Nonton 3 Film Pendek dalam Semalam di Ruang Mes 56

Saya pikir saya nyasar.

Untung saja ada dua orang muda-mudi yang kebetulan lewat naik motor saat saya sudah balik arah. Kepada mereka saya coba tanya lokasi Ruang Mes 56. Ternyata jalan yang saya ambil tidak salah. Tempat yang tadi saya kira kos-kosan itulah ternyata Ruang Mes 56.

Malam sebelumnya, saya dapat info soal Ruang Mes 56 dari kenalan baru, seniman lulusan ISI. Solar namanya. Ia menggelar pameran di Kedai Kebun dan kami mengobrol banyak. Di sela-sela obrolan tentang pamerannya, saya diam-diam curhat soal keinginan untuk mempir ke berbagai ruang alternatif di Jogja. Tersebutlah nama Ruang Mes 56. Letaknya di Jalan Mangkuyudan No. 53A.

ruang mes 56
Ruang Mes 56 yang tampak seperti kos-kosan/Dewi Rachmanita Syiam

Gobi, teman saya yang juga lulusan ISI, sempat bercerita sedikit soal sejarah Ruang Mes 56. Katanya ruang itu memang aslinya kos-kosan yang disulap sedemikian rupa jadi ruang alternatif berbagai disiplin seni, mulai dari fotografi (plus ruang gelapnya) sampai videografi (dengan bioskop mininya).

Ruang Mes 56 ini “sarangnya” anak-anak ISI, khususnya mereka yang kuliah di jurusan fotografi. Setelah lama kumpul-kumpul dan beberapa kali pindah lokasi, jadilah Ruang Mes 56 seperti yang bisa dilihat sekarang. Dan kini mereka sudah dapat dukungan khusus dari Bekraf.

Beruntung saya malam itu ada program berjudul “Pendek dan Kekar” yang memutar beberapa film pendek secara gratis selama bulan Juni. Dari selebaran dan obrolan dengan beberapa orang di Ruang Mes 56, film pendek dipilih lantaran dianggap impresif. Tensinya pun ditata sedemikian rupa dalam durasi yang pendek. Selain itu, setiap film pendek juga merepresentasikan sesuatu lewat kekhasan cara bertutur, ide, dan sudut pandang tentang peristiwa dan latarnya, termasuk Jogja.

Nonton 3 film pendek selama sekitar 90 menit

Malam itu jadwalnya tiga film yang akan diputar—Happy Family, Kembalilah dengan Tenang, dan Loz Jogjakartoz. Masing-masing berdurasi 24, 25, dan 29 menit.

ruang mes 56
Buku program “Pendek dan Kekar”/Dewi Rachmanita Syiam

Sebelum menonton, saya perlu menulis data diri singkat di secarik kertas, begitu juga belasan anak muda Jogja dan dua warga negara asing yang malam itu ikut menonton. Lalu, menjelang film diputar, terdengar suara pemberitahuan khas dari corong pengeras agar penonton segera masuk bioskop mini.

Bioskop itu benar-benar mini. Supermini malah. Hanya ada 10 kursi santai yang malam itu akhirnya disesaki 12 orang. Jarak kursi dengan layar pun tak seberapa jauh. Secara otomatis, saya membandingkan ruangan itu dengan beberapa bioskop alternatif di daerah lain yang pernah saya kunjungi; Ruang Mes 56 memang paling mini.

Lalu, bergiliran film-film diputar.

Film pertama, Happy Family bercerita soal seorang ayah mencari anaknya yang pergi ke Yogyakarta. Modal yang ia punya untuk mencari anaknya hanya alamat dari agen penyalur tenaga kerja. (Sejak awal film saya sebenarnya sudah agak heran mendapati bahwa frame film itu agak gepeng. Tapi saya tahan saja untuk tidak berkomentar. Mungkin memang seperti itu konsep filmnya, pikir saya. Namun, ketika belakangan saya berkesempatan mengobrol dengan Eden Junjung, sang sutradara, menurutnya bingkai film itu aslinya tidak gepeng.)

ruang mes 56
Rangkaian acara menonton film-film pendek di “Pendek dan Kekar”/Dewi Rachmanita Syiam

Kembalilah dengan Tenang jadi film kedua. Ceritanya soal gambaran krisis lahan pemakaman di Jogja. Apik. Ini jadi favorit saya. Sayang, film berjalan tanpa terjemahan bahasa Indonesia, apalagi Inggris. Alhasil, dua bule yang duduk di deret depan pun tampak bingung tengok sana-sini lantaran tak paham bahasa Jawa yang digunakan para pemain.

Film terakhir Loz Jogjakartoz punya nuansa warna yang berbeda dari dua film sebelumnya. Lebih warna-warni dan kontras. Kisahnya tentang sebuah burung mahal yang diperebutkan banyak orang dan malah membawa pemiliknya tersandung banyak permasalahan.

Selama nonton sekitar 90 menit itu, saya duduk di deret kedua. Berdempetan dengan para anak muda Jogja lain yang haus tontonan underground. Saya sempat mengobrol dengan beberapa dari mereka. Ujung-ujungnya saya malah dapat rekomendasi ruang-ruang alternatif lain di Jogja. Mereka ternyata seperti Solar yang merasa Jogja butuh ruang-ruang alternatif yang mewadahi berbagai disiplin seni.

Mungkin nanti saat ke Jogja lagi perburuan ruang alternatif akan kembali saya lanjutkan. Untuk sementara waktu, saya mesti tahan keinginan tersebut sebab saya mesti berkemas untuk melancong ke Kebumen.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar