Kapal Legundi

Ingatan Kembali Kepada Kapal Legundi

by Melynda Dwi Puspita

Salah satu grup Whatsapp kembali ramai saat salah satu tokoh desa mengirimkan hasil screenshot berita tingginya gelombang di laut Lombok. Seketika pikiran saya melayang kembali ke awal tahun 2019. Kenangan saat pertama kali ke Lombok dengan menumpang Kapal Legundi dari Surabaya.

Keinginan pergi ke Lombok sempat terpikir di tahun 2017. Namun baru bisa terealisasi di tahun 2019. Tidak pernah muncul di benak saya akan melakukan perjalanan jauh menggunakan kapal laut. Mengingat dompet yang tidak pernah tebal, saya harus memutar otak agar pengabdian (jalan-jalan) bisa tetap terlaksana.

Naik bis rasanya tidak mungkin, karena badan pasti terasa pegal jika perjalanan berhari-hari. Apalagi harus naik pesawat, semakin mustahil dengan bujet pas-pasan. Pilihan kapal laut yang ditawarkan rekan seperjuangan pengabdian menjadi satu-satunya jalan yang harus saya pilih.

Karcis Kapal Legundi

Karcis Kapal Legundi/Melynda Dwi Puspita

Naik Kapal Legundi dari Surabaya ke Lombok

Saya yang saat itu masih berdomisili di Malang, tidak tahu menahu cara membeli tiket kapal laut. Alhasil teman saya yang berasal dari Surabaya berinisiatif untuk memesan dan membelikan tiket para volunteer dari Jawa Timur. Bermodalkan scan KTP dan transferan uang sebesar Rp107.000. Saya bisa duduk manis menunggu jadwal keberangkatan.

Terminal Jamrud Pelabuhan Perak

Terminal Jamrud, Pelabuhan Perak/Melynda Dwi Puspita

Saat itu saya naik kereta api dari Malang menuju Stasiun Gubeng, Surabaya. Saya yang tidak pernah ke Pelabuhan Perak, terpaksa menjadi pengikut saat harus naik ojek dari stasiun. Dengan membayar tiket masuk pelabuhan sebesar 10 ribu rupiah. Sampai juga saya di Terminal Jamrud, Pelabuhan Perak.

Jadwal keberangkatan Kapal Legundi dari Surabaya menuju Lombok setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Saat itu waktu keberangkatan, yaitu pukul 13.00 WIB dengan estimasi 18-20 jam perjalanan. Kapal ini cukup besar dengan kapasitas hingga 800 orang. Legundi tidak hanya mengangkut orang, tetapi juga kendaraan mulai dari sepeda motor hingga truk.

Tidak banyak ekspektasi saya mengingat biaya tiket kapal yang sangat murah (sudah termasuk dua kali makan). Apalagi jika tanpa makan hanya selisih dua puluh ribu rupiah, yaitu Rp87.000. Jika menurut jadwal, kapal akan berangkat jam 1 siang. Tetapi nyatanya kapal berangkat kurang lebih pukul 15.00 WIB. Ya, sudah biasa juga sih apa-apa molor kalau di Indonesia. Eh.

Mengintip fasilitas di Kapal Legundi

Kursi di Dalam Kapal Legundi

Kursi di Dalam Kapal Legundi/Melynda Dwi Puspita

Saya sempat terheran saat melihat karcis kapal. Saya kira saya akan mendapatkan nomor kursi yang tertulis pada karcis. Ternyata tidak seperti moda transportasi lainnya, penumpang dibebaskan untuk duduk dimana saja. Ya, bebas, mau di depan, di belakang atau di atas dek kapal juga boleh. Asalkan tidak di ruangan nahkoda. Karena saat itu saya bersepuluh dengan teman-teman yang lain. Akhirnya kami memutuskan untuk memilih tempat duduk lesehan, tanpa kursi.

Terombang-ambing di tengah lautan pasti orang berpikiran akan terserang teriknya sinar matahari. Jangan khawatir, Kapal Legundi sudah full AC. Jadi jangan takut nanti akan kepanasan. Malah yang saya rasakan adalah menggigil kedinginan karena AC yang non stop.

Jika sebelumnya saya membayangkan akan bosan karena berjam-jam di dalam kapal. Ternyata naik kapal malah bikin nagih loh. Ada TV besar, berasa sedang di bioskop tapi kita nggak bisa memilih film kesukaan untuk ditonton. Semua penumpang akan menonton film yang sama sebagai satu-satunya hiburan tersedia. Kadangkala lagu dangdut yang berdendang. 

Ada tradisi unik yang saya perhatikan di Kapal Legundi. Saat layar TV akan dinyalakan untuk menyetel film ataupun lagu dangdut. Operator akan mengucapkan “Selamat Pagi/Siang/Sore” sebagai salam. Namun saat memasuki waktu sholat, operator akan mengucapkan “Assalamu’alaikum”. Hal inilah yang sempat saya dan teman-teman tertawai bersama. 

“Operatornya bisa menyesuaikan situasi dan kondisi, bisa religius, bisa formal”, kata teman saya.

Untuk teman-teman muslim, tidak perlu khawatir saat menunaikan ibadah sholat lima waktu di Kapal Legundi karena tersedia mushola yang cukup luas. Uniknya, arah kiblat setiap waktu sholat akan berubah menyesuaikan saat kapal berubah arah. Air pun mengalir sampai jauh seperti pipa ruci dan tidak berasa asin. Jadi, kita bisa mandi kapan saja.

Kapal Legundi

Kapal Legundi/Melynda Dwi Puspita

Ada satu penyesalan yang saya rasakan saat naik Kapal Legundi yaitu tidak membawa makanan cukup. Meski sudah mendapatkan dua kali makan dalam sehari, tapi wajib banget membawa makanan awet seperti sambal goreng, tempe kering dan sejenisnya.

Camilan dan persediaan air mineral juga tak boleh ketinggalan mengingat suhu di dalam kapal dingin dan perjalanan berlangsung berjam-jam. Perlu diingat kalau di tengah laut tidak ada minimarket, adanya hanya kantin yang menjual minuman dan makanan ringan seperti bakso. Itupun harganya cukup mahal. Teman saya terpaksa menukarkan uang sebesar Rp10.000 dengan sebotol air mineral 500 ml saking inginnya minum air dingin.

Kalau ditanya apakah naik kapal laut akan terasa goyang terkena ombak dan bikin mabuk laut? Jawabannya ialah tergantung besarnya kapal, kondisi fisik penumpang dan besarnya gelombang laut. Kalau saya dulu sih tidak merasakan hantaman gelombang. Namun saat malam hari dan fajar, kapal mulai terasa goyang. Dan lumayan membuat pusing, walaupun tidak terlalu.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan, saya juga sempat foto-foto di atas dek kapal. Saat sunrise dan sunset menjadi momen yang diburu semua penumpang untuk mendapatkan foto dengan latar matahari.

Tidak banyak yang saya dan teman-teman lakukan di dalam Kapal Legundi selain sebentar-sebentar melihat jam dan menunggu waktu kapan kapal akan sampai.

Setelah menempuh lebih dari 24 jam perjalanan, Legundi akhirnya berlabuh di Pelabuhan Lembar, Lombok.

Saatnya bertualang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Melynda Dwi Puspita adalah sebutir pasir pantai asal Probolinggo, Jawa Timur.

You may also like

Leave a Comment