Bagi Bram Aditya, perjalanan adalah santapan besar sebagai seorang videografer yang menemani perjalanannya menjelajahi berbagai sudut Indonesia. Sebagai seorang videografer, ia diharuskan untuk mengambil versi gambar terbaik dari pemandangan yang ada di sekitarnya. Karya-karya Bram sudah banyak berseliweran di kanal YouTube-nya maupun Instagramnya.
Salah satu video karya Bram yang menggugah adalah video yang berjudul Bento Gojek Keliling Indonesia. Sebuah kisah perjalanan Bento, seorang pengemudi Gojek di Jakarta yang sudah rindu akan kampung halamannya. Selama 17 tahun tak pulang, kerinduan itu akhirnya membuncah. Pada 2019 kesempatan itu akhirnya datang, bersama Bram, ia menyusuri rute Jawa—Bali—Lombok—Sumbawa—Flores—Timor—Pulau Sabu menggunakan motornya.
Berikut cuplikan wawancara TelusuRI dengani Bram mengenai perjalanannya ke Pulau Sabu bersama Bento.
Mas Bram, pertama kali ketemu Bento terus sampe memutusan menggila bersama ke Pulau Sabu itu gimana ceritanya sih?
Awalnya kenal Bento sudah cukup lama sekitar dari tahun 2007. Waktu itu, Bento kerja di salah warnet di Benhil, Jakarta Pusat. Sedangkan saya sebagai operatornya. Hingga saat Bento keluar dari warnet pada 2013, saya belum ada kepikiran apa-apa tentang Bento. Setelah [resign] dari warnet Bento tinggal di jalan, jualan air minum kemasan & kopi di lampu merah, sambil jadi ojek pangkalan sebagai sampingan. Oh ya, motornya waktu itu Honda Astrea butut yang sering kali mogok. Lalu pada 2015, ia mendaftarkan diri sebagai pengemudi Gojek.
Saya baru terpikir untuk ajak Bento pulang kampung pada 2017 karena melihat dia nggak pernah pulang kampung sejak pertama kali datang ke Jakarta, tahun 1997. Karena kendala persiapan, tahun 2018 kami gagal berangkat.
Eh, jadi berapa kilometer yang ditempuh?
Waktu itu menempuh 4000 km Jakarta—Sabu.
Persiapannya berapa lama? Pastinya nggak cuman kendaraan, fisik, dan mental; tapi juga keuangan, kan?
Ya, semenjak dua tahun setelah berencana, kami baru bisa mengeksekusinya. Bento sendiri harus menabung selama satu tahun untuk perjalanan ini. Yang [jadi kendala] agak berat itu motor Bento. Motor tersebut adalah motor yang digunakan untuk mengangkut penumpang setiap hari, dipaksa kerja, jadi motor dia sangat nggak sehat. Akhirnya dibongkar habis di bengkel teman saya sebelum berangkat. Kalau fisik dan mental sebenarnya kami nekat aja.
Manajemen perbekalan kalian gimana, tuh?
Sebenarnya nggak ada manajemen, kami cukup istirahat kalau capek, dan yang pasti nggak jalan kalau malam. Tapi si Bento di perjalanan ke Sabu, sempat kehabisan uang untuk melanjutkan. Jadi cukup dilematis antara lanjut atau berhenti. Akhirnya Bento narik ojek di Bali, baru lanjut perjalanan.
Selama di perjalanan tidur di mana aja? Hotel, rumah temen, atau pom bensin?
Bento menyebutnya di apartemen alias pom bensin, tapi ada juga di tempat temen atau saudara. Ada juga kalanya kami [mendirikan] tenda. Hotel yang kita inapi itu hanya di Sape. Terpaksa menginap karena selama tiga hari nggak ada kapal menuju Sumba.
Mampir juga kan ya ke beberapa tempat wisata kayak Borobudur dan Bromo. Lainnya ke mana aja? Emang dari awal berangkat ada niatan untuk mampir-mampir?
Sebenernya emang mau mampir, sekaligus [bikin] Bento nggak penasaran. Seumur hidup belum pernah keluar Jakarta, Kupang, dan Kampung Sabu. Banyak juga tempat wisata yang kita lewatkan karena biaya.
Bento cuma lewat Jawa, tapi bagi dia sudah keliling Jawa.
Yang lucu di beberapa tempat yang kita lewati, Bento disapa orang dan diajak foto. Sedangkan orang nggak ada yang kenal saya di jalan. Misalnya pas di Bromo, Bali, Banyuwangi.
Sambil bikin dokumenter, to? Rencana mau diapakan dokumenter ini?
Rencana awalnya, saya yang akan menyuntingnya, cuman karena pekerjaan sebagai freelancer nggak habis-habi, akhirnya nggak jadi-jadi. Saya harus bener-bener nggak kerja untuk menyunting film ini. Tapi sekarang, filmnya sedang disunting oleh editor lain, jadi ditunggu ya.
Tujuan [pembuatan dokumenter ini] sebenarnya lebih ke eksplorasi saya dalam film, menantang diri sendiri menjadi lebih baik. Setelah jadi sih lebih ke pengen sharing dan membuat event, tentang gimana cara buat film cara survive di jalan, cara buat script, cara persiapan, dan lainnya.
Sepanjang perjalanan, ada momen yang paling bikin kaget atau ada sesuatu yang terungkap di luar dugaan? Misalnya, berantem sama Bento.
Salah satunya Bento mendapati star syndrome. Sampai dia dengan bangga di Bali kenalan sama banyak perempuan dan cerita kalau [kami] ke Bali lagi shooting.
Kalau capek, biasanya karakter orang keliatan kan. Selama saya kenal Bento tidak pernah ada di level ini nih. Egoisnya bento keluar pas di jalan ketika capek. Misal setelah seharian di jalan, pas mau istirahat dia bukannya bantu-bantu mengisi daya peralatan, dia malah minta foto-foto untuk diunggah [ke media sosial].
Ketika capek mogok & jatuh pun juga begitu, dia sulit diajak kerjasama untuk shooting. Bento pas lagi di jalan nggak bisa melihat plang jalan yang benar. Tiap ketemu perempatan harus dikasih tahu kiri kanan via intercom helm. Terus ada suatu saat, di perempatan saya bilang terus, dia malah marah-marah.
“Lho jangan bilang terus dong tapi LURUS!”
Lah apa bedanya terus ama lurus?
Menurut dia terus itu ada terus ke kiri dan ke kanan. Tapi kalau lurus ya lurus nggak ada lurus kiri atau lurus kanan.
Yang bikin tidak capek, sampai akhirnya tiba di Sabu apa sih?
Kalau saya sampai & tidak sampai, tidak masalah. Ya itu bagian dari cerita dokumenternya. Kalau Bento lebih ke euforia mau ketemu ibunya. Dia selalu semangat buat jalan. Padahal di Jawa aja jalan berhari-hari dia sudah kecapean hampir nyerah. Trus makin mendekati kampung dia semakin bahagia bahkan sedih. Apalagi di kapal laut penyeberangan ke Sabu. Dia di kapal laut dia ketemu saudara jauh— yang dia dikira sudah meninggal karena 20 tahun tidak bertemu.
Yang pertama kali kalian lakukan pas sampe Pulau Sabu, apa?
Bento beli oleh-oleh di pelabuhan, beli oleh-oleh ikan. Saya nggak ada persiapan.
Awalnya saya tidak mengerti, ketika sampe rumahnya saya paham. Karena rumah Bento itu bedeng dan bentuknya rumah adat kecil. Jadi buat keluarganya, makan daging itu mewah. Jadi ketika pertama datang, saya makan hanya nasi dan kuah dikasih perasa Sasa.
Ya begitulah mereka sehari-hari, makanya Bento beli oleh-oleh ikan dari pelabuhan. Akhirnya saya mengerti.
Terus, baliknya naik motor lagi?
Saat sampe Sumba, motor saya kirim ke Bali. Jadi saat Sumba—Sabu dan sampai di rumah Bento saya sudah tidak naik motor. Karena sabu terlalu kecil buat kirim balik motor saya.
Saya sendiri karena ada kerjaan, hanya tiga hari di rumah Bento. Saya lalu memesan pesawat Susi Air ke Kupang dan ke Bali untuk melanjutkan perjalanan shooting di Sulawesi.
Kalau Bento sendiri dari awal berangkat sudah jadi suatu dilema dengan motor. Karena dia sebagai kakak tertua dengan pendidikan paling tinggi tidak bisa jadi sandaran keluarga. Jadi dia sampe Sabu, meninggalkan motor buat adiknya sebagai oleh-oleh. Trus dia pulang naik kapal dan bus kembali ke Jakarta.
Ada saran tidak buat orang yang mungkin mau melakukan kegilaan yang sama?
Silahkan saja, tapi kalau dalam tujuan film, sebaiknya disiapkan scriptnya. Itineraries itu penting untuk tidak dilupakan. Kemudian nikmati saja perjalanannya, karena di perjalanan akan mudah menyerah karena capek dan lain hal.
Oh ya, sebenarnya walaupun keliatan gila atau tidak penting, dari perjalanan ini saya banyak belajar tentang hidup, yang tidak akan saya dapatkan sehari-hari di Jakarta. Kalau untuk Bento ini pengalaman sekali seumur hidup, udah seperti keliling dunia buat dia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.