Akhir November 2018. Saya dan teman-teman kampus akan berangkat menuju Pantai Bajulmati di Kabupaten Malang.
Baskara sudah meninggi tepat di atas ubun-ubun. Suara doa dan pujian setelah sembahyang di masjid juga telah menggema. Bergegas saya menuju salah satu kampus negeri di Kota Malang. Hanya bermodalkan tenaga dari setiap langkah kaki. Karena berjarak hanya sekitar 300 meter dari indekos.
Hari itu menjadi salah satu hari yang membahagiakan bagi saya. Saya sebagai salah satu dari lima belas orang yang lolos seleksi kegiatan untuk belajar ilmu terkait penyu di kawasan konservasinya langsung. Baju ganti seadanya dan sebungkus roti sisir, mengiringi perjalanan saya ke kampus.
Saya disambut truk bercat kuning yang didalamnya beralas terpal warna biru. Saya kira perjalanan akan berlangsung selama kurang lebih tiga jam karena kendaraan yang saya tumpangi adalah kendaraan besar. Apalagi, kondisi jalanan berkelok, berlubang, dan dikelilingi tebing terjal khas Malang Selatan. Ah, pasti akan lama!
Tapi nyatanya perjalanan hanya selesai dalam waktu kurang dari dua jam.
Dibalik kebahagiaan akibat singkatnya durasi perjalanan. Saya dan teman-teman merasakan guncangan luar biasa saat di dalam truk. Terseret ke arah depan, belakang, kanan, dan kiri pojok. Apalagi saat kendaraan berbobot ini harus melewati curamnya kawasan Jurang Mayit. Saya cukup deg-degan karena takut kalau-kalau truk berjalan mundur karena tak kuat menanjak.
Di sisi lain, selama di dalam truk saya dan teman-teman yang baru bertemu dalam kegiatan ini saling berkenalan. Kami bermain banyak games dan bernyanyi bersama. Hingga tidak terasa truk telah terparkir di dekat bibir pantai.
Suasana Bajulmati
Dengan mengerahkan segala tenaga yang tersisa, saya menghentakkan kaki sembari membawa badan saat menuruni bibir truk. Sialnya, kami tidak diberi sedikit waktu untuk mengumpulkan energi dan meluruskan kaki yang selama dua jam hanya duduk bersila.
Pekerjaan untuk mendirikan tenda menyambut kami di depan. Cukup sulit, tidak sebuah melihat tutorial cara mendirikan tenda di YouTube. Dengan modal ilmu kira-kira, tenda-tenda itu kami dirikan satu per satu.
Setelah tenda mulai berdiri kokoh dan segala barang bawaan tertata rapi di dalam tenda. Kami dipersilakan untuk sejenak bermain pasir atau sekedar untuk menikmati suara gempuran ombak.
Di bibir pantai, pohon cemara udang bergoyang-goyang memperlihatkan kuatnya angin yang berhembus. Ombak begitu semangat membentuk formasi dengan ketinggian beberapa sentimeter. Dari kejauhan tampak papan larangan berenang terpasang di pulau karang di sisi barat.
Panjang pantai yang luas membuat saya merasakan kebebasan. Gerombolan awan seperti sedang menari-menari mengucapkan selamat datang kepada kami. Saat itu, hanya kami yang berkunjung.
Matahari mulai lelah bertugas, digantikan oleh kesunyian dan kegelapan. Kami yang sudah bersih-bersih diri telah siap menerima berbagai materi terkait penyu. Saya kira akan banyak mahasiswa yang berasal dari Jurusan Ilmu Kelautan. Ternyata tidak hanya mahasiswa dari bidang ilmu yang berhubungan dengan lingkungan saja. Ada mahasiswa dari Jurusan Sastra Arab hingga Teknik Pengairan. Semua bersatu-padu memfokuskan diri menyimak materi yang disampaikan.
Berkenalan dengan penyu
Pak Sutar, namanya, seorang nelayan yang dahulu gemar mengonsumsi telur penyu. Saat ini sudah bertaubat ke jalan benar untuk membantu menyelamatkan penyu. Mendengarkan kisah perjuangan beliau membangun penangkaran penyu tidaklah mudah. Berhadapan dengan kebijakan pemerintah dan penolakan warga yang juga sebagai pengonsumsi penyu.
Adapula Mas Anang, seorang lulusan Teknik Sipil yang lebih memilih mengabdikan dirinya untuk penyelamatan satwa-satwa liar. Ia memperoleh pertentangan hebat dari keluarganya. Namun karena tekad gigihnya, banyak hewan terselamatkan dan banyak orang yang mengaguminya.
Langit semakin menggelap, tetapi semangat kami tetap terang benderang. Mendengarkan segala materi yang disampaikan. Tidak hanya terkait hal berbau teknis seperti sistem reproduksi dan cara penangkaran penyu. Ilmu berkenaan dengan kehidupan juga kami terima.
Ada satu pernyataan yang dilontarkan Pak Sutar, begitu saya ingat dan membuat jleb di hati. Kurang lebih seperti ini, “Saya gak beruntung karena gak bisa sekolah tinggi. Tapi saya juga beruntung karena bisa melakukan hal-hal yang membuat hati damai. Kalian sebagai mahasiswa, punya tuntutan untuk jadi sukses setelah lulus. Lalu kira-kira apa yang bisa kalian berikan kepada lingkungan?”
Seketika mata saya berkaca-kaca dan berusaha menimbang pernyataan tersebut. Sungguh sebuah pelajaran hidup yang tidak terlupakan.
Malam itu tiba-tiba hujan tiba. Dan meski jarum jam telah menunjukkan waktu tepat tengah malam, namun semangat kami untuk belajar tak terhenti.
Dengan mengenakan jas hujan plastik yang telah dipersiapkan, kami berjalan beriringan menuju bibir Pantai Bajulmati. Saya mencoba mengamati Pak Sutar sedang menjelaskan bagaimana bentuk jejak kaki penyu saat mata telah sayup-sayup ingin segera menutup. Dinginnya pasir yang diduduki segera menghilangkan rasa penat dan kantuk. Sungguh sayang, kami kurang beruntung karena tidak menemukan sarang penyu.
Malam semakin larut, hujan tak henti-hentinya turun. Teman-teman memutuskan untuk beristirahat di sini. Tenda yang dibangun tadi siang hanya terdiam dan tak berpenghuni. Namun karena ingin menikmati malam di tepi pantai, saya dan seorang teman kembali ke tenda. Menikmati suasana malam sesuai rencana awal.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu