Pilihan EditorTravelog

Menelusuri Kebun Kopi Plaga, Melacak Arabika Bali Mula-mula

Minggu lalu seorang kawan mengajak untuk berkunjung ke kebun kopi di daerah Plaga. Gimmick di ajakannya: “Perkebunan kopi ini lebih dulu ada sebelum [perkebunan kopi] di Kintamani.” Mendengar pernyataan itu tanpa pikir panjang saya sanggupi ajakannya.

kopi plaga

Bapak dan Ibu Sudana/Rio Praditia

Daerah Plaga menjadi terkenal karena namanya menjadi brand wine lokal. Namun, dalam perjalanan menuju tempat di perbatasan Kabupaten Badung dan Buleleng ini saya sama sekali tidak menemukan perkebunan anggur.

Jalan ke Plaga biasa jadi rute alternatif menuju Danau Batur atau Danau Bedugul karena posisinya yang berada di tengah-tengah. Perjalanan melewati destinasi populer Bali seperti Hutan Kera Sangeh dan Air Terjun Nungnung, juga Jembatan Tukad Bangung yang menghubungkan dua bukit dan konon tertinggi di Asia.

kopi plaga

Hutan di Plaga/Rio Praditia

Bertemu keluarga Sudana

Setibanya di perkebunan yang dituju, saya disambut hangat oleh Pak Nyoman Sudana dan istrinya, Ibu Wayan Sari. Di rumah mereka yang sederhana, saya langsung disuguhi kopi hasil dari kebunnya. Meski bukan ahli kopi, saya menemukan rasa yang cukup unik dari kopi tersebut: perpaduan antara aroma buah, gula merah, dan madu.

kopi plaga

Menelusuri perkebunan kopi/Rio Praditia

Tak berapa lama ia pamit untuk kembali bekerja di kebunnya. Saya yang memang berniat untuk membuat video dokumenter kopi Bali meminta untuk ikut. “Ini kesempatan langka,” pikir saya.

Jangan bayangkan kebun Pak Sudana seperti perkebunan kopi di Brazil atau Kenya yang rapih tertata laiknya perkebunan teh. Kebun kopi di sini nampak seperti padang ilalang di tengah hutan. Kami harus melewati jalan setapak di antara pohon-pohon tinggi. Burung-burung pun bisa hinggap di pepohonan untuk ramai berkicau.

kopi plaga

Memetik biji kopi/Rio Praditia

Cara memetik buah kopi

Pak Sudana mengajarkan saya memetik kopi. Untuk mendapatkan rasa kopi yang nikmat maka kita harus mengambil buah yang merah tua saja. Jangan ambil yang kuning apalagi hijau, rasanya belum enak.

Memetik kopi juga harus dengan perasaan, tidak boleh sembrono. Kita harus memetiknya satu-satu, supaya buah yang belum matang tidak ikut terambil.

kopi plaga

Ayu Sudana/Rio Praditia

Pohon kopi arabika di kebunnya ini sudah berumur puluhan tahun. Ketika warga di kampungnya silih berganti tebang dan tanam padi, jeruk, dan kopi, Pak Sudana tetap merawat pohon kopinya.

Kecintaannya akan kopi bermula dari kecil ketika bekerja sebagai penjaga sapi milik seorang berkebangsaan Belanda. Sering bertemu dan disuguhi kopi membuat Pak Sudana mengenal dan jatuh cinta pada kopi, hingga akhirnya ia menanam kopi di lahan ayahnya yang semula sawah. Keputusannya sempat dianggap aneh oleh keluarga yang lebih condong menanam padi dan buah, namun ia tidak peduli.

Nyoman Sudana dan biji kopi merah yang baru dipetik/Rio Praditia

Ekosistem seimbang

Keheranan saya (“Kenapa kebun kopi ini lebih seperti hutan daripada kebun?”) terjawab ketika Pak Sudana menjelaskan konsep perindang.

Bila pohon kopi mendapat sinar matahari langsung sepanjang hari maka buahnya akan sangat banyak dan panen setiap lima bulan. Dampak negatifnya, usia pohon jadi pendek, maksimal lima belas tahun sudah mati atau tidak lagi berbuah.

kopi plaga

Wayan Sari di kebun kopinya/Rio Praditia

Dengan konsep perindang ini—kebun kopi di antara bermacam pohon-pohon hutan—panen hanya bisa delapan bulan sekali. Positifnya, usia pohon bisa melebihi 50 tahun dan terus berbuah. Kopi yang dihasilkan juga lebih berkualitas dan memiliki rasa yang unik.

Ibu Wayan Sari menambahkan bahwa sebagai petani yang bergantung pada alam mereka harus punya bermacam-macam tanaman. “Mau makan nasi kami tanam padi, mau makan buah tinggal ambil, mau minum kopi, ya, kami panen bijinya,” ujarnya bahagia.

kopi plaga

Biji kopi kering atau “green bean”/Rio Praditia

Pemberdayaan petani

“Indonesia punya potensi menjadi penghasil kopi berkualitas terbesar di dunia namun kenapa kita hanya nomor empat dan petaninya tidak sejahtera?” Ayu, putri dari Pak Nyoman Sudana dan Ibu Wayan Sari mempertanyakan.

Melihat hal tersebut, Ayu Sudana yang sudah 12 tahun bekerja sebagai manajer pemasaran di Dubai kembali ke kampung halamannya untuk mengenalkan kopi Plaga kepada dunia.

kopi plaga

Biji kopi sedang disangrai menggunakan mesin modern/Rio Praditia

Sekian puluh tahun petani kita tidak sejahtera karena kopi kita harus melewati berlapis-lapis tengkulak untuk sampai ke brewery dan konsumen akhir. Sudah saatnya petani dan konsumen bergerak bersama untuk perdagangan yang lebih adil.

Sekian tahun Pak Nyoman Sudana membentuk Gabungan Kelompok Petani Kopi di Plaga dengan tujuan mengajarkan cara menanam kopi yang baik, organik, berkualitas, dan berkesinambungan. Kecintaannya akan kopi membuat ia selalu bersemangat di usia senja.

kopi plaga

Sebungkus Bali Beans Premium Coffee/Rio Praditia

Ayu Sudana mendatangkan mesin pemanggang kopi dari Belanda dengan dana sendiri. Tujuannya agar bisa menampung kopi dari petani Plaga dan langsung bisa mengemas dan memasarkannya ke brewery dan konsumen akhir. Petani bisa mendapatkan harga yang tinggi dan konsumen mendapat kopi berkualitas dari petani.

Sore itu saya kembali disuguhi kopi. Kali ini sedikit berbeda dari yang saya minum sebelumnya. Di rasa penutup kopi, aroma madu terasa kuat di lidah. Pak Sudana menyimpulkan: kopi enak bukan saja dihasilkan dari tanaman yang unggul tapi juga pengolahan yang tepat.

Saat matahari sudah mulai condong ke barat, saya pamit pulang ke Denpasar. Ayu Sudana memberikan saya oleh-oleh satu bungkus kopi yang saya minum tadi. “Supaya kamu selalu ingat kami di sini setiap minum kopi,” katanya sambil tertawa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Curious person who is eager to learn a new experience.

Curious person who is eager to learn a new experience.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *