda-tanda kehidupan setidaknya pernah ada di sana.
Chris bernaung di dalamnya dan memberi nama magic bus. Ia mengukir awal perjalanan dan jati diri yang baru di sebuah kayu. Ia terlahir dengan nama baru: Alexander Supertramp. Dia lari, berjalan sendiri menyusuri daratan agar hilang di alam liar. Tak lagi teracuni peradaban.
Namun, karena alasan keamanan dan upaya mengakhiri rentetan kematian, sebuah helikopter akhirnya mengangkut magic bus pada Kamis, 18 Juni 2020. Awalnya lokasinya dirahasiakan. Namun, pada September 2020, Museum of the North di University of Alaska mengumumkan akan memperbaiki magic bus tersebut. Mereka memajangnya di pameran luar ruangan permanen bersama dengan replika magic bus yang Sean Penn gunakan pada film.
Bagi saya, kepindahan magic bus sangat menyedihkan. Sayang sekali.
Akting Memukau Emile Hirsch dan Pesan Terakhir Chris
Harus saya akui, keberhasilan film ini berkat totalitas Emile Hirsch memerankan Chris. Akting Emile mampu menciptakan atmosfer reflektif. Saya bisa membayangkan ekspresi wajah asli Chris dan pergolakan jiwanya; kemarahan, kesedihan, dan kesenangan yang ia rasakan.
Demi mendalami peran, Emile bahkan menurunkan berat badannya hingga 18 kilogram. Kamu bisa melihat perubahan drastis tubuhnya di akhir film. Ia juga menolak menggunakan pemeran pengganti untuk beberapa adegan berbahaya. Termasuk adegan di sungai berarus deras dan berhadapan dengan beruang grizzly. Hampir semua adegan di film ini dilakukan sesuai dengan catatan perjalanan Chris. Begitu pun lokasi syuting.
Jim Gallien juga layak memperoleh apresiasi tinggi. Ia memerankan diri sendiri dengan sangat baik. Saat mengantar Chris, ia diberi jam tangan emas mahal miliknya. Jim menghadiahkan arloji itu kepada Emile, yang akhirnya ia pakai di film.
Into the Wild termasuk dalam kategori 1001 film yang harus kamu tonton sebelum mati, menurut Steven Jay Schneider. Meskipun begitu, film ini juga mendapat kritikan. Beberapa orang menganggap bahwa tindakan Chris sebagai upaya bunuh diri yang bodoh dan tragis. Ia hanya mengandalkan bantuan alam yang kapan saja bisa menjadi sangat ganas, sedangkan wawasannya terhadap survival amat minim.
Namun, untuk mengakhiri petualangannya dengan tenang, Chris menulis pesan terakhir yang berbunyi, “I HAVE HAD A HAPPY LIFE AND THANK THE LORD. GOODBYE AND MAY GOD BLESS US ALL,” setelah sebelumnya sempat menulis, “HAPPINESS ONLY REAL WHEN SHARED.”
Ya, walau kebahagiaan tidak pernah sederhana, tetapi saya berharap Chris bisa tahu bahwa ia telah berhasil berbagi kesenangan perjalanannya kepada banyak orang. Ia menolak kekacauan sistem masyarakat lewat pencarian jati diri di alam bebas.
Rest in peace, Alexander Supertramp.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menyukai aroma melati, rumah berjendela, dan suatu hari ingin membuat dokumenter tentang kucing dan anjing.