TelusuRI https://telusuri.id/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 27 Jun 2025 07:55:03 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 TelusuRI https://telusuri.id/ 32 32 135956295 Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor https://telusuri.id/dari-kopi-hingga-tradisi-mengenal-perhutanan-sosial-di-kampung-kampung-bogor/ https://telusuri.id/dari-kopi-hingga-tradisi-mengenal-perhutanan-sosial-di-kampung-kampung-bogor/#respond Fri, 27 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47558 Hari itu, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara ayam kampung membelah pagi di kaki Gunung Salak. Seorang mahasiswa dari Singapura tampak berhenti sejenak, menatap sawah yang menghampar di hadapannya. Di tangannya, sebilah daun...

The post Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari itu, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara ayam kampung membelah pagi di kaki Gunung Salak. Seorang mahasiswa dari Singapura tampak berhenti sejenak, menatap sawah yang menghampar di hadapannya. Di tangannya, sebilah daun singkong sebentar lagi akan diubah menjadi wayang. Di sekelilingnya, tawa orang-orang di kampung bersahut-sahutan, bercampur aroma bandrek yang mengepul dari dapur kayu di pendopo kampung adat.

Bagi sebagian orang, belajar mungkin identik dengan ruang kelas, layar presentasi, atau tumpukan buku. Tapi bagi mereka yang ikut dalam perjalanan ini, belajar justru dimulai saat kaki menjejak tanah, saat tangan kotor oleh lumpur sawah, saat cerita-cerita dari warga desa menyelinap perlahan ke dalam kesadaran, mengubah cara pandang tentang hutan, pangan, dan hidup itu sendiri.

Inilah yang disebut experiential learning, sebuah pendekatan belajar yang tumbuh dari pengalaman langsung. Bukan sekadar mendengar teori, tapi turut mengalami dan merasakan napas kehidupan masyarakat yang menggantungkan harap pada hutan dan tanah. Di kawasan social forestry (perhutanan sosial atau sosial forestri), proses belajar menjadi sesuatu yang hidup, konkret, dan bermakna.

Perhutanan sosial di Indonesia bukan hal baru. Di banyak kampung, hubungan masyarakat dengan hutan telah berlangsung jauh sebelum istilah itu diperkenalkan. Hutan bukan hanya sumber kayu atau hasil kebun, melainkan juga ruang spiritual, warisan nenek moyang, dan pondasi ekonomi keluarga. Di sinilah nilai-nilai kemandirian, gotong royong, dan keberlanjutan dijalankan hari demi hari, dalam diam namun penuh kekuatan.

Selama tiga hari, mahasiswa dari Singapore University of Social Sciences (SUSS) diajak menyelami kehidupan di tiga kampung perhutanan sosial di Bogor. Mereka belajar tentang agroforestri kopi, ikut menanam padi, memasak dengan alat tradisional, bahkan mencicipi kopi hasil kebun rakyat yang ditanam tanpa pupuk kimia. Di balik setiap aktivitas itu, tersimpan pelajaran tentang relasi manusia dengan alam relasi yang dibangun bukan dengan dominasi, tapi dengan saling jaga.

Dan dari sana, kita mulai memahami: bahwa pendidikan sejati tak selalu lahir dari papan tulis atau sertifikat, tapi dari pertemuan. Pertemuan antara rasa ingin tahu dan kearifan lokal, antara pemuda dan petani, antara generasi yang datang dan pengetahuan yang diwariskan. Semua dimulai dari keberanian untuk pergi, mendengar, dan mengalami.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Mahasiswa membuat wayang dari daun singkong sebagai bagian dari pengenalan nilai budaya Sunda (14/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Pertama: Menyulam Tradisi di Sindangbarang

Perjalanan dimulai dari Kampung Budaya Sindangbarang, Tamansari, kampung adat tertua di Bogor yang masih menjaga kuat warisan budaya Sunda. Para mahasiswa disambut dengan alunan musik Angklung Gubrag dan segelas bandrek hangat, seolah mengantar mereka masuk ke dimensi waktu yang berbeda.

Di sini, mereka tak hanya belajar tentang filosofi hidup masyarakat Sunda, seperti Tri Tangtu di Buana yang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur, tapi juga ikut ambil bagian dalam aktivitas budaya sehari-hari: menumbuk padi dengan lesung, membuat wayang dari daun singkong, memasak nasi dalam aseupan, dan menanam padi di sawah secara gotong royong.

Ritual Marak Lauk, tradisi syukuran atas hasil bumi dan air menjadi puncak dari hari itu. Kegiatan ditutup dengan permainan rakyat seperti rengkong dan parebut seeng, yang menyiratkan makna kebersamaan dan kerja kolektif.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Mahasiswa mencicipi hasil kebun seperti pisang dan kelapa di area agroforestri Patani Coffee, Leuwiliang (15/62025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Kedua: Mengenal Kebun Rakyat di Leuwiliang

Keesokan harinya, peserta beranjak ke Patani Coffee di Leuwiliang, kebun kopi rakyat seluas 4,5 hektare yang dikelola dengan pendekatan agroforestri. Di bawah rindangnya pohon pelindung, mahasiswa menyusuri kebun yang tak hanya ditanami kopi, tapi juga pisang, singkong, kelapa, dan berbagai tanaman pangan lainnya—semuanya dikelola tanpa pupuk kimia.

Mereka ikut memberi pakan kambing, mengenal tanaman tumpangsari, hingga menyimak cerita petani tentang bagaimana kebun menjadi penyangga pangan keluarga saat harga kopi turun. Tak hanya itu, mahasiswa diajak melihat langsung proses pascapanen kopi: dari penyortiran biji, penjemuran, hingga menyeduh kopi dengan metode bamboo drip dan kopi tarik.

“Kopi ini bukan hanya soal rasa. Ini tentang bagaimana kami bertahan,” ujar Pak Arifin, penggagas Kopi Patani.

Mahasiswa mengamati demplot kopi (kiri) dan wisata edukatif di Cibulao, kawasan hulu Puncak (16/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Ketiga: Melihat Harapan Baru dari Cibulao

Hari terakhir berlangsung di Cibulao, kampung kecil yang terletak di tengah kawasan hutan lindung Puncak. Dulu, desa ini nyaris terisolasi, terimpit di antara lahan HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan teh, dan sebagian besar warganya menggantungkan hidup sebagai buruh harian. Kini, wajah Cibulao perlahan berubah.

Melalui skema perhutanan sosial, warga membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) dan mengembangkan agroforestri kopi sebagai bentuk diversifikasi mata pencaharian. Tak hanya mengurangi ketergantungan pada pekerjaan buruh, inisiatif ini juga memulihkan hutan yang dulunya rusak dan gundul.

Para mahasiswa ikut menanam pohon di lahan kritis, menyusuri jalur agroforestri, mencicipi kopi Cibulao yang telah memenangkan kontes kopi nasional, hingga belajar tentang pengembangan wisata edukatif berbasis komunitas. Di akhir kunjungan, mereka mengikuti sesi cupping, mencicipi kopi hasil panen petani yang diolah secara mandiri.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Kegiatan penanaman pohon di lahan konservasi Cibulao sebagai bentuk kontribusi peserta terhadap keberlanjutan (16/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Social Forestry, Ruang Belajar dan Harapan Masa Depan

Program ini merupakan bagian dari Akademi Sosial Forestri, inisiatif Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) untuk memperkuat transfer pengetahuan lintas generasi dan membangun empati ekologis di kalangan muda. Melalui pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman, sosial forestri atau perhutanan sosial tak lagi dipahami sekadar sebagai kebijakan, melainkan sebagai cara hidup yang konkret, adaptif, dan penuh makna.

Di tengah ancaman krisis iklim dan ketimpangan sosial, perhutanan sosial hadir sebagai jalan tengah yang menjawab kebutuhan ekologis sekaligus sosial. Ia merawat hutan sambil merawat kehidupan. Dan generasi muda seperti para mahasiswa ini adalah bagian penting dari masa depan itu. Mereka bukan hanya pengamat, melainkan juga pelaku yang bisa menjaga, meneruskan, dan menyuarakan cerita-cerita dari akar rumput.

Sebab, seringkali belajar yang paling membekas bukan yang kita catat di buku, melainkan yang kita alami sendiri di tengah hutan, di ladang, di rumah-rumah sederhana yang menyambut kita dengan cerita dan secangkir kopi hangat.


Teks dan foto oleh Annisa Aliviani, koordinator komunikasi di Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-kopi-hingga-tradisi-mengenal-perhutanan-sosial-di-kampung-kampung-bogor/feed/ 0 47558
Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/ https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/#respond Thu, 26 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47548 Penjelajahan saya kali ini cukup mendadak tanpa direncanakan sebelumnya. Awalnya, kedua orang tua saya dan kakak mengajak mencari sarapan pagi di sebuah warung soto di Kecamatan Tulung, Klaten. Hingga soto dihidangkan dan kami mencari lauk...

The post Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
Penjelajahan saya kali ini cukup mendadak tanpa direncanakan sebelumnya. Awalnya, kedua orang tua saya dan kakak mengajak mencari sarapan pagi di sebuah warung soto di Kecamatan Tulung, Klaten. Hingga soto dihidangkan dan kami mencari lauk tempe, kedua orang tua saya tampak biasa-biasa saja. Tidak lama, ketika ibu akan membayar, tiba-tiba bapak merencanakan pergi ke lereng timur Gunung Merapi.

“Ayo jalan-jalan, ke Merapi sisi Klaten,” begitu ajakan bapak menggunakan bahasa Jawa. Kakak awalnya bingung, mau ke mana tepatnya. Ternyata bapak berinisiatif menikmati pemandangan alam Gunung Merapi dari Dukuh Girpasang, Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten. Setelah selesai membayar dan membungkus teh panas untuk perjalanan, kami pun segera beranjak ke Girpasang. 

Perjalanan kami tempuh sekitar sejam perjalanan dengan mobil. Menyusuri jalan provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, keluar di perempatan Pasar Ngupit ke arah barat melalui Jalan Jatinom –Boyolali menuju Dukuh Deles. Letak Girpasang di sisi utara Deles. Jalan ini juga yang menjadi jalan utama menuju Girpasang. 

Hanya saja, kami harus ekstra waspada karena berpapasan dengan truk pasir dari pertambangan pasir Kali Woro. Sepanjang jalan desa yang kami lalui, naungan pohon di tepi perkebunan setia menyambut dan menyegarkan mata. Meski begitu, sinyal internet yang kami gunakan membaca peta sering terputus saking lebatnya pepohonan. Kami pantang mundur dengan bertanya warga, jalan mana yang harus ditempuh hingga akhirnya kami tiba di Girpasang.

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Jembatan merah Girpasang yang tampak seperti Golden Gate bergaya art deco di Kota San Francisco/Ibnu Rustamadji

Jembatan Merah, Pintu Masuk Dukuh Girpasang

Sesampainya di gapura Dukuh Girpasang, tampak dua orang warga dengan ramah memberikan izin masuk dukuh dan menunjukkan jalan yang harus kami lalui. Geliat warung warga menjajakan sayur dan buah hasil panen dan lalu-lalang warganya sendiri turut memberikan estetika kehidupan Girpasang. Awalnya kami bingung letak dukuh ini, karena melalui peta digital ada di tengah aliran pertemuan dua sungai. 

Ternyata benar, Girpasang ada di atas bukit dan di tengah aliran pertemuan dua sungai: Woro dan Gendol. Saat sedang asyik mengabadikan panorama sekitar, tiba-tiba mata lensa membidik sesuatu dari kejauhan yang tampak seperti anak tangga menuju ke bawah bukit di sisi timur Girpasang. 

Dugaan saya, itulah jalan setapak asli penghubung Dukuh Girpasang dan Desa Tegalmulyo, yang dibenarkan salah satu warga yang kebetulan melintas dari perkebunan. Sejauh pengalaman hidupnya sebagai anak kampung setempat, ia sudah khatam melalui jalan tersebut. Ia menambahkan, jauh sebelum jembatan merah Girpasang dibangun, warga harus melalui ratusan anak tangga tanpa pengaman, naik turun bukit dan sungai jika akan keluar dukuh. 

Tidak ada jalan lain selain itu, ungkapnya. Jika mereka pulangnya terlalu malam, sudah biasa mereka bermalam di kediaman salah satu warga Tegalmulyo. Keduanya sudah saling mengenal dan memaklumi keadaan yang ada. Beberapa warga memiliki kendaraan bermotor kala itu, yang dititipkan di warga Tegalmulyo, lalu lanjut jalan kaki untuk kembali ke rumah. Begitu seterusnya.

Kiri: Gerbang masuk Dukuh Girpasang dan jalan beton sebagai akses satu-satunya di kampung. Kanan: Bentang alam di sekitar Girpasang dan tampak garis jalan setapak asli yang dulunya jadi jalan satu-satunya untuk mobilitas masyarakat Girpasang/Ibnu Rustamadji

Ia mengisahkan, ketika Gunung Merapi erupsi besar tahun 2010, kondisi Desa Tegalmulyo cukup mencekam. Tanpa aliran listrik, semalam warga menyaksikan erupsi besar dengan lahar pijar keluar dari kawah. Sebagian besar warga diungsikan ke pusat Kabupaten Klaten. Pemuda desa banyak yang menetap, menjaga lingkungan dan mengevakuasi warga Girpasang yang terisolasi.

Mencekam, panik, harus naik turun bukit Girpasang dibarengi lahar pijar yang tidak mereda, sudah ia alami. Apabila tidak memungkinkan evakuasi seluruh warga, maka hanya bisa menunggu waktu dan keadaan. Mereka harus susah payah melalui anak tangga sempit tanpa penerangan dan pengaman, menuruni sungai dan mendaki bukit.

Meski begitu, warga tidak menyalahkan alam dan aktivitas Gunung Merapi. Malahan mereka sampai saat ini lebih memilih menetap di Girpasang, hidup berdampingan dengan gunung berapi yang setiap saat bisa kembali erupsi. Mereka berprinsip jogo titahing leluhur nengendi sangkan paranning dumadi, yang artinya menjaga amanat leluhur turun-temurun, di manapun berada, suatu saat akan berhasil. Tak ayal, hanya beberapa warga yang masih setia hidup di Girpasang hingga saat ini.  

Begitu jembatan selesai dibangun, warga tidak lagi harus melalui anak tangga curam. Puas mengobrol, kami segera menyeberangi jembatan menuju Dukuh Girpasang. Sisi kanan sepanjang jembatan merupakan aliran sungai dan lembah, sisi kiri perbukitan puncak Gunung Merapi. 

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Mbah Padmo duduk santai sambil meracik rokok lintingan/Ibnu Rustamadji

Menjaga Amanat Leluhur, Hidup Berdampingan dengan Alam

Sugeng Rawuh ing Kampung Girpasang, begitu isi inskripsi gapura masuk Dukuh Girpasang. Uniknya, dukuh ini hanya memiliki satu jalan setapak yang terhubung dengan masing-masing rumah. Jika dihitung, jumlah rumah dari gapura hingga ujung barat dukuh tidak lebih dari 10 rumah. Saat asyik memotret, tiba-tiba muncul pria paruh baya dengan ramah menyilakan saya mengabadikan semuanya. 

Ia bernama Mbah Padmo, sesepuh dukuh, yang dengan senang hati bercerita pengalaman hidupnya tinggal di Girpasang. Menurutnya, munculnya Dukuh Girpasang tidak bisa dilepaskan dari jejak leluhur mereka, yakni Ki Trunosono, yang membuka alas (hutan) Girpasang pertama kali. Kediaman awal Ki Trunosono ada di dekat Goa Jepang di lembah kapuhan (hutan), di barat dukuh.

Mbah Padmo menambahkan, kala itu terjadi hujan deras yang menyebabkan tanah di sekitar kediaman Ki Trunosono longsor. Akibatnya, tanaman talas terbawa aliran hingga berhenti di Dukuh Girpasang saat ini, sedangkan longsoran tanah lain terbawa hingga Sungai Bengawan Solo. Sunan Pakubuwana IX, raja Keraton Surakarta selaku pemegang wilayah Klaten kala itu, lantas memberikan titah Ki Trunosono untuk tinggal dan membuka alas di lereng timur Merapi yang di sekitarnya ada temuan tanaman talas. 

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Rumah Mbah Padmo yang terletak di depan pendopo Dukuh Girpasang/Ibnu Rustamadji

Kondisi tanaman talas yang ditemukan masih utuh, begitu pun tanah di sekitarnya, meski lainnya hancur akibat longsor. Begitu hujan dan longsor mereda, Ki Trunosono dan istri memutuskan untuk tinggal di sekitarnya yang tidak terdampak longsor. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada catatan resmi kapan Ki Trunosono mulai menetap di Girpasang. Girpasang berasal dari kata “gligir” dan “sepasang”. Gligir artinya bukit yang diimpit dua aliran sungai, sedangkan sepasang merujuk keberadaan dua aliran sungai di bawah dukuh. 

Mbah Padmo mengungkapkan keinginannya menetap di Girpasang hingga akhir hayat untuk memenuhi titah leluhur. Alasannya, menjaga amanat leluhurnya, omahe pinggire jurang, papane sempit suk bakale rejo. Artinya, rumah di tepi sungai, wilayahnya sempit, suatu saat akan ramai. Ia menambahkan, mayoritas warga yang tinggal di sini adalah anak turun Ki Trunosono, sehingga mereka bersaudara satu sama lain. 

Keputusan unik bersama mereka adalah apabila salah seorang anak menikah, mereka harus hidup di luar Girpasang. Mereka kembali pada waktu-waktu tertentu, seperti upacara adat, atau hari raya untuk bersilaturahmi dengan orang tua. Selain itu, mereka juga melarang orang luar yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan salah satu warga, untuk mendirikan hunian di wilayah Dukuh Girpasang. 

Tak ayal, populasi Dukuh Girpasang hanya ada 30 orang di sekitar 10 rumah. Pekerjaan mayoritas warga adalah petani dan peternak. Sebab, kondisi geografis sejak dahulu adalah perkebunan, sehingga warga menggantungkan nasib atas hasil panen. Setiap tahun mereka juga menggelar upacara sedekah bumi yang telah beregenerasi.

Warga Girpasang layaknya warga desa umumnya. Hanya saja, mereka memiliki adat istiadat yang sedikit berbeda. Meski begitu, mereka tidak sungkan dengan kedatangan orang luar wilayah. Malah mereka mempersilakan berkunjung dan menikmati kehidupan sederhana mereka sebagai warga lereng tertinggi Gunung Merapi.  

Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi
Mendaki jalan setapak berupa ratusan anak tangga untuk kembali menuju Desa Tegalmulyo/Ibnu Rustamadji

Pulang Menapaki Ratusan Anak Tangga 

Sejam berlalu, kami lantas berpamitan dan beranjak turun menuju Desa Tegalmulyo. Namun, kami memilih jalan setapak asli Dukuh Girpasang yang harus naik turun bukit dan sungai. Butuh waktu sekitar 1,5 jam perjalanan. 

Sudah bisa saya bayangkan betapa susahnya setiap hari melalui jalan setapak ini. Sepanjang perjalanan kami berhenti sepuluh kali, salah satunya di sumur sumber mata air yang ada di bawah sungai. Sampai di sumur, rasa lelah terbayar dengan sunyinya suasana dan segarnya air langsung dari sumbernya. 

Namun, kami tidak terlalu lama di sana dan segera kembali menaiki anak tangga. Sepanjang jalan, hanya kesunyian dan tanaman bambu setia menemani kami. Seraya berjalan, saya sempat memberikan kode dengan tepukan tangan dari bawah sungai kepada warga yang melintas di atas jembatan merah. Beberapa di antaranya merespons dengan tepukan tangan juga.

Matahari mulai tampak temaram dan suhu dingin mulai menusuk tulang. Kami lekas mempercepat langkah ke anak tangga tertinggi hingga akhirnya tiba di lembah Desa Tegalmulyo. Jalan setapak yang kami lalui sudah lama ditutup semenjak dibangunnya jembatan merah Girpasang, yang hanya diperuntukkan pejalan kaki dan sepeda. Ini demi menjaga keamanan dan mempermudah mobilitas warga setempat maupun saudara yang berkunjung. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan selama menjelajahi Dusun Girpasang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Girpasang: Menikmati Dusun Tertinggi di Lereng Timur Gunung Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/girpasang-menikmati-dusun-tertinggi-di-lereng-timur-gunung-merapi/feed/ 0 47548
Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang https://telusuri.id/menyingkap-luka-lama-di-kawasan-jalan-ijen-kota-malang/ https://telusuri.id/menyingkap-luka-lama-di-kawasan-jalan-ijen-kota-malang/#comments Wed, 25 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47532 Hari Minggu pagi, saya putuskan untuk belajar sejarah tentang Kota Malang bersama History Fun Walk. Kami diajak lebih mengenali kota yang banyak menyimpan sejarah masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang.  Selama ini, setiap melewati kawasan...

The post Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari Minggu pagi, saya putuskan untuk belajar sejarah tentang Kota Malang bersama History Fun Walk. Kami diajak lebih mengenali kota yang banyak menyimpan sejarah masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. 

Selama ini, setiap melewati kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya, saya selalu dibuat kagum dengan rumah-rumah megah bergaya arsitektur Belanda. Ternyata setiap bangunan dan wilayah memiliki sejarah yang mungkin saja tak banyak orang tahu.

Selama hampir tiga jam saya diajak berkeliling di sekitar Bouwplan VII Malang. Perjalanan kami diawali dari Simpang Balapan, Ijen Boulevard, Jalan Dempo, Jalan Tanggamus, berlanjut ke arah Jalan Cerme, dan berakhir di titik awal, yakni Jalan Pucuk. Sepanjang tiga kilometer perjalanan, banyak cerita yang saya dapatkan dari Mas Han dan Mas Yehezkiel, sang pemandu. Dari perjalanan tersebut, saya baru mengetahui bahwa ada kisah kelam yang dikenal dengan masa interniran.

  • Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang
  • Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang

Dari Arena Pacuan Kuda sampai Hamid Rusdi

Sebelum menceritakan interniran, saya akan membagikan cerita yang saya dapatkan. Pertama tentang Simpang Balapan, yang sempat saya kira namanya demikian karena sering dijadikan sebagai sirkuit balap liar. Rupanya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar.

Pada tahun 1920, area yang kini menjadi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kemenkes Malang, masih berupa lahan tebu. Kemudian sekitar bulan Mei 1920 dibangunlah sebuah arena pacuan kuda. Akses jalan dari pacuan kuda tersebut langsung menghadap ke timur sehingga dijuluki Simpang Balapan. Salah satu keunikan dari pacuan kuda tersebut ialah latar pemandangannya yang sangat indah, yakni Gunung Arjuno. Bahkan sekitar tahun 1938 area pacuan kuda itu dijadikan lokasi jambore internasional dari organisasi kepanduan sedunia.

Tepat di seberang Simpang Balapan, terdapat sebuah patung pria yang berdiri gagah bernama Hamid Rusdi. Ia merupakan pahlawan asli dari Pagak, Malang sekaligus pencetus bahasa walikan yang identik dengan Kera Ngalam (Arek Malang), digunakan untuk mengecoh musuh.

Pada masa pendudukan Jepang, Hamid Rusdi bergabung sebagai Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Setelah PETA dibubarkan, banyak anggota yang bergabung pada Badan Keamanan Rakyat (BKR) termasuk Hamid Rusdi. Pada peralihan masa bersiap itulah banyak terjadi spionase dari para sekutu. Guna menjaga kerahasiaan, informasi disampaikan menggunakan bahasa walikan sehingga hanya orang tertentu yang memahaminya. Bahkan beberapa anak buah pun tidak mengetahui artinya.

Singkat cerita, pada 8 Maret 1949, tepatnya saat Agresi Militer Belanda II, Hamid Rusdi gugur di daerah Cemorokandang. Ia dimakamkan di daerah Buring, lalu tahun 1970-an makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan. Untuk mengenang jasa Arek Malang itu, dibangunlah monumen Hamid Rusdi yang berada di Simpang Balapan, tepat di depan Poltekkes Malang.

Kiri: Pemandu menjelaskan tentang arena pacuan kuda yang dulu ada di depan Jalan Simpang Balapan/Lutfia Indah M. Kanan: Dokumentasi pacuan kuda yang populer semasa kolonialisme Belanda/SIKN Kota Malang.

Jalan Ijen dan Rumah-rumah Mewah Orang Belanda

Simpang Balapan bersandingan dengan Jalan Ijen yang dikenal teduh, memiliki tata ruang yang cantik dengan jajaran rumah khas Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Jalan Ijen menjadi kawasan yang populer dan masuk dalam ajang bergengsi tata kota terbaik di Paris, sekitar 1930-an.

Kawasan tersebut didesain oleh arsitek Belanda bernama Thomas Karsten yang juga mendesain daerah Bandung dan Semarang bagian atas. Pernak-pernik yang sampai sekarang masih eksis, seperti pohon palem, rumah beserta taman kecil, trotoar, jalan raya dengan diisi boulevard di tengahnya, merupakan konsep yang sudah dicanangkan sejak zaman Belanda. 

Jalan Ijen diambil dari nama gunung yang ada di Indonesia. Penamaan ini merupakan bagian dari konsep Bouwplan VII yang menggunakan nama-nama gunung sebagai salah satu temanya. Nama-nama jalan bertema gunung lainnya adalah Jalan Kawi dan Jalan Semeru. Tak terkecuali Jalan Salak, sebuah gunung di Jawa Barat yang jadi nama awal jalan di sekitar Taman Makam Pahlawan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Penamaan tersebut masih dalam satu kesatuan dengan Bouwplan VII. Namun, untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur mempertahankan Kota Malang, nama jalan tersebut diubah menjadi Jalan Pahlawan TRIP.

Selain bertemakan gunung, beberapa kawasan diberi nama dengan tema beragam, seperti silsilah kerajaan Belanda. Untuk tema ini digunakan pada Bouwplan I, yakni Wilhelminastraat (Jalan Dr. Cipto), Willemstraat (Jalan Diponegoro), Julianastraat (Jalan Kartini), dan Emmastraat (Jalan Dr. Sutomo).

Di Jalan Ijen juga terdapat Katedral Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel, gereja Katolik kedua di Kota Malang setelah gereja Kayutangan. Gereja ini didirikan pada 1934 setelah Malang menjadi kota praja dan mulai banyak penduduk.

Gereja ini dirancang oleh Rijksen en Estourgie dengan menggunakan konstruksi beton bertulang. Metode tersebut termasuk konstruksi baru dan pertama kali diterapkan di Hindia Belanda. Gereja Ijen pun akhirnya berdiri dengan sumbu lebih lebar dan panjang tanpa pilar di tengahnya. Gereja yang dibangun pada Februari–Oktober 1934 ini memiliki sebuah lonceng untuk doa kepada Santa Maria yang dibunyikan setiap pukul 06.00, 12.00, dan 18.00 WIB.

Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang
Gereja Ijen berada tepat menghadap Jalan Salak (Jalan Pahlawan TRIP) dan berada di kawasan Jalan Ijen/Lutfia Indah M

Kisah Gugurnya Pasukan TRIP Mempertahankan Tanah Air

Tak jauh dari gereja tersebut, terdapat Taman Makam Pahlawan TRIP yang mengandung cerita tragis. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Warga saat itu telah mundur ke Blitar. Namun, terdapat sekelompok pemuda TRIP dari Brigade VII Batalyon 5000 ingin mempertahankan Kota Malang. Ketika mendengar bahwa pasukan Belanda akan melintasi Kota Malang, mereka bersiap untuk mengadang. 

Untuk mengadang Belanda, mereka disebar di beberapa titik. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari menebang pohon di Singosari, hingga membumihanguskan Kota Malang. Setidaknya terdapat 1.000 bangunan berupa hotel, bioskop, kantor pemerintahan yang berhasil terbakar. 

Namun, ternyata perkiraan tentang arah kedatangan pasukan Belanda meleset. Pergerakan Belanda sempat terhenti di sekitar Gereja Ijen. Pasukan TRIP hanya bermodalkan senjata seadanya, tetap melawan Belanda dengan gagah berani. Pertarungan terjadi hingga di Jalan Salak. Belanda dengan masif melayangkan serangan, menyebabkan banyak pasukan TRIP tertembak. Bahkan terdapat salah satu pelajar datang membawa granat untuk dilemparkan ke arah tank, tetapi gagal. 

Agar tidak banyak memakan korban, pasukan yang masih selamat harus bersembunyi dan berpura-pura mati di parit sekitar Jalan Salak. Sore harinya, mereka kembali ke markas dan berlari ke perkampungan yang ada di daerah Gadingkasri.

Butuh waktu 3–4 hari untuk memastikan suasana sudah aman dari pergerakan Belanda. Pada saat itulah jenazah pemuda TRIP baru dapat dikuburkan. Terdapat 35 jasad yang ditemukan dan dikubur secara massal di lahan kosong Jalan Salak. Kini makam para Pahlawan TRIP telah direnovasi oleh Pemkot Malang. 

Di jalan tersebut juga dibangun sebuah monumen untuk mengenang pahlawan TRIP. Bahkan setiap bulan Juli, terdapat kelompok masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Reenactor memperingati peristiwa tersebut dengan aksi teatrikal.

Kiri: Gambaran peta kawasan kamp interniran yang digunakan untuk menahan orang Belanda pada masa pendudukan Jepang/History Dun Walk Malang. Kanan: Peta kamp interniran di Kota Malang/japanseburgerkampen.

Jepang Datang, Orang Belanda Tertahan di Kamp Interniran

Setelah perjalanan yang panjang, kami dibawa ke depan bangunan SMPN 1 Kota Malang yang berada di Jalan Lawu. Ternyata bangunan sekolah tersebut dulunya dimiliki oleh Yayasan Freemason. Tak hanya itu, Jalan Lawu juga termasuk dalam kamp interniran atau kamp konsentrasi atau penjara bagi warga keturunan Belanda pada masa pendudukan Jepang di Kota Malang.

Kamp interniran berada di dua wilayah, yakni daerah Rampal dan kawasan Jalan Ijen serta Oro-oro Dowo. Kamp Ijen berada di seluruh area yang berbatasan dengan Jalan Ijen, Jalan Wilis, Jalan Anjasmoro, Jalan Buring, Jalan Bromo, hingga Jalan Semeru. Pada saat Jepang menguasai Kota Malang, orang Belanda khususnya perempuan dan anak-anak ditahan di rumah-rumah dan bangunan yang berada di kawasan Ijen. Kamp tersebut dikelilingi dengan gedek dan kawat berduri.

Terdapat tiga pintu gerbang yang dijaga ketat oleh Tentara Jepang di Jalan Ijen, Jalan Oro-oro Dowo, dan Jalan Bromo. Setiap rumah dapat dihuni lebih dari 50 orang dan berlangsung hingga tiga tahun, dimulai saat Jepang datang ke Kota Malang pada 1942. Terdapat satu dapur umum yang terpusat di daerah Welirang dan rumah sakit di Jalan Argopuro. Namun, suplai makanan dan minuman yang disediakan sangat terbatas, bahkan untuk mengakses pakaian layak pun mereka kesulitan.

Saat ditahan dan dipaksa meninggalkan rumah masing-masing, tidak banyak barang yang dapat mereka bawa. Jepang menyita barang-barang milik Belanda yang tersisa, termasuk pagar rumah untuk digunakan sebagai bahan pembuat alat-alat perang.

Diketahui bahwa penahanan tersebut salah satunya disebabkan oleh ketidaksukaan Jepang terhadap orang-orang kulit putih. Jepang ingin menunjukkan supremasi kekuasaan dan kedudukannya yang lebih tinggi dibandingkan Eropa. 

Beberapa sumber mengatakan bahwa rumah-rumah Belanda yang kosong akibat interniran, diserahkan kepada warga Tionghoa. Mereka dianggap lebih mampu merawat rumah-rumah tersebut, tetapi menimbulkan kecemburuan terhadap warga pribumi. Ada juga yang mengatakan bahwa setiap rumah yang kosong dapat dengan mudah ditempati oleh siapa pun. Hingga akhirnya, setelah Jepang menyerah kepada sekutu dan mundur dari Indonesia, para interniran mulai dibebaskan dan dipulangkan ke negara asalnya.  

Cerita-cerita itu merupakan sedikit dari rangkuman perjalanan mencari sejarah-sejarah yang masih terkandung di Kota Malang. Siapa sangka kota yang kini sering dilanda banjir saat hujan deras dan macet ketika akhir pekan panjang, memiliki sejarah kelam yang tak gagal membuat bulu kuduk merinding. Kendati demikian, kota yang menjadi tempat saya betah merantau hingga delapan tahun ini membuat saya semakin penasaran dan ingin menyelaminya lebih dalam lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyingkap-luka-lama-di-kawasan-jalan-ijen-kota-malang/feed/ 1 47532
Bandung dalam Setahun https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/ https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/#respond Tue, 24 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47520 Aku masih mengingat jelas di akhir Mei 2024, di hari ketiga perhelatan Makassar International Writer Festival, aku menaiki pesawat subuh menuju Jakarta. Tidak terasa telah setahun Bandung menjadi rumah baru. Bandung jauh berbeda dengan Makassar,...

The post Bandung dalam Setahun appeared first on TelusuRI.

]]>
Aku masih mengingat jelas di akhir Mei 2024, di hari ketiga perhelatan Makassar International Writer Festival, aku menaiki pesawat subuh menuju Jakarta. Tidak terasa telah setahun Bandung menjadi rumah baru. Bandung jauh berbeda dengan Makassar, terutama udara dinginnya, bahasa orang-orang yang jauh berbeda, kemacetan jalan yang berada di level berbeda dengan jalan-jalan Makassar, dan tentu saja perasaan sepi yang baru pertama kurasakan di tempat baru ini. 

Bandung adalah babak baru yang datang dengan sendirinya. Prosesnya begitu cepat dan mudah, seolah semuanya memang harus seperti ini: perpindahan karier, mengurusi semua barang di Makassar, membawa semua yang bisa kubawa dalam sebuah tas carrier 45 liter, berpisah jarak dengan semua orang yang aku kenal dan mulai membuka pertemuan-pertemuan dengan orang baru. 

Bandung dalam Setahun
Suasana Jembatan Pasupati Bandung saat malam hari/Nawa Jamil

Jatinangor dan Pertaruhan Baru

Perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Jatinangor kami tempuh dengan mobil travel. Pengemudinya cekatan meski cukup cerewet dan tidak sabaran. Selain aku, Mba Leli, dan Adeeva, mobil ini juga mengangkut dua penumpang wanita lainnya.

Perjalanan kami mulus tanpa hambatan. Kami hanya berhenti di satu rest area dan tiba di Jatinangor pada siang hari. Kami pun memasuki salah satu apartemen di daerah ini, menata barang-barang dari Makassar seadanya, lalu merebahkan diri.

Sama seperti petualangan-petualangan sebelumnya, petualangan kali ini juga membuat dada berdebar dan pikiran berkelana penuh rasa penasaran. Bedanya, perjalanan ini lebih banyak tanda tanya dan takutnya. Berbeda dari petualangan-petualangan sebelumnya, tampaknya petualangan ini akan panjang, bisa saja malahan aku menemukan rumah tetap di sini, dan kali ini tidak ada tiket pulang. Untuk pertama kalinya, aku memulai perjalanan dengan berbekal tiket sekali jalan.

Bandung dalam Setahun
Rak penuh buku di toko buku Akar Rumput di Jatinangor/Nawa Jamil

Budaya, Selera, dan Bahasa

Hari-hari di Jatinangor berjalan sibuk dan cepat. Berbeda dengan kehidupan kerja dan bermain di Makassar, Jatinangor membawaku pada kesunyian yang syahdu. Setelah selesai dari pekerjaan 9 pagi sampai 5 sore, aku akan langsung pulang ke kos, merebahkan diri, dan tertidur begitu waktu isya datang. Terdengar membosankan, bukan? Tapi percayalah, ritme ini membawaku pada kenyamanannya sendiri. 

Selain ritme kehidupannya, Jatinangor juga membuatku nyaman dengan makanan-makanannya: nasi pecel Singkiye, tahu (yang secara mengejutkan) terenak yang pernah kumakan selama hidup yang singkat ini, sate solonya, dan semua olahan mi yang enak-enak.

Ada perbedaan mencolok dari kuliner Sunda dan Makassar. Di saat kuliner Makassar menyukai segala sesuatu yang berbahan utama daging dan diolah dengan beraneka bumbu yang berani, seperti coto, sop konro, sop saudara, konro bakar, pallubasa, dan berbagai masakan olahan daging lainnya, masakan Sunda justru minim bumbu dan lebih sederhana. Orang-orang asli Sunda menyukai ikan goreng dadakan yang di luar garing tetapi menyisakan daging ikan yang lembut dan disantap saat masih hangat bersama aneka sayur lalapan. Sayur-sayurnya disajikan segar dan dapat dengan mudah ditemui hampir di seluruh warung Sunda.

Seolah keberuntunganku pindah ke sini tidak pernah habis, aku mendapati diriku mudah beradaptasi dengan bahasa Sunda. Sebagai seorang dari tanah Sulawesi dengan bahasa, intonasi, dan penekanan kata yang jauh berbeda dari Sunda, kuakui cukup sulit untuk menghindari banyak prasangka orang-orang asing terhadapku dari cara bicara orang Sulawesi ini. Banyak sekali orang yang berpikir aku marah, padahal aku hanya berbicara santai (dengan nada dan intonasi bawaan dari Makassar). Inilah seni dari sebuah pertaruhan di tanah rantau. Tantangan bahasa ini adalah sesuatu yang harus aku taklukkan, menikmati prosesnya, dan perlahan menyesuaikan diri dengan tata bahasa orang-orang sekitar. Menariknya, kini aku menikmati bahasa Sunda, lantunannya, dan tuturnya.

Orang-orang Baru

Hal yang paling sedih dari perantauan adalah jauh dari keluarga dan orang-orang yang sudah kuanggap seperti keluarga. Pertaruhan ini juga membawa ketakutan terbesar, “Seperti apa orang-orang yang akan aku temui di sini?” 

Cara dan nadaku dalam berbicara sejujurnya membawa ketakutan tersendiri. Bagaimana jika orang-orang salah paham? Bagaimana jika Bandung dan orang-orangnya tidak seseru Makassar? Bagaimana jika orang-orang tidak membuka ruang-ruang pertemanan baru denganku? Dan banyak perandai-andaian lainnya. 

Dua minggu di perantauan ini, semesta memberiku jawaban ‘tidak’ atas semua keraguan dan pertanyaan-pertanyaan. Momennya tepat pada perayaan Iduladha. Saat itu, aku diajak merayakan perayaan ini di daerah Cimenyan, di sebuah sekolah alternatif bernama Ummasa. Di sini aku bertemu orang-orang Bandung yang menyambutku dengan tangan hangat: Kak Vanbi, Kak Bolang, Kak Meylani, Kak Trisna, dan banyak lagi. 

Keberuntunganku tidak berakhir di sana. Aku juga bertemu dengan lusinan orang baik di Komunitas Teman Manusia Bandung. Pertemuan demi pertemuan menjadikan Bandung tempat yang nyaman bagi perempuan Makassar sepertiku. Dari keramahan orang-orang yang kutemui di jalanan kota, kebaikan orang-orang yang menyambutku dengan hangat di rumah-rumah mereka, keluarga baru yang kutemui di sini, sampai orang-orang asing yang mendengarkan semua ceritaku dengan hati. 

  • Bandung dalam Setahun
  • Bandung dalam Setahun

Petualangan Baru

Bandung adalah tempat jelajah yang menawarkan segala yang kucari: kekayaan musik, budaya, tempat-tempat nyaman di ketinggian, hingga daerah pantai eksotis di Garut yang dapat ditempuh sekitar tiga jam dari kosku. Aku bertemu seorang pencinta musik skinhead Bandung yang mengenalkanku tentang keragaman musik Kota Kembang. Tak hanya itu, Sunda yang terkenal dengan alunan seruling dan alat musik tradisional dari bambu juga menambah semangat eksplorasiku akan kota ini.

Kemacetan kota dan bagaimana orang-orang Bandung lebih senang berdiam diri di rumah saat akhir pekan karena jalanan kota penuh kendaraan berplat B, serta tata kota yang menurutku semrawut adalah perihal kecil Bandung yang baru bisa diketahui setelah mengamati kota ini dalam kurun waktu tertentu.

Kemacetan Jatinangor–Kota Bandung yang melewati Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Cicaheum, hingga berbelok ke arah pusat kota di sekitaran Gedung Sate adalah pemakluman yang kuamini selama setahun di sini. Namun, semua itu tidak sebanding dengan yang ditawarkan: kesejukan kebun teh daerah Pangalengan, Ciwidey hingga Lembang, keunikan Tangkuban Perahu dan gunung-gunung vulkanis di sekitar Jawa Barat, hingga Bandung malam hari yang kuamati dari salah satu kafe di ketinggian daerah Bojong Koneng.

Ada begitu banyak hal indah tentang Bandung, ada begitu banyak petualangan yang mesti dimulai, peristiwa yang mesti dialami, teman untuk didengar, dan perjuangan-perjuangan yang menunggu untuk dimenangkan.

* * *

Merantau tanpa tahu kapan kembali adalah perjalanan penuh tanda tanya. Pertaruhan tanpa tiket pulang ini telah kulalui selama setahun. Hanyalah hal baik yang terpikirkan saat mengingat Bandung dan orang-orangnya. Tak berhenti di sini, perantauan ini masih akan berlanjut di Bandung sampai entah kapan, semoga untuk waktu yang lama, lama sekali. 

Terima kasih orang-orang baru, keluarga yang menerimaku, dan kesejukan Bandung yang ingin kunikmati selamanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandung dalam Setahun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandung-dalam-setahun/feed/ 0 47520
Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya https://telusuri.id/menikmati-minggu-pagi-di-alun-alun-manonjaya/ https://telusuri.id/menikmati-minggu-pagi-di-alun-alun-manonjaya/#respond Mon, 23 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47513 Saat melakukan perjalanan ke kota lain, salah satu tempat yang kerap saya kunjungi adalah alun-alun. Saban kali menyambangi sebuah kota, alun-alun selalu menjadi tujuan pertama saya dalam upaya menyelami denyut nadi kehidupan kota tersebut.  Di...

The post Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat melakukan perjalanan ke kota lain, salah satu tempat yang kerap saya kunjungi adalah alun-alun. Saban kali menyambangi sebuah kota, alun-alun selalu menjadi tujuan pertama saya dalam upaya menyelami denyut nadi kehidupan kota tersebut. 

Di alun-alun, setidaknya saya bisa merasakan esensi dari keberadaan sebuah kota. Bagaimana orang-orangnya berinteraksi, bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari, dan bagaimana ruang publik ini menciptakan hubungan antara individu dengan lingkungan sekitar.

Tentu saja, setiap orang yang datang ke alun-alun memiliki tujuan yang beragam. Namun, semuanya agaknya bertemu dalam satu titik, yakni keinginan untuk merasakan momen yang sederhana tetapi bermakna. 

Contohnya, ada yang datang cuma untuk berolahraga, ada yang sekadar jalan-jalan, ada yang beristirahat sambil menikmati suasana sekitar, dan ada pula yang mencari hiburan. Aktivitas yang beragam ini menunjukkan betapa alun-alun adalah ruang inklusif, yang menerima siapa saja tanpa pandang usia, status, atau latar belakang. 

Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
Pengendara melintas di depan Alun-alun Manonjaya/Djoko Subinarto

Alun-alun Manonjaya

Begitu pula dengan Alun-alun Manonjaya, di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang saya kunjungi beberapa waktu lalu. Ketika matahari baru saja mulai menampakkan parasanya, Alun-alun Manonjaya mulai dipenuhi oleh warga dari berbagai kalangan.

Suara riuh rendah mereka berbaur dengan derap langkah kaki dan raungan mesin kendaraan, hingga tawa anak-anak yang bercampur dengan udara pagi yang segar. Menciptakan atmosfer pagi tersendiri. Sebagaimana alun-alun pada umumnya, Alun-alun Manonjaya berada di lokasi yang sangat strategis. Ia berada persis di pinggir Jalan Raya Manonjaya–Banjar.

Di sebelah barat alun-alun ini, berdiri Masjid Agung Manonjaya yang legendaris. Masjid Agung Manonjaya bukan sekadar bangunan ibadah, melainkan saksi bisu sejarah panjang Tasikmalaya yang dulunya bernama Sukapura. Berdiri anggun sejak tahun 1837, dengan arsitektur klasiknya, masjid ini kiwari menjadi ikon Manonjaya.

Atapnya bertumpang tiga, menjulang ke langit seolah hendak meraih rahmat Ilahi, dengan mustaka tembaga yang konon berasal dari Masjid Pamijahan peninggalan Syekh Abdul Muhyi. Tiang-tiangnya—dahulu 29 buah, kini menjadi 61—menopang ruang suci seluas hampir seribu meter persegi, tempat doa dan harapan para jemaah bermuara.

Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
Masjid Agung Manonjaya yang bersejarah/Djoko Subinarto

Dilengkapi Dua Gawang

Alun-alun Manonjaya ini cukup khas. Bagian utama alun-alunnya merupakan lapangan sepakbola berumput alami. Lengkap dengan dua gawang terpasang di sisi barat dan timur. Di depan masing-masing gawang, dominasi tanah tampak lebih menonjol daripada rumput. Buntutnya, saat hujan turun, di depan kedua gawang ini bakal lebih becek ketimbang bagian lain lapang yang lebih berumput.

Track khusus berlapis batu andesit halus mengelilingi lapang sepakbola Alun-alun Manonjaya. Minggu pagi itu, saya melihat lumayan banyak warga yang memanfaatkan track khusus ini untuk melakukan aktivitas jalan pagi maupun joging ringan. 

Di beberapa sudut alun-alun, sejumlah pedagang makanan dan minuman menggelar barang dagangannya. Tak sedikit dari mereka yang baru menyelesaikan jalan kaki maupun joging langsung merapat ke penjual makanan dan minuman.

Sementara itu, di sisi barat alun-alun, tak jauh dari gawang sepakbola, penjaga penyewaan motor dan mobil kecil mainan sibuk melayani anak-anak yang hendak menyewa untuk dipakai wara-wiri di tengah lapangan sepakbola.

Di tengah lapangan, beberapa kelompok anak berlarian. Sebagian anak terlihat sedang bermain bola menggunakan bola plastik. Adapun beberapa anak yang lain asyik bermain kejar-kejaran. Tawa dan teriakan mereka membelah pagi, laksana melodi kebebasan yang tak terganggu oleh gawai atau jadwal padat orang dewasa. Dan di wajah-wajah polos itu, bisa jadi tersimpan ingatan akan masa kecil orang-orang dewasa. Saat kebahagian cukup digenggam dengan tersedianya sebidang tanah lapang dan teman-teman untuk berlari tanpa beban.

  • Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
  • Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya

Tak Pernah Benar-benar Kosong

Namun, seiring udara pagi yang sejuk mulai berganti menjadi lebih panas lantaran matahari semakin tinggi, satu per satu anak-anak yang bermain di lapangan sepak bola itu orang mulai meninggalkan kawasan Alun-alun Manonjaya. Begitu juga orang-orang dewasa yang berjalan kaki maupun joging mengitari alun-alun, satu per satu mulai beranjak pergi.

Namun, meskipun mulai dihinggapi sepi, Alun-alun Manonjaya ini tak pernah benar-benar kosong tanpa aktivitas. Di beberapa sudut, sejumlah petugas kebersihan berseragam kaus biru mulai bekerja. Mereka berpatroli untuk mengumpulkan sampah demi sampah yang berserakan di sudut-sudut lapangan alun-alun. Pemandangan tersebut adalah gambaran dari peran yang selama ini mungkin tak terlihat dari mereka yang bertugas menjaga agar ruang publik—seperti Alun-alun Manonjaya ini—tetap bersih dan terawat. 

Sebagaimana pepatah kuno Inggris mengatakan, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others. Dalam hal ini, para petugas kebersihan adalah mereka yang melayani dengan cara yang paling sederhana tetapi penuh makna.

Pada akhirnya, alun-alun—di kota mana pun—adalah ruang yang mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati kerap bersemayam dalam kesederhanaan. Sebagai ruang publik, ia menjadi tempat untuk kembali ke inti kehidupan, yakni dengan menikmati waktu bersama orang-orang terkasih, larut dalam momen tanpa tergesa, dan menemukan kedamaian yang tumbuh dari hal-hal yang tampak remeh tetapi bermakna.

Dalam semangat seperti itulah, kita mungkin teringat pada pesan lembut yang terpatri dalam bait lagu Let It Be dari The Beatles, berupa sebuah ajakan untuk membiarkan segalanya mengalir sebagaimana adanya. Tak perlu dipaksakan, tak perlu diburu-buru. Dan di ruang seperti alun-alun itulah, kita perlahan belajar untuk benar-benar hadir dalam diam, dalam tawa, dan dalam rasa syukur yang tulus.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-minggu-pagi-di-alun-alun-manonjaya/feed/ 0 47513
Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama https://telusuri.id/ritual-adat-seblang-olehsari-sebuah-usaha-manusia-hidup-bersama/ https://telusuri.id/ritual-adat-seblang-olehsari-sebuah-usaha-manusia-hidup-bersama/#respond Fri, 20 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47502 Siang itu, aku terpaku pada sebuah poster di Instagram bertuliskan Banyuwangi Traditional Ritual Syawal. Di atasnya, terselip kalimat “Kisah leluhur dalam doa, tarian, dan sebuah janji yang tak tergoyahkan”. Tiga nama menonjol di sana, yaitu...

The post Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, aku terpaku pada sebuah poster di Instagram bertuliskan Banyuwangi Traditional Ritual Syawal. Di atasnya, terselip kalimat “Kisah leluhur dalam doa, tarian, dan sebuah janji yang tak tergoyahkan”. Tiga nama menonjol di sana, yaitu Seblang Olehsari, Barong Ider Bumi, dan Puter Kayun Boyolangsu Culture Festival. Namun, satu yang paling menyita rasa penasaranku: Seblang Olehsari. Tarian sakral yang dibawakan oleh gadis terpilih secara supranatural.

Hal yang membuatku semakin tergerak, ritual ini berlangsung selama seminggu penuh, 4–10 April 2025, dimulai pukul 14.00 WIB, dan dilaksanakan tepat pada hari keempat Lebaran Idulfitri. Mengapa bisa selama itu? Apa yang ingin dijelaskan melalui tarian ini? Mengapa hanya satu perempuan yang menari? Dalam foto-foto lama yang beredar, sang penari tampak menari dengan mata terpejam—seakan tubuhnya menjadi medium yang disinggahi suara dari masa lalu.

Aku pun memutuskan menyusuri jejak rasa ingin tahu ini, dari Jakarta ke Banyuwangi. Lokasi pagelaran Seblang Olehsari bertempat di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, di lingkungan masyarakat Suku Osing. Setibanya di kabupaten paling timur Pulau Jawa, aku dan empat temanku berangkat ke lokasi dengan sepeda motor.

Kami tiba sekitar pukul tiga sore. Parkiran sudah padat. Langkah kami tersendat oleh kerumunan yang mengular di pintu masuk arena. Aku tertegun. Untuk sebuah tarian? Sebanyak ini orang berkumpul? Dalam dunia yang serba cepat ini, bagaimana bisa sebuah ritual bertahan? Di tengah keramaian, aku sempat berbincang ringan dengan beberapa pengunjung. Banyak di antaranya ternyata datang dari luar Banyuwangi.

Apa itu Seblang Olehsari?

Seblang adalah upacara ritual bersih desa atau selamatan desa yang diselenggarakan setahun sekali, dan kemungkinan dianggap sebagai pertunjukan tertua di Banyuwangi (Scholte, J., 1927:149–150; Wolbers, P.A., 1992:89; 1993:36). Masyarakat setempat percaya bahwa setelah melaksanakan kegiatan ritual, hidup terasa lebih tenteram, terhindar dari gangguan roh-roh halus, dan hasil panen pun menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika upacara tidak diselenggarakan, diyakini akan terjadi disharmoni dan keseimbangan ekologi akan terganggu, seperti gagal panen atau serangan wabah penyakit (Anoegrajekti, 2003:258).

Seblang Olehsari bukan sembarang tarian. Hanya perempuan suci dari garis keturunan penari Seblang yang bisa membawakannya. Penari akan berganti setiap tiga kali pergelaran. Selama tujuh hari berturut-turut, ia menari dari siang hingga petang. Hari itu, aku menyaksikan rangkaian ritual ini hingga sekitar pukul 17.40 WIB.

Ia menari dalam keadaan trance (kesurupan), mata tertutup. Di sekelilingnya ada pengiring, asap dupa, mantra, sinden dan gamelan, serta hal lain yang belum kutahu rinci penyebutannya. Sekitar 30 menit setelah aku tiba, penari telah mulai mengelilingi panggung, lalu naik ke atas panggung kecil berbentuk meja panjang. Ia menari dengan gerakan kaki dan pinggul ke kanan-kiri, tangan melambai, kadang tegak, kadang membungkuk.

Busananya sederhana, tapi menghadirkan aura yang khas. Kalau kuingat, penari mengenakan sewek (kain) di bagian bawah, kemban di bagian atas, dilengkapi ikat pinggang, sampur, dan kaus kaki putih. Salah satu kakinya dipasangi krincing. Di kepala, ia memakai omprok—hiasan dari daun pisang muda zig-zag, janur, dan bunga segar. 

Awalnya, saat baru sampai, aku tak merasakan suasana sakral. Hiruk-piruk penonton membuat suasana hampir lebih mirip festival dibanding ritual. Tapi justru di sanalah hal menarik kutemui: hiburan bisa muncul dari ritual? Menariknya, dalam ritual ini terdapat sesi bernama tundik, yakni saat penari melemparkan sampur ke arah penonton secara acak. Siapa yang terkena, wajib naik panggung dan ikut menari. Jika menolak, konon penari akan marah. Inilah yang menjadi puncak keriuhan! Beberapa penonton terlihat berusaha menghindar, yang lain justru ada yang berharap terkena. Ketika seseorang akhirnya maju ke panggung, sorak-sorai pun membuncah. Teriakan, tawa, sorakan mengisi udara setiap kali sampur dilempar lagi. Sebuah energi kolektif yang tak bisa dibuat-buat.

  • Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama
  • Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama
  • Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama

Wujud Religiusitas Masyarakat

Menjelang petang, suasana berubah. Langit berganti warna, matahari perlahan meluruhkan panasnya. Tak ada lagi lempar sampur, kerumunan mulai menipis. Tapi justru pada saat itulah aku bisa berdiri di barisan paling depan—dan baru mampu merasakan kekhusyukan. Kesakralannya menggema, menjadi sesuatu yang sulit dijelaskan, hanya mampu dirasakan.

Hal lain yang mencuri perhatianku adalah bentuk panggungnya. Arena Seblang bukanlah panggung megah, melainkan lingkaran di atas tanah lapang. Aku melihatnya sebagai simbol keutuhan dan keterhubungan, karena para penonton mengelilingi sepenuhnya. Meski peminat Seblang Olehsari banyak, bentuk panggung ini tak kehilangan nuansa ritualnya. Di bagian pinggir, panggung dipagari bambu yang mengelilingi arena, sebagai pembatas penonton. Di tengahnya, berdiri sebuah payung besar berwarna putih. Hingga petang, juga tak ada pencahayaan yang berlebihan.

Mulanya saat berada di barisan belakang, tampak anak-anak muda sibuk menjadi panitia. Penjual makanan dan minuman pun ramai berdagang. Namun di barisan depan, yang terlihat justru gotong royong yang menghangat—sebuah semangat menjaga ruang bersama.

Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama
Tarian masih berlanjut hingga petang/Fiezu Himmah

Seblang adalah perwujudan kolektif: masyarakat berdoa bersama, ikut mengarak, bahkan ikut menari bila “terpanggil”. Semua menjadi bagian dari ritual. Sebagaimana dalam tulisan Vindriana, Simatupang, dan Richardus (2023:98), penyelenggaraan ritual juga menjadi salah satu wujud religiusitas masyarakat terhadap kekaguman batasan diri terhadap kekuatan-kekuatan di luar dirinya. 

Dari Seblang, aku melihat bahwa keselamatan adalah tanggung jawab bersama. Ia bukan semata ritual, melainkan soal kebersamaan, rasa hormat pada asal usul, dan keberanian menjaga yang dipercayai sebagai jalan hidup—meski dunia terus berubah.

Dari siang hingga petang, aku berdiri—mencoba memberi ruang untuk melihat, mendengar, dan memahami sesuatu yang terasa begitu hangat. Upaya manusia untuk hidup bersama, menjaga apa yang mereka anggap penting, dan memberi makna pada waktu yang terus berjalan.

Referensi:

Anoegrajekti, N. (2003). Seblang Using: Studi tentang Ritus dan Identitas Komunitas Using. Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 31, Nomor 2, Agustus 2003, pp. 253-
269.
Scholte, J. 1927. Gandroeng van Banjoewangie. Djawa, VII.
Wolbers, P. A. 1992. Maintaining Using identity through musical performance; Seblang and gandrung of Banyuwangi, East Java (Indonesia). [Ph.D. thesis, University of Illinois, Urbana.].
Wolberes, P. A. 1993. The seblang and its music; Aspects of an East Javanese fertility rite’, in: Bernard Arps (ed.), Performance in Java and Bali, pp. 34-46, London: School of Oriental and African Studies, University of London.
Vindriana, N. D., Simatupang, G. R. L. L., dan Richardus, C. (2023). ‘Festival’ Seblang Olehsari Banyuwangi 2018-2022. Jurnal Kajian Seni, Volume 10, Nomo 01, November 2023, pp. 94-115. DOI: https://doi.org/10.22146/jksks.80959.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ritual Adat Seblang Olehsari: Sebuah Usaha Manusia Hidup Bersama appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ritual-adat-seblang-olehsari-sebuah-usaha-manusia-hidup-bersama/feed/ 0 47502
Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/#respond Thu, 19 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47483 Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah salah satu anggota tim, Tarissa. Rumah Tarissa hanya berjarak 10 meteran dari rumah Pak Arif Kurniawan.

Teh hangat dihidangkan Tarissa. Zakia membawa beberapa jajanan pasar. Ama dan Dyah menyiapkan tripod, ponsel, dan clip on. Sementara saya tengah menyeduh teh dan melihat jam di dinding.

“Ayo, ke Pasar Cebongan, sudah hampir pukul 06.00 ini,” ajak saya.

“Ayo, gas!” jawab mereka penuh semangat.

Hanya lima menit perjalanan kami ke sana. Setelah melalui pintu masuk dan memarkirkan kendaraan, terlihat jelas kios di area depan Pasar Cebongan dengan plang tertulis “AN. Putra Juwana”. Di tengah hiruk-piruknya pasar, lelaki usia madya 40 tahun tengah menjaga lapaknya. Kami pun pergi menghampiri.

Tampak sebuah etalase dengan pajangan beberapa ikan bandeng yang ditaruh pada wadah-wadah kayu berbentuk kotak, ditutupi kertas makanan putih pada kepalanya. Sudah banyak yang terjual. Namun, masih pagi sekali, kios baru saja buka sehingga belum seluruhnya langsung terjual habis. Di samping itu, di dalam kios, disediakan juga stok ikan bandeng di dalam freezer untuk mengisi kembali kekosongan tempat di etalase.

“AN. Putra Juwana” merupakan jenama yang terdiri dari: ‘A’ yang berarti Arif, ‘N’ berarti Nur (istri Pak Arif), ‘Putra’ berarti anak laki-laki, dan ‘Juwana’ merupakan tempat asal ikan bandeng diambil. Tak lama berselang istrinya datang. Setelah menjelaskan beberapa hal tadi, Pak Arif mengajak kami ke rumahnya untuk mengikuti proses produksi.

“Pulang dulu, Sayang, kamu jaga toko, ya,” pamit Pak Arif kepada istrinya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Produk bandeng presto yang siap jual tersedia di dalam etalase/Afrinza Amalusholehah

Proses Produksi Bandeng Presto AN. Putra Juwana

Tepat di sebelah kanan rumah Pak Arif, pintu itu dibuka. Bau amis menggelegar. Dua orang tengah bekerja sesuai dengan tugasnya, yaitu.Rahmat (Mamat) dan Purwanto (Lik To). Kedatangan kami menghadirkan senyuman pada wajah mereka. Keduanya masih muda, layaknya anak-anak setelah lulus SMA.

Mamat beranjak pergi mengambil air pada sebuah ember 120 literan, lalu dituangkan pada ember-ember kecil 10 literan, yang sebelumnya sudah diisi sejumlah ikan sesuai kapasitasnya. Kedua tangannya pun masuk ke ember kecil itu, lantas Mamat mulai mengaduknya untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih tersisa.

Di sela-sela pekerjaan Mamat, tampak Lik To sedang mengambil kotoran sisa pada perut ikan. Ditemani dingklik sebagai alas duduknya, Lik To senantiasa mencukil satu per satu kotoran itu hingga bersih. Itu adalah kotoran sisa-sisa saja. ”Ini dibersihkan ulang,” ujarnya.

“Itu sudah dibersihkan dahulu di Juwana,” lontar Pak Arif seketika. AN. Putra Juwana mengambil ikan dengan kualitas bagus. Pengambilan itu didasarkan dari proses pengambilan ikannya. Pak Arif memilih petani ikan yang ketika menangkap ikan, jaringnya tidak langsung diambil, tetapi ikan itu dibiarkan dulu menggantung pada jaring selama satu jam hingga keluar semua kotorannya.

Pengambilan dari Juwana sebanyak 1,5 ton, sedangkan 5 ton sisanya untuk es batu. Mengendarai pikap Grand Max hitam, ikan-ikan itu bisa sampai di Jogja. Tidak seperti kisahnya dulu yang mengantar ikan harus titip truk muatan garam. Setelah sampai pun tidak langsung dimasak. Akan tetapi, perlu upaya penyortiran size untuk mengklasifikasikan ukuran yang besar dan kecil.

Di tengah obrolan, Mamat berganti haluan. Kini ia menata bandeng pada kotak kayu. Berbekal tiga hal: satu kertas makanan, dua garam kasar, dan tiga plastik bening. Bukan kertas koran atau kertas bekas LKS anak sekolahan yang digunakan karena terdapat tinta di sana. Ini soal kualitas. Ikan-ikan itu ditata dua kiloan per kotaknya, dengan penutup kertas makanan pada kepala ikan, dan taburan-taburan garam kasar pada tubuhnya. Kemudian plastik digunakan untuk alas pemisah kotak satu dengan kotak lainnya.

Maksimal kapasitas dandang untuk memasak 52 kotak. Akan tetapi, hari ini mencapai 42 saja. Sebab, itu adalah stok terakhir, sebelum malamnya Pak Arif pergi ke Juwana untuk mengambil 1,5 ton ikan lagi.

Kiri-tengah: Tampak kelihaian Mamat dan Lik To membungkus kepala ikan dengan kertas/Sayyidati Zakia Afkaroh. Kanan: Bandeng presto yang sudah siap masak ditata dan disusun sedemikian rupa/Tarissa Noviyanti Az Zahra.

Tak lama kedua karyawan itu bahu-membahu memasukkan kotak-kotak bandeng presto ke dalam dandang. Tak lupa mereka menaburkan rempah-rempah untuk menjaga kualitas ikan. Penutup dipasang, mur mulai diputarkan pada baut-baut dandang, tandanya proses masak akan segera dimulai.

Dua gas LPG 3 kg dipasang, alirannya mulai diaktifkan. Mamat dengan membawa selembar kertas persegi panjang mulai meringkasnya seperti sumbu petasan. Korek dinyalakan, api pun membakar kertas itu. Melalui tangan kanannya, kertas itu disodorkan ke bawah dandang, tepat di mana aliran gas keluar. Api pun mulai hidup dan membakar bagian bawah dandang.

Sudah bekerja 10 tahunan, dua karyawan itu sudah paham seberapa api dikobarkan. Tidak memakai alat pendeteksi suhu semacam termometer, tetapi hanya melalui feeling dan itu sudah menjawabnya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Mamat dengan keahlian dan jam terbangnya mampu mengatur api di bawah dandang tanpa alat bantu termometer/Afrinza Amalusholehah

Penantian Kematangan Bandeng Presto

Dua jam berlalu, Mamat mulai membuka tube-tube pada dandang. Uap dalam dandang mulai keluar, asap putih mendesis kencang dan mengepul di udara. Aroma khas bandeng presto mengisi ruangan.

Dua jam di awal pembukaan uap adalah sebuah penentuan: Apakah bandeng sudah lunak? Jika sudah, maka dijaga kobaran apinya. Namun, jika berlebihan atau kekurangan, kobaran itu diatur lagi sesuai porsinya.

Total tujuh jam untuk memasak. Dua jam telah digunakan di awal sebagai penentuan. Kini, dengan kopi, rokok, bluetooth speaker, dan ponsel, Mamat dan Lik To setia menunggu bandeng presto matang. Setiap 30 menitnya mereka harus membuka tube secara berulang hingga lima jam sisa waktu itu terpenuhi.

Kini matahari sudah condong ke barat. Tujuh jam telah berlalu, Mamat dan Lik To segera mematikan api dan membuka tube dandang. Desis uap pun keluar, dari yang berbunyi kencang dan keluar cepat, berangsur-angur mereda. Akhirnya kematangan bandeng presto telah mencapai klimaksnya.

Mur mulai diputar dan terlepas satu persatu dari pasangannya. Mamat dan Lik To mulai memosisikan diri untuk mengangkat penutup dandang. Dengan kedua tangannya yang lihai itu, pembukaan dandang pun terselesaikan.

Berbeda dengan dua jam di awal proses memasak, kini aroma khas bandeng semakin tajam menusuk paru-paru kami. Aroma itu mendatangkan keinginan untuk bergegas menyantap dengan nasi dan sambal.

  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()

Kedua karyawan mulai melanjutkan tugasnya. Kotak-kotak kayu bandeng presto itu dikeluarkan dari dandang. Tanpa sarung tangan dan sebuah alas, mereka segera mengambil kotak-kotak itu dan dipindahkan keluar. Bandeng masih panas, begitu juga dengan kotak wadahnya. Tapi mereka sudah terbiasa. Kotak-kotak itu ditata menumpuk, perlu ditunggu dua jam lamanya agar suhu kembali normal.

Suhu pada ikan-ikan bandeng itu berangsur-angsur menjadi normal. Kini sudah dua jam berlalu. Ada dua pilihan di benak mereka.

Pertama, jika stok ikan rekan kerja seduluran kehabisan, mereka akan datang dan mengambilnya setelah proses masak selesai. Begitu juga dengan stok Pak Arif di Pasar Cebongan, jika di sana kehabisan maka ikan-ikan itu langsung dibawa ke sana.

Kedua, jika hari ini stok rekan-rekan dan Pak Arif masih banyak, bandeng-bandeng itu belum bisa disebar ke pasar-pasar. Namun, perlu menghuni dulu di freezer rumah produksi Pak Arif. 

Mamat dan Lik To memahaminya dan menemukan jawaban. Mereka lalu mulai memindahkannya ke freezer di rumah produksi.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Foto bersama Pak Arif (tengah) usai melihat proses produksi bandeng presto. Tampak anggota Melati Suci Project, yaitu Zakia (paling kiri), saya, Dyah, Tarissa, dan Ama/Rahmat

Setelah proses itu selesai, tiba-tiba Pak Arif berkata, “Saya itu berharap nantinya punya toko besar di pinggir jalan dengan nama Oleh-oleh Khas Juwana: AN. Putra Juwana. Bukan hanya menyediakan bandeng-bandeng saja, tapi makanan seafood lainnya juga yang siap saji.”

Tak hanya itu, jika mengulang masa lalunya, banyak sekali pelajaran yang ingin ia sampaikan ke khalayak, terutama yang ingin menjadi pengusaha. “Kalau ingin menjadi usahawan itu harus komitmen, profesional, dan tekun. Tapi yang utama harus suka dulu, kalau suka pasti akan nyaman dan enak untuk terus berjalan,” tambahnya dengan wajah penuh harap.


Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Arif Kurniawan, pemilik usaha AN. Putra Juwana berdiri di balik etalase produk bandeng-bandeng presto (Afrinza Amalusholehah)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/feed/ 0 47483
Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/#respond Wed, 18 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47474 “Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.” Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)   “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok. “Nggih, Mbok,” jawab saya. Inilah keseharian saya, Arif...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>


Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.”

Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)


  “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok.

Nggih, Mbok,” jawab saya.

Inilah keseharian saya, Arif Kurniawan kecil selama kelas 1–3 SD. Begitu pun lima saudara saya. Jika dagangan ikan Simbok di siang hari belum habis, maka kami disuruh menjualnya keliling desa dengan daerah yang berbeda-beda. Maklum, kami hidup di Juwana, Pati. Sejak kecil sudah hidup di lingkungan petani ikan dan berkenalan dengan ikan, bahkan kami turut menjualnya.

Waktu kian berjalan, kelas 4 SD saya berhenti jualan keliling. Syukurlah, karena ekonomi Simbok sudah membaik.

Setahun berselang, saat kelas 5 SD, entah mengapa saya tiba-tiba terpikir suatu hal: “Bagaimana, ya, kalau saya keluar dari Juwana untuk cari pengalaman dan wawasan?” Dan benar, pikiran saya termanifestasi. Pergilah saya ke Surabaya, tepatnya terminal GM Sari, hanya dengan berbekal celana, baju lengan panjang, dan sarung.

Kepergian itu mempertemukan saya dengan seorang penjual asongan di terminal, Mas Andre, yang juga menawari berjualan. Di situlah sumber penghidupan saya. Melalui pekerjaan itu, saya juga dapat berkenalan dengan banyak teman. Ada pengamen, anak punk, dan anak jalanan lainnya. Sepuluh bulan berjalan, saya berpikir, “Kok begini, ya, kehidupan?”

Akhirnya saya memutuskan pulang ke Juwana. Sesampainya di rumah, saya yang merasa masih kecil dan sudah pergi berkelana, tidak dikhawatirkan sama sekali oleh keluarga. Paling hanya lontaran Simbok yang cukup singkat, “Seko ngendi wae, Le, Le… (Dari mana saja, Nak, Nak…).”

Tapi tidak apa, lontaran singkat itu sudah saya anggap sebagai tanda cinta, apalagi saya yang masih diterima untuk tidur di rumah. Karena masih kelas 5 SD, sempat saya ditawari untuk lanjut sekolah, bahkan kepala sekolah datang ke rumah. Namun, saya tolak. Mau bagaimana lagi? Uang hasil berdagang dari Surabaya sudah saya belikan becak dan kambing, yang bisa digunakan untuk mencari uang.

Kini keseharian saya bukan sekolah seperti anak pada umumnya lagi, juga bukan penjual ikan keliling di desa. Saya menjadi tukang becak keliling dari pagi sampai sore. Setelah itu menjadi penggembala kambing yang setiap harinya harus membabat rumput.

Liputan langsung ke Pasar Cebongan dan Rumah Produksi AN. Putra Juwana/Melati Suci Project1

Arif Kurniawan Kecil yang Masih Haus Pengalaman Hidup

Kalau becak sepi, sumber kehidupan saya dari kernet bus. Karena masih merasa kurang, pergilah saya ke Yogyakarta bersama teman. Sesampainya di Jogja, saya berjualan garam bata, yang ukurannya memang seperti balok bata sebenarnya.

Pernah sekali waktu kena marah sopir karena menjatuhkan garam bata. Mau bagaimana lagi? Masih kecil sudah nyunggi benda berat, terkena senggol sedikit pasti jatuh. Tapi tidak apa, karena tujuan saya memang pergi ‘mencari pengalaman dan wawasan’.

Mencari kedua tujuan itu tidak hanya di Jogja. Kalau perlu saya pergi ke daerah lain lagi. Akhirnya saya pergi ke Solo untuk bekerja. Di situ saya bersama teman mengolah dan berjualan bandeng presto di toko milik bos kami, mengubah duri-duri padat pada ikan menjadi lunak, dan memajangnya untuk dijual.

Namun, pengalaman di Solo tidak mudah. Pernah sekali dandang yang digunakan untuk membuat presto meledak. Hal itu disebabkan oleh uap angin pada dandang yang telat dikeluarkan.

Pengalaman pahit itu membuat saya kembali ke Jogja. Di Jogja, saya diajak oleh seorang bernama Tomo untuk mempresto dan jualan ikan bandeng juga. Namun, di lingkungan kerja, teman-teman sering merundung saya karena belum sunat. Itu memang benar, karena saya pergi keluar dari Juwana masih usia belia. Atas kejujuran mereka, wajah saya memerah malu, lalu saya pulang lagi ke tanah kelahiran.

Sesampainya di Juwana, becak dan kambing hasil dari Surabaya saya ubah menjadi uang. Bukan untuk foya-foya, jalan-jalan, ataupun merayakan kepulangan, melainkan modal sunat dan membuat kamar sendiri. Bagi saya itu sudah menjadi suatu kebanggaan karena merupakan hasil dari keringat saya sendiri.

Berjalannya waktu saya masih di Juwana. Kendati demikian, saya tetap pergi juga ke Batam. Sebab, saya jualan barang mentah logam kuningan yang dikirimkan ke sana. Suatu ketika saya sedang pergi ke rumah sakit. Di situ terjadi pertemuan saya dengan Maryono, yang merupakan salah satu anggota tempat pelelangan ikan (TPI). Ikutlah saya dengan Maryono meninggalkan pekerjaan barang mentah logam kuningan itu.

Di TPI harus memiliki kartu anggota. Itu adalah tempat gledek kapal pelelangan, dari pelelangan diantar ke bakul. Saya perlu bekerja keras, karena jika tidak sat-set, uang tidak akan mengalir. Begitulah pengalaman dunia kerja yang saya alami.

Tak lama, atas jerih payah usaha, saya mendapatkan enam bakul. Tentunya itu menjadi keuntungan tersendiri untuk menambah penghasilan saya. Namun, itu berangsur tidak lama. TPI semakin sepi. Terpikirlah keresahan untuk mencukupi kebutuhan. Teringat saya akan relasi di Jogja, bergegaslah saya ke sana untuk mengobati keresahan itu.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi nelayan sedang mengumpulkan ikan di atas kapal/setengah lima sore via Pexels

 * * *

“Sayang! Kopi, sayang!” lantang Pak Arif Kurniawan menyuruh istrinya.

“Hahahaha,” riuh tawa kami mendengarnya.

Di luar hujan memahat tanah halaman rumah. Bau petrikor menyerbak di udara. Selasa (8/4/2025) sore itu, di teras rumahnya, kisah masa kecil Pak Arif diceritakan. Ucapannya meminta kopi ke istrinya memecah imajinasi kami2 yang turut hanyut ke masa lalunya. Saat-saat sebelum sukses menjadi pengusaha bandeng presto Juwana di Jogja.

Kopi sudah datang, korek dihidupkan, asap kretek Dji Sam Soe mengepul di udara. Tandanya cerita berlanjut. 

“Lanjut lagi, ya? Jadi, pada waktu itu…”

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Sore itu Pak Arif (tengah) di sela-sela menunggu kopi dari istrinya, sedangkan saya (kiri) sedang bertanya suatu hal. Sementara Ama, Dyah, dan Tarissa (kanan) antusias menyimaknya/Sayyidati Zakia Afkaroh

* * *

Arif Kurniawan Kembali ke Jogja

Di Jogja saya bertemu dengan Pak Bambang, orang yang bekerja sama dengan saya untuk jualan ikan bandeng. Ikan diambil dari Jawa Timur. Namun, banyak komplain dari pelanggan, ada yang mengatakan ikannya kurang lunak, ada yang mengatakan baunya apak.

Atas pengalaman itu saya berpikir, “Saya, kan, asli Juwana dan di situ tempatnya bandeng. Nah, ini bisa jadi kesempatan untuk jual sendiri dengan ganti tempat pengambilan ikan.”

Kini saya sudah tumbuh dewasa, pengalaman dan wawasan sudah banyak saya lalui, proses belajar itu perlu saya gunakan untuk berdiri sendiri. Akhirnya, dengan rasa percaya diri, saya utang masing-masing 5 juta rupiah ke bank dan kakak kandung, yang saya gunakan untuk membeli bandeng 8 juta dan 2 juta diputar untuk kulakan.

Maklum, masih merintis. Ikan bandeng dari Juwana itu sampai Jogja bukan melalui mobil pribadi, melainkan menumpang truk yang kirim garam dari Juwana ke Jogja. Jualan bandeng masih sendiri, belum mempunyai bakul. Uang serasa berjalan di tempat saja. Terpikirlah saya untuk mencari bakul.

Akhirnya, saya dapat bakul dari beberapa daerah. Ada yang di Gamping, Bantul, Piyungan, Prambanan, hingga Magelang. Tapi sayang sekali, uang masih terasa berjalan di tempat. Bakul-bakul itu sering kali utang dan lama membayarnya.

Sebelum saya putuskan bakul-bakul itu, ada ide untuk menjual dengan konsep seduluran. Berbeda dengan franchise yang mengkapitalisasi pasar dan rekannya, konsep seduluran yang saya maksud ini lebih ke kekeluargaan.

Konsep yang saya bangun ini lebih transparan dan tidak merusak pasar. Jadi, misal ikan di pasaran seharga Rp8.000,, ikan dari seduluran ini juga harus menjual dengan harga yang sama. Tak hanya itu, setiap enam bulannya, juga ada kumpul diskusi untuk membahas perkembangan kerja sama.

Atas dasar itu, saya berhasil menggaet tiga orang, yang masing-masing memiliki kios di Pasar Kuthu, Pasar Pundung, dan Pasar Godean. Untuk usaha saya sendiri berada di Pasar Cebongan. Para bakul awal yang banyak notanya itu pun saya putuskan secara sepihak dan pindah ke konsep ini.Sebelum ada kios di Pasar Cebongan, saya berjualan secara liar, tempat kurang mumpuni, tidak ada orang lewat, dan kurang laku. Tapi satu hal, saya tidak boleh menyerah! Dengan uang seadanya, akhirnya saya beli kios di pasar bagian dalam. Berjalannya waktu, kios saya pindah di bagian luar dan laris hingga kini.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi tumpukan ikan yang dijual di sebuah lapak tanpa kios tetap/Shukhrat Umarov via Pexels

 * * *

“Jadi, begitu, Mas dan Mbak-mbak sekalian,” ucap Arif Kurniawan memungkasi cerita hidupnya.

Hujan kian mereda. Kopi Pak Arif tinggal setengah. Dua rokok kretek sudah tertidur di pangkuan asbak. Langit semakin gelap, suasana itu dipenuhi rasa ingin tahu kami untuk pergi ke Pasar Cebongan dan mengikuti proses membuat bandeng presto secara langsung.

“Kami berencana meliput proses pembuatannya, Pak,” ucap saya sebagai anggota tim Melati Suci Project.

“Oke, silakan datang ke sini. Sabtu pagi jam 06.00-an kami produksi,” jawabnya.

(Bersambung)


  1. Tidak ada foto masa lalu Pak Arif Kurniawan. Namun, dongeng itu dibuktikan dengan video liputan kami yang sudah ada di YouTube. Untuk foto-foto produksi ada di tulisan kedua yang terbit di hari berikutnya. ↩︎
  2. “Kami” di sini adalah anggota Tim Melati Suci Project, yang beranggotakan: Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. ↩︎

Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Tumpukan kotak bandeng presto setelah dimasak di rumah produksi Pak Arif Kurniawan (Tarissa Noviyanti Az Zahra)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/feed/ 0 47474
Panduan Liburan Yogyakarta–Bandung dengan Kereta Api https://telusuri.id/panduan-liburan-yogyakarta-bandung-dengan-kereta-api/ https://telusuri.id/panduan-liburan-yogyakarta-bandung-dengan-kereta-api/#respond Tue, 17 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47462 Bepergian ke Bandung menggunakan kereta api adalah pilihan yang sangat praktis, nyaman, dan menyenangkan. Kereta api banyak dipilih wisatawan atau warga lokal karena bisa melihat pemandangan dan durasi perjalanan tidak terlalu lama. Berikut ini adalah...

The post Panduan Liburan Yogyakarta–Bandung dengan Kereta Api appeared first on TelusuRI.

]]>
Bepergian ke Bandung menggunakan kereta api adalah pilihan yang sangat praktis, nyaman, dan menyenangkan. Kereta api banyak dipilih wisatawan atau warga lokal karena bisa melihat pemandangan dan durasi perjalanan tidak terlalu lama.

Berikut ini adalah panduan menggunakan kereta api dari Yogyakarta ke Bandung berdasarkan pengalaman saya. Di dalamnya terdapat tips, informasi layanan kereta api dan harga tiketnya, serta pertimbangan memilih stasiun tujuan, antara Stasiun Bandung atau Stasiun Kiaracondong.

Tampak depan Stasiun Yogyakarta (kiri) dan Stasiun Lempuyangan. Jarak kedua stasiun sekitar 2,5 km dan berada di tengah Kota Jogja.

Memilih Kereta Api Yogyakarta–Bandung

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah merencanakan perjalananmu dengan baik. Kereta api (KA) jarak jauh yang menghubungkan Yogyakarta–Bandung umumnya berangkat dari Stasiun Yogyakarta (disebut juga Stasiun Tugu) atau Stasiun Lempuyangan. Lama perjalanan dari Jogja menuju Bandung sekitar 7–8 jam, tergantung dari jenis layanan kereta dan kondisi cuaca. Jadi, pastikan kamu mempersiapkan segala sesuatunya agar perjalanan panjang ini terasa menyenangkan.

Ada beberapa pilihan kelas yang bisa disesuaikan dengan ketersediaan anggaran dan kenyamanan yang kamu inginkan. Jika kamu menginginkan perjalanan dengan fasilitas terbaik dan merasakan nuansa kemewahan, kelas eksekutif adalah jawabannya, dengan harga tiket sekitar Rp300.000–Rp450.000 sekali jalan. Beberapa di antaranya KA Lodaya, Malabar, Argo Willis, Mutiara Selatan, atau Turangga yang mempunyai jadwal keberangkatan dan harga tiket yang cukup beragam. 

Kereta kelas eksekutif menawarkan kenyamanan lebih, dengan kursi yang lebih besar dan ruang kaki maupun bagasi yang lebih luas. Selain itu, layanan makanan dan minuman di kelas ini juga lebih memadai. 

Namun, jika anggaran kamu terbatas, kelas ekonomi premium dengan rentang harga Rp200.000–Rp 300.000 bisa menjadi alternatif yang nyaman. Beberapa kereta api menggabungkan rangkaian kelas eksekutif dengan bisnis atau eksekutif dengan ekonomi.

Sementara itu, kelas ekonomi kini telah mengalami banyak peningkatan dan mempunyai sejumlah pilihan yang perlu kamu ketahui: 

  • Ekonomi AC Reguler: kursi disusun 3-2, dengan sandaran yang belum berubah, tegak, dan ruang kaki yang cukup terbatas. Ini merupakan tipe ekonomi yang paling umum, tetapi tetap dilengkapi AC, toilet, colokan listrik untuk cas handphone, dan cukup nyaman untuk perjalanan jarak menengah.
  • Ekonomi Premium: kursi dengan formasi 2-2, dapat diatur tingkat sandarannya, dan legroom jauh lebih luas jika dibandingkan ekonomi biasa. 
  • Ekonomi New Generation (NG): formasi kursinya 2-2 dengan tipe lebih baru dan memiliki tingkat kenyamanan yang signifikan, bahkan lebih mendekati kelas eksekutif. Dilengkapi fitur seperti pada umumnya, tetapi sandaran kursi lebih ergonomis. Cocok buat kamu yang ingin hemat tanpa mengorbankan kenyamanan.

Jika kamu memilih lebih hemat lagi, maka kereta ekonomi AC reguler adalah pilihan yang lebih terjangkau, dengan harga tiket antara Rp80.000 hingga Rp150.000. Meskipun lebih sederhana, kereta ekonomi tetap menawarkan kenyamanan yang cukup baik untuk perjalanan jarak jauh. Salah satu yang populer adalah KA Kahuripan dengan tiket seharga Rp 80.000 yang jadwal berangkatnya pukul 23.59 WIB. Sekadar tips, jika kamu berencana membeli tiket KA Kahuripan, pastikan untuk memesannya minimal 14 hari sebelum jadwal keberangkatan agar tidak kehabisan.

Perbedaan interior dan susunan kursi kelas ekonomi AC reguler KA Kahuripan (paling kiri), ekonomi premium KA Mutiara Selatan (tengah), dan ekonomi New Generation KA Lodaya

Daftar Pilihan Kereta Api Yogyakarta–Bandung

Berikut ini daftar lengkap harga tiket, kelas dan jadwal keberangkatan kereta api dari stasiun Lempuyangan maupun stasiun Tugu ke Stasiun Bandung dan Kiaracondong:

Rute Stasiun Yogyakarta–Stasiun Bandung
BerangkatTibaKereta ApiKelasRentang Harga
(Rp)
08.1115.27LodayaEkonomi (NG)230.000 – 310.000
Eksekutif430.000 – 540.000
11.3118.05MalabarEkonomi (Premium)217.000 – 345.000
Eksekutif520.000 – 600.000
12.1318.17Argo WilisEksekutif (Reguler)580.000 – 715.000
Eksekutif (Panoramic)1.000.000
20.0103.14LodayaEkonomi (NG)230.000 – 310.000
Eksekutif430.000 – 540.000
22.1605.15Mutiara SelatanEkonomi (Premium)231.000 – 345.000
Eksekutif465.000 – 575.000
22.4105.45MalabarEkonomi (Premium)217.000 – 345.000
Eksekutif520.000 – 600.000
23.5006.10TuranggaEksekutif (Reguler)480.000 – 600.000
Eksekutif (Panoramic)585.000
Rute Stasiun Lempuyangan–Stasiun Kiaracondong
BerangkatTibaKereta ApiKelasRentang Harga
(Rp)
09.5518.58PasundanEkonomi AC (Reguler)154.000 – 235.000
23.5907.15KahuripanEkonomi AC (Reguler)80.000

(pemutakhiran informasi jadwal dan tarif pada 16 Juni 2025 melalui aplikasi KAI)

Tips Membeli Tiket Kereta Api

Setelah menentukan kelas kereta, langkah berikutnya adalah membeli tiket. Saat ini, sangat mudah untuk membeli tiket kereta api secara daring (online) melalui situs resmi PT Kereta Api Indonesia (KAI) di booking.kai.id. Kamu juga bisa memesan lewat aplikasi Access by KAI di gawai Android maupun Apple. Pastikan untuk membuat akun terlebih dahulu, ya.

Pembelian tiket daring tidak hanya lebih praktis, tetapi juga memberi kamu kesempatan untuk memilih tempat duduk sesuai keinginan dan menghindari antrean panjang di stasiun. Selain itu, dengan membeli tiket lebih awal, kamu juga bisa mendapatkan harga yang lebih terjangkau dan menghindari kehabisan kursi pada tanggal yang kamu inginkan. Harga tiket kereta api menuju Bandung bervariasi, tergantung pada jenis kereta yang kamu pilih, serta kelas tempat duduk yang diinginkan. Biasanya ada beberapa pilihan kereta yang tersedia.

Perlu juga untuk diingat, moda transportasi kereta api sangat diminati, terutama saat momen-momen libur nasional seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, atau libur panjang akhir pekan yang berdekatan dengan tanggal merah. Pada periode tertentu, lonjakan jumlah penumpang bisa sangat signifikan. Oleh karena itu, jika kamu berencana liburan ke Bandung di waktu-waktu tersebut, sangat disarankan untuk merencanakan perjalanan sejak jauh-jauh hari. Manfaatkan fitur notifikasi dari aplikasi penjualan tiket agar kamu bisa segera membeli tiket saat penjualan dibuka.

Panduan Liburan Yogyakarta–Bandung dengan Kereta Api
Jalan Braga, kawasan wisata penuh sejarah dan peninggalan bangunan ikonik di Kota Bandung/Yayang Nanda Budiman

Menentukan Stasiun Tujuan di Bandung

Menentukan stasiun tujuan antara Stasiun Bandung atau Stasiun Kiaracondong memang bergantung pada sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan. Kedua stasiun ini memiliki kelebihan masing-masing, tergantung pada kebutuhan perjalananmu dan tujuan liburanmu di Bandung.

Stasiun Bandung terletak di pusat kota, sehingga sangat strategis untuk kamu yang ingin langsung menikmati suasana Kota Bandung. Akses transportasi umum seperti taksi, angkot, dan transportasi daring sangat mudah ditemukan di stasiun ini. Dari Stasiun Bandung, kamu bisa dengan mudah menuju berbagai tempat wisata terkenal, seperti Braga, Alun-alun Bandung, dan Pasar Baru. Namun, jika daftar tempat itu terlalu mainstream, maka kamu bisa coba beberapa pilihan destinasi lainnya, seperti pusat kuliner Cihapit, Masjid Raya Al Jabbar, Kiara Artha Park, Museum Geologi Bandung, dan banyak lagi.

Walaupun lebih jauh dari pusat kota, Stasiun Kiaracondong juga menyediakan akses transportasi yang cukup baik. Kamu bisa melanjutkan perjalanan menuju pusat kota maupun tempat wisata lain menggunakan angkot atau taksi. Biaya transportasi lanjutan dari Stasiun Kiaracondong biasanya lebih terjangkau dibandingkan dengan Stasiun Bandung. Jadi, jika kamu tidak keberatan menambah sedikit waktu perjalanan, Stasiun Kiaracondong bisa menjadi pilihan yang lebih hemat dan tenang.

Tips Penting selama Perjalanan di Kereta Api

Selain mengetahui waktu keberangkatan, jenis kereta, dan tarifnya, kamu juga harus mengetahui hal-hal yang mesti dipersiapkan sebelum keberangkatan, supaya perjalanan liburanmu semakin aman dan menyenangkan.

1. Mempersiapkan barang bawaan sebaik-baiknya
Meskipun perjalanan kereta api cukup nyaman, karena waktu tempuhnya yang relatif lama, pastikan kamu membawa barang-barang yang dibutuhkan selama perjalanan.

2. Membawa bekal nakanan dan minuman secukupnya
Membawa makanan dan minuman sendiri sangat disarankan. Walaupun ada layanan makanan di kereta, membawa camilan ringan (roti, buah, kacang-kacangan) atau minuman akan lebih praktis dan ekonomis untuk menemani perjalananmu.

    3. Menggunakan pakaian yang nyaman
    Suhu di dalam kereta bisa menjadi cukup dingin karena adanya pendingin udara, terutama saat malam hari. Membawa jaket atau pakaian hangat akan sangat membantu, apalagi jika kamu memilih jadwal kereta malam.

      4. Peralatan hiburan pengisi perjalanan
      Membawa peralatan hiburan seperti buku, pemutar musik atau film juga bisa membuat perjalanan terasa lebih menyenangkan. Kereta api menyediakan ruang yang cukup luas, sehingga kamu bisa menikmati hiburan pribadi tanpa terganggu.

        Selain kenyamanan, salah satu hal yang paling dinanti-nanti  adalah pemandangan yang bisa dinikmati selama perjalanan. Kereta yang melintasi jalur Yogyakarta–Bandung akan melewati bentang pemandangan alam yang memukau, mulai dari hamparan sawah hijau, pegunungan yang menjulang, hingga kota-kota kecil yang dilalui. Pastikan kamu duduk di sisi jendela agar dapat menikmati pemandangan ini secara maksimal.

        Secara keseluruhan, perjalanan menggunakan kereta api dari Yogyakarta ke Bandung adalah pengalaman yang menyenangkan. Dengan persiapan yang matang, tiket yang sudah dipesan lebih awal, dan barang bawaan yang tepat, perjalanan panjang ini bisa menjadi momen liburan yang seru dan penuh kenangan. Jangan lupa untuk menikmati perjalanan, daya tarik alam dan budaya, dan tentu saja segala hal menarik yang ditawarkan Bandung.


        Foto sampul: Rangkaian kereta api edisi livery HUT Republik Indonesia meliuk di lintasan rel wilayah Daop 2 Bandung, Jawa Barat (Humas PT KAI Daop 2 Bandung via RRI)


        Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
        Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

        The post Panduan Liburan Yogyakarta–Bandung dengan Kereta Api appeared first on TelusuRI.

        ]]>
        https://telusuri.id/panduan-liburan-yogyakarta-bandung-dengan-kereta-api/feed/ 0 47462
        Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung https://telusuri.id/skopos-vibes-eksplorasi-visual-dan-cahaya-para-seniman-belakang-panggung/ https://telusuri.id/skopos-vibes-eksplorasi-visual-dan-cahaya-para-seniman-belakang-panggung/#respond Mon, 16 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47455 Jumat, 28 Februari 2025. Langit belum sepenuhnya gelap saat halaman Bentara Budaya Yogyakarta mulai dipenuhi cahaya yang menari. Dari kejauhan, cahaya-cahaya lembut mulai memantul ke layar putih, menyusun satu demi satu bentuk yang abstrak, hidup,...

        The post Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung appeared first on TelusuRI.

        ]]>
        Jumat, 28 Februari 2025. Langit belum sepenuhnya gelap saat halaman Bentara Budaya Yogyakarta mulai dipenuhi cahaya yang menari. Dari kejauhan, cahaya-cahaya lembut mulai memantul ke layar putih, menyusun satu demi satu bentuk yang abstrak, hidup, dan berubah-ubah. Udara dipenuhi suasana yang nyaris sakral: sebuah percampuran antara ekspektasi, eksperimentasi, dan keheningan yang penuh perhatian.

        Di sinilah Skopos Vibes digelar, suatu ajang eksplorasi seni visual berbasis layar yang diinisiasi oleh Skopos Lab—sebuah kolektif seni yang fokus pada eksplorasi visual dan cahaya. Dalam pertunjukan ini, cahaya bukan sekadar efek atau elemen pendukung seperti pentas pada umumnya, melainkan sebagai bahasa. Di tangan para seniman, cahaya menjelma menjadi suara yang bisa “berbicara”, mengungkap, bahkan menggugat. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah pernyataan: bahwa para penata cahaya dan visual, yang selama ini tersembunyi di balik layar, pantas berdiri di garis depan sebagai seniman utuh.

        Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
        Pertunjukan oleh Cholsverde yang mengeksplorasi bayangan/Inggar Dwi Panjalu

        Wayahe Cah Mburi Tampil

        Dalam dunia seni pertunjukan, posisi penata cahaya dan visual sering kali dianggap sebagai pelengkap. Mereka tidak berada di pusat perhatian, padahal merekalah yang menciptakan atmosfer, mengarahkan nuansa, bahkan menjadi visualisasi dan perpanjangan emosi dari sebuah pertunjukan agar bisa dirasakan penonton.

        Skopos Vibes mencoba membalik cara pandang itu. Acara ini memberikan ruang yang penuh bagi kerja-kerja visual untuk tampil sebagai pengalaman utama, bukan sekadar penunjang. Wayahe cah mburi tampil—waktunya orang-orang di belakang panggung unjuk diri.

        Acara ini menghadirkan nama-nama seniman muda, yakni Jansen Goldy, Shapek, Kanosena, Mailani Sumelang, Cholsverde, Kelompok Dibalik Tonil, Deva x Cici, dan Neat Project. Masing-masing menampilkan eksplorasi yang unik: dari visual coding yang mengubah baris-baris program menjadi pola-pola dinamis, menggerakkan benda, menumpahkan cairan, mengatur proyektor, menciptakan bayangan—semuanya dilakukan secara langsung, tanpa rekayasa pascaproduksi.

        Beberapa seniman juga menjadikan tubuh mereka sebagai objek eksplorasi. Para seniman ini memadukan teknologi lama dan baru. Di satu sisi, mereka menggunakan proyektor OHP—alat visual klasik dari masa lalu—untuk menciptakan tekstur, distorsi, dan bayangan yang hidup. Di sisi lain, mereka memanfaatkan proyektor digital, visual coding, dan live mapping yang canggih. Pertemuan keduanya menciptakan estetika yang segar dan tak terduga—sebuah jembatan antara nostalgia dan inovasi.

        Jansen dan Shapek, misalnya. Mereka menggunakan visual coding dua dimensi yang kemudian diproyeksikan menggunakan proyektor digital, sedangkan Mailani Sumelang menggunakan proyektor OHP  untuk mengeksplorasi bayangan yang lebih tajam dari berbagai objek: mika, plastik, tangan, bahkan cairan. Adapun di sisi yang lain, Deva Listianto dan Cici menggunakan tubuh mereka sebagai media.

        Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
        Pertunjukan oleh Mailani Sumelang yang memadukan menggunakan proyektor OHP yang dipadukan dengan seni rupa (gambar)/Inggar Dwi Panjalu

        Alih-alih menyuguhkan tontonan pasif dan satu arah, Skopos Vibes menciptakan pengalaman multisensori yang mengajak penonton untuk mengalami pertunjukan secara langsung. Penonton dan penampil berpadu dalam sebuah ruang yang tak lagi kaku. Ini bukan pertunjukan satu arah; ini adalah dialog antara medium, antara seniman dan penonton, antara teknologi lama dan baru.

        Beberapa karya terasa meditatif, dengan alur cahaya yang mengalir lambat. Yang lain memanfaatkan intensitas suara dan kilatan cahaya untuk membangun ketegangan. Semua ini dilakukan secara langsung—tanpa filter, tanpa edit. Menunjukkan bahwa kerja penata visual dan cahaya bukan sekadar pascaproduksi, melainkan performa langsung yang dilakukan dengan penuh presisi dan intuisi.

        Bagi sebagian orang, ini bisa jadi membingungkan dan asing. Tapi justru dalam kebingungan itu, kita diajak untuk melihat ulang bagaimana sebuah pertunjukan bisa bekerja. Bahwa tidak semua harus naratif, tidak semua harus memiliki plot. Bahwa bunyi, cahaya, dan gerak bisa berdiri sendiri sebagai bentuk ekspresi, dan punya keajaiban panggungnya tersendiri. 

        Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
        Pertunjukan oleh Deva dan Cici yang mengekplorasi tubuh dan visual mapping/Inggar Dwi Panjalu

        Makna Baru dari Skopos Vibes

        Apa yang dilakukan Skopos Lab lewat acara ini bukan hal remeh. Ia mendobrak struktur dan hierarki dalam seni pertunjukan yang selama ini menganggap kerja teknis sebagai “di belakang”. Dalam sebuah pementasan konvensional, penata cahaya dan visual adalah nama-nama yang biasanya disebut di bagian akhir. Kalaupun disebut, mereka dianggap pelayan artistik, bukan pencipta artistik.

        Acara ini menjadi ajang pembuktian bahwa kerja-kerja visual bukan hanya soal teknis. Ia menuntut kepekaan, intuisi, bahkan visi estetika yang kuat. Menata cahaya bukan hanya soal “menerangi” aktor, melainkan tentang menyusun ruang emosional. Membuat visual bukan hanya soal “memperindah” latar, melainkan juga tentang menciptakan pengalaman yang membekas. Skopos Vibes #1 menyuarakan sesuatu yang lebih dalam: sebuah tuntutan akan eksistensi. Pengakuan bahwa para penata visual dan cahaya adalah seniman. Bahwa kerja mereka tidak kalah kompleks dan kreatif dibanding sutradara atau aktor. Dan bahwa mereka juga berhak atas ruang untuk berbicara, berkarya.

        Lebih dari sekadar pertunjukan, Skopos Vibes menjadi sebuah bentuk intervensi budaya. Ia menghadirkan kemungkinan baru tentang bagaimana kita memahami dan menghargai sebuah karya pertunjukan dari segala aspek. Ia menunjukkan bahwa di balik kilatan cahaya dan gerak visual, ada seniman yang selama ini bekerja dalam diam—dan diamnya mereka bukan berarti tanpa suara.

        Seperti cahaya yang menyusup lewat celah-celah gelap, para seniman di Skopos Vibes menunjukkan bahwa seni bisa lahir dari ruang-ruang yang tidak terlihat. Mereka membuat kita kembali bertanya: siapa yang sebenarnya menciptakan pengalaman teatrikal yang emosional? Siapa yang menggerakkan imajinasi penonton?


        Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
        Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

        The post Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung appeared first on TelusuRI.

        ]]>
        https://telusuri.id/skopos-vibes-eksplorasi-visual-dan-cahaya-para-seniman-belakang-panggung/feed/ 0 47455