Sepenggal Kisah tentang Komodo dan Ata Modo

Sekitar setahun lalu, sebelum isu pembangunan “Jurassic Park” di Pulau Rinca yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo itu diperbincangkan publik, saya baca buku Pulau Komodo Tanah, Rakyat, dan Bahasanya yang ditulis seorang antropolog bernama J.A.J. Verheijen. Melalui buku lawas terbitan 1987 dengan judul asli Komodo: Her eiland, her volk en de taal (pdf) itu saya jadi tahu soal komodo yang lebih dari sekadar primadona objek pariwisata, juga soal ata Modo, penduduk Komodo, minoritas yang mungkin kian terpinggirkan bila berbagai cottage dan aneka bangunan lain dalam kerangka “Jurassic Park” terealisasi.

Sejarah, bahasa, perkawinan, teka teki, cerita, dan berbagai aspek budaya lain soal ata Modo dibahas cukup lengkap dalam buku yang versi digitalnya dapat diunduh gratis melalui situs Kemdikbud ini. Ada pula paparan terkait hubungan mereka dengan komodo, makhluk yang punya banyak alias itu—ora, hora, lawora, dan nggora.

Ada satu cerita yang tertulis menarik, yakni Ndadi-Ne Kiling Modo atau Terjadinya Desa Komodo. Alkisah, dulu masyarakat setempat tidak mengetahui cara perempuan melahirkan. Mereka hanya tahu bahwa saat perut perempuan sudah membesar perut itu dibelah dan sang perempuan meninggal dunia. Suatu ketika, lahir dua anak, yaitu ora (komodo/Varanus) dan manusia. Anak manusia dirawat oleh keluarga, sedangkan ora tidak. Ora yang diberi nama Si Sebelah itu pun akhirnya pergi ke hutan.

Rumah panggung di permukiman penduduk Kampung Komodo, Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maret 2003 via TEMPO/Agus Hidayat

Kisah serupa soal lahirnya anak kembar juga pernah saya dapat setelah membaca folklor lain terkait komodo. Putri Naga dan pemuda asal pulau seberang menikah. Mereka lantas memiliki anak kembar. Namun, salah satu anak mereka berwujud seperti kadal dan akhirnya disebut ora. Ia pun terasing di hutan. Singkatnya, terdapat larangan menyakiti ora.

Kedua cerita yang saya baca dalam waktu berbeda itu punya inti yang sama: komodo adalah saudara. Dan anggapan itu terus ada hingga sekarang bagi masyarakat setempat.

Masyarakat Modo sudah ada jauh sebelum wacana “Jurassic Park” muncul

Dalam bagian Pendahuluan buku disebut bahwa sejak penemuan kadal raksasa tahun 1912, sejumlah sarjana dan beberapa ratus wisatawan tertarik ke Pulau Komodo. Pulau pun kian mudah dijamah orang dan dikhawatirkan bahasa serta budaya masyarakat akan [luntur] akibat pergolakan yang mendadak. Adalah keinginan mempelajari bahasa—yang lalu berkembang ke hal—yang membawa J.A.J. Verheijen mendaratkan kaki di pulau kecil itu.

Fokus awal membedah bahasa membuat buku bersampul cokelat ini didominasi bahasan terkait hal tersebut. Antropolog itu bahkan membedah soal bunyi dan lafal dalam bahasa Komodo, kalimat preposisional, sampai mitos tentang bahasa yang ada. Lebih lanjut, masyarakat lokal pun diceritakan secara lengkap, termasuk soal mitologis-sejarah, kegiatan perikanan dan pertanian, kebiasaan dalam makanan, perkawinan, agama, lagu, dll.

Warga di Pulau Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, 9 Juli 2011 via TEMPO/Rully Kesuma

Berdasar informasi dalam buku, pada zaman Neolitikum agaknya Komodo memang sudah didiami manusia. Hal itu mengacu pada cerita “Mori Manggarai” yang mengisahkan perjalanan “Tuanku Manggai”. Ia menjadi raja Bima setelah menempuh perjalanan melalui Warloka, Rinca, Komodo, dan Dongga. Hal itu pun diperkuat dengan perkiraan lewat berbagai penyelidikan nama-nama geografis dan penggalian ilmiah lain. Misalnya, di Warloka ditemukan kuburan yang kaya keramik. Ditambah penemuan kuburan-kuburan di sebuah pulau kecil dalam Selat Molo dan di daratan Rinca, [dugaan] adanya hubungan antara Warloka dan Komodo pun kian kuat.

Beranjak ke akhir buku, terdapat renungan yang menarik dan mungkin masih relevan sampai saat ini:

“Pulau Komodo dibuka untuk pariwisata, maka amatlah dikhawatirkan bahwa pemburu wisatawan, dan pedagang akan berusaha menembus ke dalam masyarakat. Mungkin pengaruh yang lebih besar lagi atas bahasa dan kebudayaan akan datang dari sejumlah manusia yang dari segi intelektual, ekonomi, dan sosial, merupakan kelompok yang lebih tinggi tarafnya…

Ada bahaya bahwa pertanian, perikanan, pengumpulan di pantai dan di darat, serta kebebasan gerak penduduk pada umumnya akan lebih dibatasi lagi. Dengan demikian hancurlah hak mereka atas karya, tradisi, dan lingkungan hidup bebas. Kecintaan saya terhadap tumbuhan dan hewan cukup besar, tetapi kepentingan manusia harus didahulukan. Namun kesan saya ialah bahwa instansi tertinggi kepariwisataan bermaksud mempertahankan hak-hak penduduk Komodo.”

Membaca renungan tersebut membuat saya bertanya-tanya, apakah pemerintah Indonesia, khususnya Kemenparekraf, memang bermaksud akan mempertahankan hak-hak penduduk Komodo dalam pembangunan “Jurassic Park” ataukah hanya memuaskan para investor semata yang mungkin asing bagi ata Modo?

1 comment

Boleh Genjot Pariwisata, Tapi Jangan Abai Konservasi - TelusuRI 12/Desember/2020 - 6:44 pm

[…] Salah satunya yaitu proyek pembangunan infrastruktur untuk mendukung berdirinya Jurassic Park di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara […]

Reply

Tinggalkan Komentar