Travelog

Perjalananku dari Laut Binongko Menuju Tanah Jawa

Aku berenang di laut lepas yang biru gelap. Di antara luasnya lautan, aku tertarik pada sebuah benda yang mengapung dan terombang-ambing gelombang. Nelayan Binongko menyebutnya rumpon. Ia memang memikat, goyangannya juga aduhai ke sana kemari, terutama saat musim timur tiba. Aku jadi sering bermain dalam radius sekitar tiga puluh meter darinya.

Sekitar tengah hari, entah mengapa sebuah kapal nelayan datang mendekat. Oh, seseorang dari daratan Desa Jaya Makmur. Mesin kapalnya yang berisik sedikit mengganggu. Belum lagi ia terus berputar di tempat favoritku, sekitar rumpon. Padahal, biasanya kapal-kapal akan datang pagi atau sore hari. Ini kok siang bolong?

binongko
La Asanudin di tengah laut dengan jebakan senar kailnya/Agung Hari Wijaya

Aku tak peduli. Aku terus menjelajahi perairan sekitar rumpon, sampai untaian senar dengan banyak kail tenggelam dan hadir di sekitarku. Aku penasaran. Aku dekati. Lalu aku terkail dan tak bisa bebas lagi berenang menyusuri laut.

Nelayan yang akhirnya kuketahui namanya itu—La Asanudin—menarik senar dan diriku. Setelah melilitkan senar ke kakinya, ia mulai menarikku sekenanya dari kail terus melempar kembali senar ke lautan.

binongko
La Asanudin menyatukanku dan kawananku dengan seutas tali bambu/Agung Hari Wijaya

Ia lalu membawaku menjelajahi lautan di atas perahunya yang berisik. Selama perjalanan aku dibiarkan terpanggang di bawah teriknya matahari. Aku pun dipaksa berhimpitan dengan kawananku, disatukan oleh seutas tali bambu. Aku dan kawan-kawan pasrah. Sebenarnya kami ini mau dibawa ke mana?

binongko
Di daratan aku berpindah tangan/Widhi Bek
binongko
Aku dan teman-temanku dibawa entah ke mana/Widhi Bek

Tiba-tiba saja aku sudah sampai di daratan. Pasir putih—yang mungkin dibilang indah oleh orang-orang—jadi pemandangan baruku. Sebarisan ibu-ibu juga sudah menunggu. La Asanudin membawaku ke luar kapal lalu menyerahkanku begitu saja pada salah seorang di antara mereka. Aku dibawa pergi semakin jauh dari lautan menuju antah berantah yang tentu aku tak tahu. Belakangan, aku tahu ternyata aku dibawa ke rumah mereka.

binongko
Aku “diproses” ibu-ibu/Widhi Bek

Sesampai di rumah, aku lantas ditampung dalam sebuah baskom. Air mengucur ke sekujur tubuhku. Isi perutku dibersihkan. Aku mulai dimutilasi. Beberapa bagian tubuhku sudah tak saling menyatu. Kini aku semakin kecil, bahkan menjadi suwiran. Daging hitamku dibuang begitu saja. Hanya tersisa daging putihku yang lagi-lagi entah akan diapakan. Nasibku ini makin tidak jelas, dipindah dari satu baskom ke baskom lain. Santan dan berbagai bumbu pun secara mengejutkan menyatu denganku. Aku makin tak bisa mendefinisikan diri. Yang kutahu, aku semakin kering karena api kompor berjam-jam membakarku. Mereka menyangraiku!

binongko
Aku pun jadi semakin halus/Agung Hari Wijaya

Makin-makin saat aku malah sengaja dijemur di bawah paparan sinar matahari. Sehari semalam aku dibiarkan tergeletak di luar rumah, hingga akhirnya, keesokan hari, aku sudah berada dalam kemasan plastik berlabel “Abon Ikan SPKP Benteng Wacu Awa.” Cap halal tak lupa terpampang dalam kemasanku. Beratku menyusut menjadi 100 gram. Begitu pengap rasanya berada dalam kemasan plastik ini. Kedap angin. Aku makin terkungkung tak tahu harus melakukan perjalanan ke mana lagi.

Samar-samar aku jadi tahu sekarang aku sedang dikemas dalam kardus. Aku mesti ikut kembali berlayar—lagi-lagi aku tak tahu tujuannya ke mana. Lalu, secara tidak terduga, aku sudah berada di Tanah Jawa, di atas sebuah piring. Nasi panas yang mengepul pun kini jadi teman baruku.

binongko
Dua orang ibu sedang menyangraiku/Agung Hari Wijaya

Aku bingung kok aku bisa di Jawa?

Curi-curi dengar dari para manusia kelaparan di meja makan, mereka mengetahuiku—yang sudah menjadi abon—lewat situs jejaring sosial Facebook. Susi, salah seorang pemudi Binongko, adalah manusia yang mengabarkan tentang kelezatanku. Katanya aku gurih dan menjadi “teman” yang tepat saat bersantap. Ditambah cerita-cerita lain—soal bagaimana aku ditangkap secara tradisional dan upaya konservasi yang dilakukan oleh manusia di sana—orang-orang di Jawa jadi tak ragu-ragu mengontak Susi hanya untuk merasakanku.

binongko
Akhirnya aku dimasukkan dalam kemasan plastik/Widhi Bek

Tapi, yang mereka tak tahu adalah Susi sendiri sebenarnya kesulitan mengakses Facebook lantaran koneksi internet yang belum seberapa bagus di Binongko. Selama ini pun ia hanya memberitakan abon ikan lewat akun pribadi, bukan fan page. Katanya sih ia juga butuh pelatihan soal pemasaran lewat internet. Wah, kalau memang Susi dan masyarakat Binongko lain sudah dapat akses internet yang baik, bukan nggak mungkin teman-temanku di tanah Jawa makin banyak. Aku, si ikan—yang jadi abon—dari Binongko, bakal kian eksis dan jadi primadona.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.


Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.

Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *