Minggu (22/1/2023) pagi, seorang perempuan berwajah oriental berbaju merah muda motif kembang-kembang terlihat keluar dari Gang Luna, Bandung, Jawa Barat. Ia kemudian berjalan menyusuri Jalan Cibadak yang lengang ke arah utara.
Hari itu bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2574 Kongzili. Perempuan dari Gang Luna itu akan menuju Kelenteng Satya Budhi, yang terletak di Jalan Kelenteng, yang melintang dari Utara ke Selatan.
Antara Jalan Cibadak dan Jalan Kelenteng membentang Jalan Jenderal Sudirman. Maka, jika dari Jalan Cibadak hendak ke Jalan Kelenteng, ataupun sebaliknya, kita harus terlebih dahulu menyeberangi Jalan Jenderal Sudirman.
Di mulut Jalan Kelenteng, terpasang gapura tinggi. Di atas gapura tertulis kalimat berbunyi: “Wilujeng Sumping. Kawasan Wisata Pecinan.” Kalimat “Wilujeng Sumping” adalah ucapan dalam bahasa Sunda, yang artinya selamat datang.
Kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, berseliweran di Jalan Kelenteng. Mendekati gerbang selatan Kelenteng Satya Budhi, terkadang lalu lintas agak tersendat karena proses keluar masuknya kendaraan yang dari dan menuju Kelenteng Satya Budhi.
Seorang petugas terlihat sigap mengatur lalu lintas. Sebuah sedan hitam meluncur keluar dari kompleks kelenteng menuju utara, sementara dua kendaran lain dari arah selatan siap memasuki kompleks kelenteng.
Gerbang kelenteng hanya dibuka separuh. Saya iseng melongok ke dalam. Setelah gerbang utama, ternyata ada lagi gerbang kedua, berupa gerbang dorong, yang dijaga beberapa petugas.
Persis di seberang gerbang kelenteng, dua gerobak sederhana berdiri. Gerobak itu menjual pernak-pernik imlek yang didominasi warna merah, termasuk kartu ucapan imlek maupun amplop. Sang penjual terlihat tengah menata barang dagangannya. Tak jauh darinya, penjual kembang menggelar dagangan mereka di emperan ruko yang tutup.
Di depan gerbang kelenteng, di sebelah kiri, sekelompok pencari derma duduk bergerombol. Mereka menanti derma dari mereka yang pulang berdoa atau bersembahyang di kelenteng.
Di sebelah kanan gerbang kelenteng yang terbuka lebar, terlihat penjual burung pipit. Burung-burung pipit yang dijualnya ditempatkan dalam beberapa sangkar.
Sebagian warga Tionghoa hingga kini masih melaksanakan salah satu tradisi Imlek, yaitu melepaskan sejumlah burung pipit. Tujuan utamanya adalah untuk berbuat baik kepada makhluk lain dan untuk keberkahan hidup.
Kelenteng Satya Budhi adalah salah satu kelenteng tertua di Kota Bandung. Ia menjadi satu bukti peninggalan sejarah pecinan masa silam di kota berjuluk Parijs van Java ini.
Awalnya, kelenteng ini bernama Kuil Xietian Gong, berdiri sejak tahun 1865 dan merupakan tempat tinggal seorang kapiten Tionghoa bernama Tan Yun Liong. Barulah pada tanggal 15 Juni tahun 1885, bangunan tempat tinggal ini dijadikan sebuah kelenteng.
Pada masa kolonial Belanda, jalan di mana Kelenteng Satya Budhi berada bernama Chineese Kerk Weg. Dalam bahasa Belanda, ‘kerk’ secara harfiah berarti ‘gereja’. Adapun ‘weg’ bermakna jalan.
Setidaknya ada dua jalan masuk untuk mencapai lokasi Kelenteng Satya Budhi. Pertama, kita bisa masuk dari arah utara, yaitu dari Jalan Kebon Jati. Kedua, dari arah selatan yakni dari Jalan Jenderal Sudirman. Akses masuk ke kelenteng bisa dari pintu gerbang utara, yang langsung menuju halaman samping kelenteng, atau bisa lewat gerbang selatan dan harus melewati ruangan parkir.
Jika masuk dari Jalan Kebon Jati, Kelenteng Satya Budhi berada di sisi kanan. Sebaliknya, kalau kita masuk dari Jalan Jenderal Sudirman, posisi kelenteng berada di sisi kiri. Lokasi kelentengnya sendiri tidak menghadap persis ke tepi jalan, melainkan agak menjorok ke dalam, menghadap ke arah selatan.
Aroma hio
Suasana kelenteng yang relatif sunyi sepi di hari-hari biasa mendadak ramai tatkala hari Imlek tiba. Kalau kita menyempatkan dolan-dolan ke kelenteng ini pas di waktu Imlek, nuansa kental Imlek niscaya kita dapatkan di sini. Lampion bergelantungan. Dupa yang mengepul, aroma hio yang menyengat di antara mereka yang hendak dan tengah bersembahyang.
Di dalam kelenteng yang didominasi warna merah, terlihat orang-orang khusyu memanjatkan doa. Sejumlah arca—antara lain arca Panglima Perang Kwan Yu dan Dewi Kwan Im—serta sajian aneka bunga dan buah-buahan segar terlihat di atas altar. Lilin merah berbagai ukuran menyala di ruang tengah dan halaman belakang kelenteng.
Ritual sembahyang saat Imlek lazimnya diawali dengan menyalakan dupa. Setelah itu, berdoa di halaman depan kelenteng. Kemudian, masuk ke ruang utama kelenteng dan berdoa kembali di depan altar utama dan dilanjutkan dengan berdoa di ruang barat dan ruang timur kelenteng.
Dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, ritual Imlek di Kelenteng Setya Budhi sekarang jauh lebih tertib dan lebih khusyu. Hanya mereka yang akan bersembahyang yang diperkenankan masuk ke lingkungan kelenteng.
Dulu, saat Imlek, siapa pun bisa masuk ke dalam kelenteng. Di malam Imlek dan hari Imlek, halaman dan ruangan Kelenteng Setya Budhi dipadati bukan hanya oleh mereka yang sembahyang, tetapi juga mereka yang sedang berburu (hunting) foto. Para juru foto ini hilir mudik di dalam kelenteng dan di halaman kelenteng mencari momen dan sudut bidik ideal. Pada saat yang sama, para pencari derma juga bergerombol persis di depan pintu kelenteng.
Sekarang, tak ada lagi terlihat gerombolan fotografer ataupun para pencari derma yang menyesaki halaman utama Kelenteng Satya Budhi. Begitu juga di dalam kelenteng. Dengan begitu, para pesembahyang kini dapat lebih khusyu memanjatkan doa-doa mereka.
Meski sempat dipugar pada tahun 1958 dan 1985, serta mengalami kebakaran pada tahun 2019, hingga sekarang arsitektur asli kelenteng ini masih tetap utuh. Warga masyarakat Tionghoa, baik yang mukim di Bandung maupun di luar Bandung, yang masih memegang tradisi budaya leluhur mereka, kerap datang ke Kelenteng Satya Budhi untuk melakukan ritual ibadah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.