Deru mesin iris tempe disertai sayup perbincangan tetangga rumah sebelah menarik saya dari lelap yang hinggap di kepala sejak malam. Pagi itu (2/9/2025), saya melawat ke salah satu rumah produksi keripik tempe di Sentra Keripik Tempe Kedungjenar, Blora.
Sejumlah orang tengah sibuk menumpuk lembar-lembar tempe dari wadah ke wadah. Seorang bapak yang tak asing bagi saya saat itu tengah mengiris balok-balok tempe, Pak Udin namanya. Menyadari saya yang malu-malu berkunjung, beliau menyambut hangat, “Silakan masuk, Mas.”
Sedikit gugup melangkah masuk dan gagap mengucap salam, saya langsung bergabung di kursi panjang dekat Pak Udin. “Biasanya iris tempe mulai dari jam berapa, Pak?” tanya saya.
“Rata-rata habis [salat] Subuh, biasanya sudah ada orang di sini,” balas Pak Udin.
“Satu hari bisa dapat berapa wadah, Pak?”

Sembari mengiris, Pak Udin menjawab, lantas beliau menerangkan kemampuan alat iris tempe buatannya sendiri, “Tergantung yang iris, kalau saya bisa seribu lembar. Alat ini bisa iris sekitar empat puluh lembar tempe.”
“Setiap hari begini, ya, Pak?” lanjut saya seraya mengamati Pak Udin bekerja.
“Kalau hari Minggu libur, pergi memancing. Hobi saya itu. Hidup tanpa mancing dunia sempit,” tukas Pak Udin.
Pak Udin mulai bercerita perjalanan awalnya ketika tiba di Blora. Menurutnya, Kedungjenar telah dikenal sebagai sentra keripik tempe sebelum tahun 1980-an. Beliau mengaku pada mulanya bukanlah perajin tempe, “Aslinya, membuat tempe bukan bidang saya. Saya tukang kayu.”
Beberapa kali Pak Udin menuturkan ketertarikannya pada kreativitas dan hal-hal baru. Terdorong kepedulian beliau akan sekitar jadi sebab diciptakannya mesin iris tempe. “Alat [iris] ini bisa dikembangkan di daerah-daerah tertentu, sing penting sinau (yang penting belajar) bikin tempe dulu,” ungkapnya.
Sejak akhir 1970-an, Pak Udin dan istri menjalankan usaha keripik tempe. Beliau mengenang masa awal merintis, dahulu tempe dihamparkan di atas tripleks dan ditumpangkan daun jati. Sambil menata lembaran tempe, Bu Udin yang tengah menata lembaran tempe menimpali, “Mas, kalau mau tahu cara buat tempe lihat [ke] Pak Didik. Paling bagus itu [hasil] buatan tempenya.”
Perbincangan saya seputar tempe dengan Pak Udin cukup di pagi itu. Namun, cerita perjalanan dari kedelai ke keripik tempe baru saja dimulai.
Perjalanan Kedelai ke Keripik Tempe
Rabu pagi (3/9/2025), saya mendatangi rumah produksi tempe milik Pak Didik. Begitu menekan bel, Pak Didik mempersilakan saya dan empat orang lainnya, Angel, Devi, Dian, dan Syifa, masuk ke dapur untuk mengamati proses penggorengan keripik tempe.
Setelah menuntaskan pekerjaan di dapur, Pak Didik mengantar kami ke ruang penyimpanan kedelai. Beliau mulai menimbang kedelai-kedelai mentah pada timbangan tradisional perlahan-lahan dan memindahkannya pada ember-ember besar.
Setelah menimbang, kami mengamati proses pembersihan kedelai. Pak Didik menjelaskan bahwa pembuatan tempe berlangsung empat hari; dimulai dari pencucian, perebusan, perendaman satu malam, perebusan ulang, pengeringan, peragian, pencetakan, penjagaan suhu, dan penggorengan.
Masuk tahap perebusan, saya mendekati tungku dan mengamati kedelai. Sejenak menghela napas, Pak Didik seketika menceritakan awal mula perjalanannya, “Saya dulu sing jenenge (yang namanya) tempe juga enggak tahu. Pertama [kali] tanya coba bikin dua karung kedelai enggak jadi.”
Sambil menyimak cerita, saya dan kawan-kawan sempat mencicipi keripik tempe yang sudah siap kemas. Dengan panduan Bu Wahyu, salah seorang tetangga yang datang membantu pengemasan, kami membungkus keripik tempe.
Selagi menggoreng, Pak Didik dan istri—yang kami sapa Bu Didik—mengenang kembali proses pembuatan tempe di masa lampau, “Dulu [kedelai] diinjak-injak kaki, sekarang lebih bersih, lebih steril. Sudah pecah kulit, dipisah, tinggal direbus, masuk mesin lagi nantinya.”
Sejak pertama kali memulai usaha keripik tempe, tanpa panduan siapa pun dan tak ada latar belakang perajin tempe, Pak Didik berkali-kali melakukan uji coba. Beberapa kali beliau gagal dan harus mulai lagi dari awal. Belajar dari kesalahan sebelumnya, akhirnya Pak Didik menemukan komposisi yang tepat. Dari pengalaman itu beliau terbiasa membuat tempe. “Pengalaman tanpa ilmu jadi kebiasaan. Lebih baik kebiasaan yang menghasilkan daripada ilmu tanpa pengalaman.”
Keripik tempe terakhir ditiriskan, begitu siap akan diangkat dan didiamkan untuk kemudian dibungkus. Jam istirahat tiba, perbincangan Rabu pagi itu berakhir dengan tawaran praktik membuat tempe oleh Pak Didik. “Prosesnya memang panjang dan kalau pulang dari sini harus bisa bikin tempe,” begitu pungkasnya.
Saya dan kawan-kawan mengangguk kikuk terbayang percobaan membuat tempe untuk pertama kalinya. Setelah itu, kami berpamitan dan berjanji kembali lagi esok hari.
Manfaat untuk Sekitar dan Masalah Mendasar
Cahaya perlahan menarik diri, biru langit berganti semburat jingga dari balik awan. Kamis sore (4/9/2025) itu, saya datang kembali ke rumah Pak Didik untuk mengamati proses peragian kedelai. Kebetulan saya datang menyusul kawan-kawan lainnya, beruntung belum terlambat waktunya untuk melihat dan mencatat “pelajaran” hari itu.
“[Kedelainya nanti] dikemas jam berapa, Pak?” tanya saya.
“Biasanya [pas] mau magrib. Sebenarnya langsung [setelah peragian] enggak apa-apa, tapi mengko (nanti) lebih panas. Harus kena angin dahulu,” terang Pak Didik sambil menabur ragi ke kedelai.
Kedelai yang telah melalui proses peragian didiamkan, sederhananya diangin-anginkan agar tak terlalu panas. Selagi memindahkan kedelai, Pak Didik menjelaskan manfaat sisa-sisa proses produksi tempe secara keseluruhan.
“Ini semua [sisa produksi tempe] enggak ada yang dibuang. Semua bisa dipakai [dan] bisa jadi penemuan, seperti ragi dari daun jati. Itu kan cara tradisional yang sekarang hampir punah. Limbahnya enggak ada yang dibuang, kemarin dibuat pupuk jamur. Proteinnya tinggi, kan. Sayang kalau dibuang, makanya ada yang ambil buat ternak.”
Pak Didik sempat berkelakar untuk tetap bersabar di setiap proses, “Sugestinya kalau orang kuno itu kan enggak boleh emosi, enggak boleh marah, [nanti] enggak jadi tempenya.”
Proses pembuatan tempe disebut unik oleh Pak Didik. “Di daerah lain itu kendalanya air. Nek Semarang itu asin kadar airnya, kalau asin enggak bisa. Tangan kalau ada garam [atau] minyak enggak boleh pegang kedelai, harus bersih,” jelasnya.
Selain air, cuaca juga menentukan hasil akhir tempe. Dibanding daerah lain seperti Semarang, Blora memiliki suhu yang cenderung dingin. Namun, apabila cuaca berubah panas, Pak Didik menyebut perlu menyalakan semua kipas dengan kecepatan penuh guna menjaga suhu.
“Dulu saya pertama bikin [tempe] enggak ada kipas itu jadi. [Berhasil] enggak busuk. Sekarang telat sedikit [kalau panas] busuk.”
Cerita mengalir sampai pertanyaan spontan terlontar oleh Dian yang mengandaikan bagaimana jika listrik padam. “Kalau mati lampu, ya, sudah, pasrah saja. Dulu saya pernah terlalu lama [padam listrik] tak (saya) kipasi. [Terhitung] ada seperempat jam,” jawab Pak Didik.
“Paling lama [padam] satu jam, tapi itu sudah panas [suhunya]. Biasanya pas udara dingin, [waktu] hujan atau [terhalang] kena wit (pohon) langsung perbaikan,” sambung Pak Didik.
Sembari menunggu Magrib, Pak Didik kembali bercerita. “Dulu saya sering sekali gagal. [Pernah] satu karung [sampai] terbuang. Tapi, saya sudah tahu sekarang, [kalau] gagal langsung diresiki (dibersihkan), langsung buang. Biasanya kalau enggak jadi kan sudah menyengat bau busuk. Daripada mengotori yang lain [baiknya] langsung dibersihkan,” ungkapnya
Kendala Pascaproduksi
Keluhan yang sejauh ini banyak diterima Pak Didik mengenai keripik tempe dari konsumen adalah sisa minyak yang menempel. Beliau menuturkan pernah menguji coba untuk meniriskan minyak agar keripik benar-benar kering, tapi berakhir hancur.
Pak Didik menyebut pernah suatu ketika perwakilan sebuah universitas dari Semarang berkunjung ke rumah guna penelitian. Kendati demikian, beliau mengaku belum mendapatkan solusi yang tepat untuk mengatasi sisa minyak pada keripik. Sejauh ini, solusi akhir yang secara umum diketahui kebanyakan perajin adalah pengawet.
“Pakai pengawet kadang orang salah kaprah. Uji cobanya simpel, [kalau] dibakar menetes kayak lilin [berarti] kebanyakan pengawet. Itu kan merusak. Daripada risiko, kita enggak pakai [pengawet].”
Selagi bersantai, Pak Didik sedikit menyinggung kendala utama dalam usahanya, “Sebenarnya tempe ini peminatnya banyak, ada [dari] Jogja [atau] Semarang. Tapi, keripik itu kan tahannya sepuluh hari, jadi risikonya tinggi.”
Beberapa kali Pak Didik terlihat memantau kedelai yang telah diberi ragi di atas tampah. Sambil melipat karung, beliau bersiap-siap melanjutkan ke tahap pembungkusan dan pencetakan. Hari beranjak magrib, kami pamit undur diri.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.