Teh adalah salah satu minuman yang paling banyak dikonsumsi masyarakat di dunia, begitu juga di Indonesia. Hampir di setiap warung makan dan restoran tersedia minuman satu ini. Begitulah, minum (es) teh telah dianggap sebagai kebiasaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Teh berasal dari China. Di sana minuman ini telah dikonsumsi selama ribuan tahun, sebelum sekitar abad ke-16 dibawa ke Eropa dan menjadi populer sehingga Portugis dan Belanda mendirikan perkebunan teh skala besar di daerah jajahan beriklim tropis.

Kebetulan sekali, akhir pekan lalu TelusuRI mengadakan Sekolah TelusuRI Semarang #8: “Kelas Kenal Teh bersama WIKITI.” WIKITI ini adalah platform dari Koperasi Edukarya Negeri Lestari (KEN8) yang menjadi wadah untuk kamu belajar tentang teh. Karena Galeri Wisata dapat undangan dari TelusuRI, juga karena kebetulan saya memang suka minum es teh, jadilah saya ikut acara ini.

Perlengkapan minum teh/Deta Widyananda

Setelah mengikuti Kelas Kenal Teh, baru saya tahu kalau ternyata banyak sekali yang bisa dibahas soal teh, mulai dari sejarah, jenis pohon teh, jenis teh itu sendiri, pengolahan, hingga cara menyeduh teh dengan benar sekaligus belajar soal alat-alat seduhnya.

Acara dibuka dengan kenalan satu sama lain, dipandu sama yang punya gawe, Mauren Fitri dari TelusuRI. Lalu acara diteruskan dengan sesi “Kenal Teh” yang dibawakan oleh Mas Tauhid Aminullah dari WIKITI.

“Kalau kopi, di antara kalian mungkin sudah banyak yang memahami. Nah, hari ini kita akan berkenalan lebih dalam dengan teh,” ujar Mas Tauhid membuka sesinya.

Agama teh

Saya baru tahu bahwa ternyata ada agama teh! Jadi, di abad ke-6 SM di China ada dua agama yang berkembang, yakni Taoisme dan Konfusianisme.

Nah, kedua agama ini menyebut teh, yang dimanfaatkan sebagai medium penyembuhan, sebagai minuman keabadian. Tak hanya itu, para biksu Taois menggunakan teh sebagai sarana utama yang membantu untuk berkonsentrasi saat meditasi. Di era selanjutnya, Taoisme berakulturasi dengan agama Buddha menjadi Zen, agama yang kali pertama memperkenalkan tata cara ibadah teh.

Mas Tauhid memeragakan cara menyeduh teh/Deta Widyananda

Perjalanan teh dari Dinasti Tang hingga era kolonial

Saya sempat kaget ketika tahu ternyata pohon teh zaman dulu tinggi-tinggi. Ya, seperti pohon pada umumnya yang bisa mencapai tinggi belasan meter. Konon, untuk memudahkan pemetikan, pohon teh kemudian “dimodifikasi” menjadi pendek atau bonsai.

“Evolusi minum teh di China bergulir dalam tiga tahap: direbus, dikocok, dan diseduh. Hal itu menggambarkan tiga era dinasti, yakni Tang, Song, dan Ming,” jelas Mas Tauhid.

Zaman Dinasti Tang diyakini sebagai masa awal mula teh dikonsumsi. Pada zaman ini, daun teh masih diolah dengan cara-cara sederhana, misalnya langsung merebus daun teh segar. Metode pengolahan teh terus berkembang pada zaman Dinasti Song, Yuan, dan Ming, hingga akhirnya teh tiba di Jepang, India, dan ke Eropa. Pada masanya, teh dibawa oleh VOC ke Indonesia sampai akhirnya saat ini kita mengenal teh sebagai minuman seduh.

Beberapa jenis teh yang dicoba saat Kelas Kenal teh/Deta Widyananda

Teh zaman sekarang dan varietasnya

Pohon-pohon teh sekarang ukurannya pendek, tidak lebih dari satu setengah meter, supaya proses pemanenan daun lebih mudah dan cepat. Pun, banyak jenis produk teh bermunculan, mulai dari yang merakyat sampai yang kelas supermarket, dari yang bentuknya masih daun teh kering sampai yang sudah jadi teh celup.

Di Indonesia, teh bisa dipanen 25 kali dalam setahun, bahkan bisa lebih. Ini karena curah hujan di Indonesia cukup tinggi sehingga pertumbuhan pohon teh tergolong cepat. Selain secara manual, pemanenan dauh teh juga sudah mulai memanfaatkan mesin.

Daun teh ternyata juga punya varietas, Camellia sinensis dan Camellia sinensis var. assamica. Daun teh sinensis ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan daun teh varietas assamica, lebih kaku, dan warnanya juga lebih terang. Sedangkan varietas assamica punya daun lebih lonjong dan warna yang lebih mengilap. Assamica pun bisa dipanen lebih cepat daripada sinensis karena perkembangan pertumbuhannya juga lebih lebih cepat.

Menuangkan teh ke gelas/Deta Widyananda

Jenis teh yang diseduh di Kelas Kenal Teh

Sebagai pembuka, saya dan peserta lain disuguhi teh matcha yang diseduh dengan air dingin karena sudah berupa bubuk. Ini berbeda dari teh-teh yang kami seduh kemudian, yang masih berbentuk daun teh kering. Rasanya—hmmm—agak pahit karena memang diminum tanpa gula.

Ada pula teh pu-erh yang berasal dari Yunnan, China. Sebagai teh tua yang disimpan selama 15 tahun, pu-erh punya cita rasa sangat khas. Aromanya seperti tanah basah saat hujan. Menariknya, harga pu-erh mencapai Rp3 juta per kilogram.

Meminum teh/Deta Widyananda

Kami juga mencoba teh putih (white tea) yang warnanya tidak mencolok, yang warnanya lebih mirip air putih dengan sentuhan kuning tipis. Rasanya ringan, tak terlalu pahit dan juga tak terlalu sepet. Kami juga sempat mencoba salah satu varian teh putih, Bai Mu Dan (White Peony) yang ditanam di Pacet, Jawa Tengah. Bentuknya tidak seperti teh putih kebanyakan, melainkan seperti versi lebih kecil dari daun teh pada umumnya.

Selain itu, kami juga diajak mencicipi green tea (yang kadang disebut ocha), Java green (dari kembang langit, Jawa Tengah), Java Souchong (teh merah dengan rasa khas), smoked oolong (dengan aroma seperi kayu dibakar), Baozhong oolong (flower tea atau spring tea), Matcha Iri Genmaicha (teh gurih yang dicampur dengan beras merah sangrai), Earl Grey, masala chai, sampai jasmine tea (teh melati). (Kamu sebaiknya perlu tahu bahwa teh melati bukanlah teh yang dicampur dengan melati, melainkan dibuat dengan metode pengasapan menggunakan bunga melati sebagai bahan utama.)

Intinya, sih, Kelas Kenal Teh yang berdurasi sekitar 3,5 jam ini masih kurang untuk mempelajari segala jenis teh. Semoga akan ada kelas lagi!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar