Wabah ini ibarat sebuah pukulan kombinasi; aku dihantam beban kuliah jarak jauh sekaligus mesti menunda merealisasikan petualangan mengelilingi nusantara.
Era digital sekarang memang memungkinkan kita melihat dunia dari dalam ruangan, lewat ponsel pintar. Bisa saja aku bertualang lewat Google Maps. Hanya saja, secanggih apa pun teknologi sekarang, belum ada gawai yang benar-benar bisa mendigitasi perasaan, emosi, dan kondisi batin yang dialami seorang pejalan ketika bertualang.
Maka, bersabar dan menunggu barangkali adalah pilihan yang bijaksana.
Sementara menunggu, aku mau cerita saja soal tempat keluarga besarku berada, yakni Kabupaten Buleleng, Bali.
Dari Jakarta—tanah perantauanku untuk menimba ilmu—bisa naik kereta terlebih dahulu ke Surabaya, kemudian sambung dengan kereta sekali lagi ke Banyuwangi, lalu menyeberang dari Pelabuhan Ketapang ke Gilimanuk. Dari Gilimanuk, tinggal naik angkot merah ke arah Seririt. Sepanjang perjalanan, kita bisa sekalian melihat kehidupan di kota-kota yang dilewati. Kulineran? Bisa coba sate klopo dan lotong balap di Kota Pahlawan, Surabaya, atau mampir ke Rawon Bu Atik di Banyuwangi. Seorang berjiwa petualang pasti akan menikmati perjalanan estafet dari Jakarta ke Buleleng.
Namun, aku tak bisa melakukan perjalanan seperti itu, sebab orangtua hanya mengizinkanku demikan jika ditemani kawan. Masalahnya, tak ada kawan sekampus yang mau ikut aku estafet begitu. Jadilah aku lebih sering naik pesawat, yang durasi perjalanannya sebentar tapi menurutku sangat membosankan.
Rasa-rasanya aku takkan pernah bosan dengan Buleleng. Suasana di kabupaten ini tidak terlalu ramai, tak seperti daerah selatan Pulau Bali. Yang membuat daerah ini hidup adalah aktivitas perdagangan dan pendidikan. Sampai sekarang kota Singaraja, pusat Kabupaten Buleleng, masih tenar sebagai sebuah kota pelajar. Dan masih banyak yang belum terceritakan dari Buleleng.
Pagi hari di Buleleng dingin. Namun udaranya sangat segar. Pagi-pagi aku akan jalan kaki lewat hamparan sawah menuju pasar untuk sarapan. (Selalu kusempatkan mencuci muka dan mencelupkan kaki di saluran irigasi yang bening dan bersih. Ini tentu saja tak bisa kulakukan di perantauan.) Biasanya yang kucari adalah lupis, serabi kuah, nasi kuning, dan beberapa makanan lain yang namanya kulupa.
Siang hari biasanya aku akan di rumah saja, sebab cuaca cukup panas. Jika tak ada yang perlu dikerjakan, aku tidur siang. Tapi biasanya ada saja yang perlu dikerjakan, misalnya belanja kebutuhan ke warung atau Pasar Seririt. Siang di Pasar Seririt cukup lengang, tapi tempat ini sebenarnya semacam jantung yang membuat kehidupan di Buleleng berdenyut. Semuanya ada di sana, mulai dari kebutuhan pokok, keperluan ibadah, aneka kuliner, dan lain-lain. Sayangnya, beberapa tahun yang lalu pasar ini sempat kebakaran. Akibatnya, beberapa pedagang [sempat] terpaksa pindah tempat berjualan.
Hal menarik lain dari Buleleng adalah sore harinya. Aku biasanya menikmati sore di Pantai Lokapaksa yang kebetulan dekat dari rumah. Pantai bagiku ibarat obat, memberi sugesti agar menjadi lebih percaya diri dan berpikir positif, penawar ketika keadaan seperti tak adil bagiku. Alam memang punya caranya sendiri untuk menghibur manusia.
Selain rasa syukur, pantai juga membuatku belajar rendah hati. Dari pinggir laut, dunia tampak begitu luas, ditopang oleh langit biru yang menjualang ke atas. Seorang manusia di alam luas ini hanya seperti sebutir pasir di pantai yang menghampar. Aku jadi ingat kata-kata mutiara filosofis dari guru SMP-ku yang kira-kira begini bunyinya: “Jangan lupa sama Yang Di Atas karena masih ada awan di atas awan—dan terlebih Sang Penguasa yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jangan lupa apa yang ada di samping karena manusia tidak akan bisa hidup sendiri. Jangan lupa sama yang di bawah, bersyukurlah, sebab kita tak ubahnya seperti butiran pasir.”
Sebenarnya selain Lokapaksa, ada banyak pantai lain di pesisir utara Bali, salah satunya Pantai Lovina. Sekilas, pantai itu sebenarnya sama saja dengan yang lainnya. Tapi, karena Lovina sudah telanjur terkenal, pantai itu kadang lebih ramai. Banyak restoran, kafe, dan lapak makanan di sana. Yang menarik perhatian dari Lovina adalah bekas dermaga yang fotonya saya sertakan dalam tulisan ini.
Kuingat satu waktu aku melihat matahari hampir tenggelam bersama kawan masa kecil yang sudah lama pindah dari dekat rumahku. Kami sengaja meluangkan waktu untuk bertemu dan bertukar cerita, sambil menikmati sate ayam dan air mineral. Porsinya sedikit saja, sekadar jadi pengganjal. Lucunya, aku begitu terkesima melihat pemandangan sampai-sampai lupa dengan perut yang masih merengek untuk diisi.
Demikianlah. Buleleng selalu meninggalkan kesan tersendiri bagiku yang sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di perantauan, di wilayah Jabodetabek. Sebenanya masih banyak lagi yang ingin kuceritakan soal Buleleng. Mungkin di lain kesempatan aku bisa menuliskannya lagi, supaya ceritanya tidak hilang ditelan waktu, sembari bersabar menunggu pandemi usai.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
3 komentar
Keren broo, jadi pengin ke bali
Yg lain pada study tour ke bali, yg bali study tour kemana ya haha
corona selesai, buleleng jadi destinasi wisata utama dehhh