Jokes yang cukup lawas, sudah rahasia umum kalau series Honda yang satu ini merupakan salah satu moda yang lumayan irit bahan bakarnya pada kelas roda dua. Saya sendiri memang salah satu penggemar series motor yang satu ini, mulai dari Astrea Grand kala SMA, Supra karbu kala kuliah hingga yang injeksi. Ini bukan endorse, diakui atau tidak, memang Supra series ini cocok untuk kantong pejalan.

Banyak “unexpected journey” yang saya lalui bersama si Supra. Salah satunya ketika melakukan perjalanan menuju Lampung dari Depok sepanjang 276 km yang akan saya ceritakan kali ini. 

Bensin sudah terisi penuh, tas daypack saya sangkutkan pada bagian setang, karena kali ini Kevin menemani saya. Cukup punya nyali di umurnya yang masih 19 tahun berani menerima ajakan saya. Tujuan pertama kami ialah Pelabuhan Merak. Kalau dari Depok ambil arah menuju Sawangan, lanjut ke Tangerang, ambil plang menuju Serang dan beri sentuhan akhir berupa penunjuk jalan bernama Cilegon. Sekitar 5 jam nonstop tanpa istirahat karena fisik yang masih prima. Kami tiba di Pelabuhan Merak tepat pukul 5 sore. Waktu yang tepat, pas senja.

Supra saya tepikan di pendopo yang terletak di pinggir jalan menuju pelabuhan. Lalu, kami melihat matahari tenggelam dari balik kapal-kapal cargo yang lalu lalang. Cukup memberikan nuansa baru bagi saya yang terbiasa menatapnya dari Setu. Tiket keberangkatan kapal pukul 10 malam, namun menurut peraturan kapal, saya mesti boarding 2 jam sebelum keberangkatan. 19.30 kami memasuki pelabuhan, melewati pos pengecekan lalu berputar putar di dalam area pelabuhan yang cukup besar.

Fery Malam
Tas dan Ferry di Malam Hari

Apes! Saya baru tahu semisal jika sudah boarding, tidak disarankan untuk turun dari kapal. Sekembali dari Indomaret, jembatan penghubung kapal sudah terlipat, kapal telah bersiap untuk berangkat, dan kami masih di pinggir dermaga. “Sedikit kocak, banyak paniknya,” begitu kalau kata Payung Teduh. Nggak lucu, kalau membayangkan motor saya sampai ke Bakauheni lebih dulu ketimbang supirnya. Paniknya? Ya iyalah panik masa masih dijelasin.

Saya teriak-teriak meminta bantuan kepada penumpang yang ada di pinggir kapal, salah satu dari mereka berkata untuk naik dari lambung kapal. Tanpa pikir panjang kami langsung menuju lambung kapal. Ada banyak lubang mungkin berukuran 3×5 meter, lebih dari cukup untuk masuk menuju kapal. Yang jadi masalah ialah bagaimana kami masuk jika tinggi lubang itu sekitar 3 meter dari tempat kami berdiri. Kami menyusuri pinggiran kapal dan alhamdulillah ada sebuah undakan yang cukup tinggi. Melalui undakan tersebut kami masuk. Nafas tersengal, dan masih tertawa tentunya!

“Baru ya dek?” Ucap petugas kapal ketika sampai di parkiran motor. Iya, memang ini perjalanan Ferry pertama saya, mengingat berangkat jam 10 malam kami pikir masih banyak waktu untuk ngopi cantik di pinggir dermaga, dan ternyata tidak.

Setelah berbincang dengan ABK, kami menghampiri sumber suara orkes dangdut yang cukup meriah. Orkes ini berada di geladak kapal, dengan banyak bangku panjang permanen lengkap dengan sandarannya, ada warung kecil dengan berbagai jajanan di etalasenya, dan tak lupa termos beserta kopinya. Rp12 ribu rupiah untuk segelas kopi gunting, cukup sepadan sambil melihat kerlap kerlip lampu yang ciamik kala kapal meninggalkan pelabuhan. Estetik!

2 jam perjalanan kami habiskan di atas kapal, tak terasa sampai juga di pelabuhan Bakauheni, kerlap kerlip lampu kian mendekat. Setelah aba aba dari pengeras suara kami bergegas menuju Supra untuk bersiap. Memakai helm dan meluncur keluar kapal menginjakkan kaki di Lampung dini hari. Lalu apa?

Sedari awal sebenarnya, tujuan saya hanya ingin ke Lampung. Namun akhirnya saya putuskan untuk terus menuju dermaga 4 Ketapang, gerbang menuju pulau Pahawang. Ekspektasi saya adalah banyak warung berjejer 24 jam, namun nyatanya semua tutup. Motor saya parkirkan di sebuah warung dan langsung terlelap di bangku panjangnya. Jam tangan menunjukkan pukul 03.00 dini hari. 

Aktivitas dermaga, tepat pukul jam 6 pagi membuat saya terbangun. Mandi di toilet umum, sehabis itu memesan kopi sembari mencari informasi bagaimana kami bisa sampai di Pahawang. Singkat obrolan kami ikut salah satu trip yang berangkat pada hari itu dengan merogoh kocek sekitar Rp150 ribu untuk “one day trip”. Periode ini aktivitas wisata mulai menggeliat kembali di tengah pandemi, kembali membuka harapan para pegiat usaha di komoditas ini, kami pun tak banyak menawar, sadar diri.

Selamat Datang di Pahawang
Selamat Datang di Pahawang

Sup

Supra sudah naik kapal, segelas kopi sebagai bekal perjalanan sudah di tangan. Ada banyak peserta trip, namun yang tak disangka ialah supir kapalnya merupakan orang yang lama tinggal di Depok, kembali pulang karena PHK akibat pandemi. Saya tertawa, sempit kali dunia ini, sudah menempuh 200 km masih saja bertemu orang Depok. Namun dalam hati bergumam “alhamdulillah”, setidaknya ada kawan lokal jika kembali bersua ke sini.

Kapal membawa kami menuju salah satu spot snorkeling terkenal di Pahawang, tempat ikan nemo dan juga tulisan “Pahawang Island” di bawah laut berada. Banyak karang maupun biota laut yang menyita perhatian. Jika mendaki gunung kita selalu monoton melihat gumpalan awan serta matahari terbit, tidak dengan dunia bawah laut, meski hanya beberapa meter dari permukaan. Mungkin satu satunya yang mengecewakan ialah, masih ada cukup banyak sampah plastik yang terbawa. Memang memalukan jejak manusia yang satu ini.

Bawah Laut Pahawang
Bawah Laut Pahawang

Sesampainya di pulau selanjutnya, saya dan Kevin memilih tidur diatas kapal sampai trip selesai, panas matahari tampaknya tak mampu mengusik kami berdua kali ini. Sejenak perjalanan ini mampu membuat kami lupa akan berbagai hal. Dalam hati masih tidak menyangka kalo Supra mampu mengantar kami berdua sampai ke sini. Tak terasa matahari sudah mulai menyingsing, pertanda trip akan selesai. Yang tadinya tak memikirkan apa apa, jadi menambah pikiran baru. Pertanyaan selanjutnya pun muncul. Di mana kami akan bermalam? 

Rombongan kami sampai kembali Dermaga 4 Ketapang, semua peserta kembali ke homestay. Saya dan Kevin? masih terdiam sejenak di pinggir dermaga sambil berpikir mau ke mana lagi setelah ini. Saya memutuskan untuk mandi dan makan dahulu agar lebih jernih berpikir, atau mungkin keajaiban akan menghampiri kami di perjalanan kali ini.

Setelah beberes, tak disangka pemandu trip yang sedari tadi menemani kami menawarkan mesnya untuk bermalam. Saat berbincang tadi beliau juga bercerita tentang masa-masa dia menjadi musafir sebelum memiliki organisasi travel yang cukup besar seperti sekarang. Bang Ari namanya. Melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya atas tumpangannya. Jika dari kalian ada yg ingin berkunjung ke Pulau Pahawang jangan ragu menggunakan jasa beliau. Lengkapnya ada di Instagram.Kami menghabiskan malam bersama para pemandu wisata, meski berada di Lampung, nyatanya banyak yang berasal dari Jawa Barat, entah itu dengan plat B bisa sampai di daerah ini. Rata-rata mengatakan bahwa perjalanan kami cukup membahayakan. Kami sendiri pun mengakui hal tersebut. Malam itu dilalui dengan bergitar ria di pinggir pantai, sungguh, ketimbang pahawang yang tadi, menurut saya best momen-nya adalah di Dermaga 4 ketapang ini, ketika bersama mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

Tinggalkan Komentar