Aksi sahut menyahut semboyan 40, 41, 35 dari petugas PPKA, kondektur dan masinis menjadi pertanda keberangkatan Kereta Api Progo yang kutumpangi malam itu.

Tak banyak yang dapat dinikmati di perjalanan kereta malam. Hanya pendar lampu-lampu yang seperti berlarian di luar jendela. Aku pun mulai mencari posisi senyaman mungkin untuk tidur di bangku tegak lurus kereta ekonomi ini.

Sedikit perasan jeruk dan kecap kutambahkan ke mangkuk soto lenthokku. Soto berkuah bening kekuningan dengan isian soun, suwiran ayam, seledri, tahu, dan lenthok (perkedel ketela) ini menawarkan sensasi rasa segar gurih yang sederhana, tanpa banyak letupan rasa. Sesederhana suasana dan hangat matahari pagi Jogja di Pasar Lempuyangan.

Kebiasaanku bila naik kereta malam dan tiba pagi di Stasiun Lempuyangan adalah menuju Pasar Lempuyangan yang berjarak sekitar 400 meter dari stasiun dengan berjalan kaki.  Sarapan soto lenthok yang gerobak penjualnya berada di bagian depan pasar menjadi ritual yang wajib dilakukan. WC Umum pun menjadi langgananku ketika di pasar ini, selain untuk buang hajat aku juga biasa mandi untuk menyegarkan badan setelah semalaman di kereta.

Tapi kemarin itu aku tidak ke WC pasar, Mbak Ruri menawarkan untuk mandi di rumahnya di daerah Godean. Aku mengenal Mbak Ruri karena kesamaan minat terhadap sejarah dan bangunan heritage. Dan pada tahun 2017, beliau yang seorang fotografer dan almarhum Deni Priya Prasetia Sadji penggiat budaya Tionghoa mendirikan Indonesia Graveyard, sebuah gerakan yang mendokumentasikan dan mengkaji sejarah makam makam tua dan unik di Indonesia.

Pada awalnya Indonesia Graveyard berkegiatan di Jakarta dan sekitarnya, tetapi setelah Deni meninggal dan Mbak Ruri kembali ke Jogja, Indonesia Graveyard memusatkan kegiatannya di kota gudeg ini. Suatu ketika, Mbak Ruri pernah berjanji akan mengajakku melihat makam makam yang unik bila aku berkunjung ke Jogja. Dan hari itu aku menagih janjinya.

Ketika Rinda datang aku telah selesai mandi, kami bertiga pun langsung memulai tur kuburan bersama Mbak Ruri. Tak sampai 15 menit, dengan menggunakan motor, kami tiba di Kampung Gendhingan, Ngampilan. Kampung ini telah lama ada, hasil pencarianku di google menyebutkan kampung Gendhingan dulunya adalah kawasan tempat tinggal abdi dalem Wiyogo (pemain gendhing/gamelan) Keraton Jogja. Tetapi sekarang telah menjadi perkampungan yang ramai dengan latar belakang masyarakatnya yang beragam.

Aku melihat beberapa rumah limasan tua dengan dinding kayu bercat kusam dan atap genting coklat menghitam penanda ketuaannya. Menurut cerita rumah adat tradisional Yogyakarta ini tahan gempa. Karena struktur konstruksi rumah Limasan ini memakai kayu dengan sistem bongkar pasang dan sambungan – sambungan kayunya menggunakan sistem sundhuk, yang mana sistem ini bisa menghasilkan daya elastisitas pada material kayu yang bisa meredam getaran atau guncangan akibat dari pergeseran tanah atau gempa bumi.

Setelah memarkir motor, kami dibawa mbak Ruri ke tengah kampung. Aku membayangkan akan menemukan  pemakaman umum dengan kijing (nisan dari batu) tua, tetapi aku malah menemukan kijing-kijing yang berbagi ruang, berhimpitan dengan rumah warga.

Makam disamping rumah Pak Wijiyono
Makam disamping rumah Pak Wijiyono/Daan

Agak bertentangan dengan apa yang kulihat dan yang pernah kubaca tentang budaya leluhur orang Jawa yang sangat menghormati orang yang telah meninggal, sampai cendekiawan jaman itu membuat 5 sinonim tentang kuburan: kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan. Bahkan kita sering melihat makam berdekatan dengan ruang shalat di masjid-masjid, ini membuktikan relasi yang kuat antara agama dan makam. Ritual ruwah dan nyadran pun masih sering dilakukan masyarakat Jawa sampai sekarang, sebagai penghormatan kepada orang yang sudah meninggal dan makam makamnya.

Mbak Ruri langsung mengajak kami ke rumah bapak Wijiyono yang diapit oleh 2 kijing di kiri kanannya. Kijing-kijing ini tampak bersih dan terawat walaupun di salah satu sisi rumah terdapat kandang burung. Sayang pada saat itu pak Wijiyono sedang bersiap untuk pergi, kami hanya bisa mengobrol sebentar dengan istri beliau yang kebetulan lahir di kampung Gendingan ini dan mendapatkan info bahwa semenjak beliau lahir di tahun 70-an kawasan ini sudah menjadi area pemakaman untuk masyarakat sekitar. Tapi ketika kutanyakan mulai kapan pemakaman ini  dijadikan pemukiman, beliau tidak mengetahuinya. Beliau hanya menambahkan menurut cerita orang tuanya semenjak jaman Jepang menduduki Indonesia, area pemakamannya sudah tidak digunakan lagi.

Dari rumah bapak Wijiyono kami menuju rumah ibu Sumartini. Beliau menyambut ramah dengan membukakan pintu rumahnya setelah tahu maksud kedatangan kami dan langsung bercerita kalau di depan pintu masuk ada 2 makam bayi, tetapi telah dipindahkan sewaktu pembangunan rumah dengan seizin keluarga pemilik makam dan ibu Sumartini juga melakukan selamatan atas pemindahan makam tersebut.

Bogirah
Bogirah/Daan

Masih di bagian depan rumah beliau, ada 1 kijing kecil yang di nisannya tertulis nama Bogirah dan 1.5 meter di belakangnya menempel dengan dinding dapur ada juga nisan yang bertuliskan Kyai Gali tanpa ada tulisan apa apa lagi. Oiya, sebagian kijing yang ada disini tidak ada lagi tulisan sebagai penanda siapa yang dimakamkan di dalamnya.

Setelah mendengarkan cerita tentang makam-makam bayi tersebut, mbak Ruri meminta izin untuk melihat bagian dapur rumah. Di ruangan yang tidak terlalu luas ini, selain ada tempat memasak, tempat mencuci piring dan kamar mandi ada satu kotak persegi panjang dari batako setinggi kurang lebih 80 cm, lebar 100 cm, dan panjang 150 cm, berlubang pada sisi atasnya, hanya ditutupi beberapa lembar papan.

2 makam di dapur Ibu Sumartini
2 makam di dapur Ibu Sumartini/Daan

Ibu Sumartini membuka papan penutup kotak, kami melihat ada 2 kijing, lagi-lagi tanpa ada tulisan nama atau tahun meninggalnya. Kemudian beliau mulai bercerita bahwa  yang dimakamkan di kijing tersebut adalah dua perempuan cantik. Beliau mengakui pernah didatangi oleh kedua perempuan tersebut di dalam mimpi. Kedua perempuan tersebut meminta ibu Sumartini tidak usah takut karena mereka tidak akan mengganggu. Karena sebelumnya, para tukang yang membangun dapur merasa takut dan tidak berani untuk memindahkan makam. Akhirnya ibu Sumartini dan suami memutuskan membiarkan kijing tersebut dan membuat kotak persegi panjang untuk menutupinya. Tetapi anak-anak mereka tetap takut menginap di rumah. Sampai sekarang ibu Sumartini tetap merawat kedua kijing tersebut dan bila ada kesempatan beliau mengirim doa untuk kedua perempuan cantik yang diyakini dimakamkan di dapurnya.

Dari kampung Gendingan, kami menuju Taman Wisata Pemandian TamanSari. Bukan untuk berwisata, tapi ingin melihat pemakaman yang menyatu dengan pemukiman. Ternyata pemakaman ini dekat dengan Masjid Soko Tunggal—yang ada di dekat pintu masuk Taman Sari—dan dikenal karena keunikannya karena hanya memiliki satu tiang penyangga utama atau soko guru.

Makam R.A Arten Surokusumo
Makam R.A Arten Surokusumo/Daan

Kondisi pemakaman disini terlihat sangat tidak terurus. Beberapa kijing ada di bagian belakang rumah warga. Ada kijing yang setengahnya sudah tertindih bangunan rumah, ada yang diatasnya dibangun kandang burung, ada yang tertimbun tanah dan sampah kayu. Hanya satu kijing yang terlihat dirawat karena memiliki atap, di nisannya tertulis Raden Ayu Arten Surokusumo.

Menurut cerita yang diyakini masyarakat sekitar, beliau masih keturunan keraton yang memiliki darah Jawa – Belanda dan hidup di masa penjajahan Jepang. Karena kecantikannya banyak serdadu Jepang yang menaruh hati tapi selalu ditolak oleh sang putri. Karena penolakan tersebut para serdadu ini marah dan menganiaya sang putri hingga kakinya patah dan akhirnya meninggal. Dari cerita itulah masyarakat sekitar percaya kijing sang putri selalu akan miring walaupun telah direnovasi, ini karena kaki sang putri yang patah oleh kekejaman serdadu Jepang.

Sangat menarik mengikuti kegiatan Indonesia Graveyard ini. Sejujurnya aku tidak suka ke pemakaman, aku tidak suka dengan suasana sepi dan seram pemakaman. Tapi Indonesia Graveyard memperluas pemahamanku tentang makam, bukan hanya tempat untuk untuk ziarah dan mengantar jenazah untuk dikuburkan tapi mereka mengajak kita untuk memahami makam adalah sebuah produk budaya yang bisa dijadikan kajian.

Aku juga pernah melihat postingan mereka di Instagram tentang kegiatan pembersihan bong (kuburan tua orang Tionghoa). Aku yakin mereka tidak mengenal sama sekali siapa yang dimakamkan di bong tersebut.

Dari cara mereka memperlakukan makam yang mereka kunjungi itu dan mendokumentasikannya membuatku berpikir akan doa-doa baik untuk orang orang yang telah meninggal yang melayang di angkasa tanpa tujuan karena makam yang telah hilang atau rusak akhirnya bisa kembali menemukan jalannya.

Selain itu kegiatan Indonesia Graveyard ini bisa dimasukkan ke dalam konsep Urban Tourism atau wisata kota—yang tentunya berbeda dengan wisata keagamaan. Jadi Yogyakarta ataupun daerah lainnya tidak hanya akan dikenal dengan wisata budayanya atau wisata alamnya, wisata kuburan pun bisa menjadi sebuah keniscayaan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar