Pilihan EditorTravelog

Kalau Mau Menyaksikan “Sunset” Menawan, Jangan Traveling ke Pulau Sumba pas Musim Hujan

Nggak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk traveling ke Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur. Apalagi waktu itu akhir tahun 2017. Libur akhir tahun, pastinya harga tiket pesawat dan hotel melonjak tinggi sekali.

Tapi akhirnya saya nekat ke sana bersama seorang sahabat. Karena kebetulan sebelum berangkat ke Sumba menghadiri pernikahan teman kantor di Magelang, kami berangkat ke Sumba dari Yogyakarta.

pulau sumba

Seorang remaja Sumba berpose bersama kuda/Oky Hertanto

Niat saya untuk ke Sumba waktu itu sudah sangat kuat sekali sehingga mahalnya harga nggak saya pedulikan—bujet saya juga pas-pasan. Saya cuma mau lihat perbukitan di Sumba dan hamparan padang sabana yang legendaris itu, seperti di film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak.”

Tulisan ini adalah oleh-oleh dari Sumba.

Satu jam penerbangan dari Pulau Bali

Pulau Sumba berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kalau terbang dari Pulau Bali, hanya perlu waktu 1 jam untuk mencapai Tambolaka, Sumba Barat Daya. Untuk ke Waingapu sekitar 1,5 jam. (Dari Jakarta, jarang sekali ada penerbangan langsung menuju Pulau Sumba. Kebanyakan maskapai penerbangan transit di Denpasar, Bali.)

Untuk menginap, banyak pilihan hotel di Sumba Barat Daya yang bisa dipesan lewat aplikasi seperti Traveloka, tiket.com, atau booking.com. Jangan takut, hotel di Sumba Barat Daya sudah bagus-bagus semua, pelayanannya juga sangat ramah.

pulau sumba

Bandar Udara Tambolaka yang arsitekturnya mirip rumah di Desa Ratenggaro/Oky Hertanto

Salah satunya adalah Hotel Sinar Tambolaka. Hotel ini juga punya persewaan sepeda motor dan mobil beserta supir dan pemandu wisata. Harga sewa motor waktu saya ke sana adalah Rp 50 ribu per hari, sementara mobil Rp 500-600 ribu per hari sudah sama bensin dan supir.

Banyak opsi untuk menjelajahi Pulau Sumba. Kamu bisa mulai berkelana dari Sumba Barat Daya dan mengakhiri perjalanan di Sumba Timur, atau sebaliknya. (Sumba Barat Daya adalah wilayah yang baru mengalami pemekaran, jadi agak sedikit tertinggal dibanding Sumba Barat (Waikabubak) dan Sumba Timur (Waingapu). Tetapi, destinasi wisatanya keren-keren, misalnya Danau Weekuri dan Kampung Adat Ratenggaro.)

Danau Weekuri, danau air asin berwarna hijau toska

Perjalanan menuju ke Danau Weekuri dari Tambolaka berlangsung sekitar 1-1,5 jam perjalanan. Akses menuju ke sana cukup baik. Jalanan sepi sekali, nggak seperti Jakarta yang termasyhur dengan kemacetannya. Kalau bingung memilih persimpangan, tinggal buka GPS saja. Saya jamin kamu pasti akan tiba di Danau Weekuri.

Danau Weekuri terletak di Desa Kalena Rongo, Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya. Dari Tambolaka, jaraknya sekitar 60 kilometer.

pulau sumba

Pemandangan Danau Weekeri/Oky Hertanto

Weekuri adalah danau air asin yang cukup unik, soalnya berwarna hijau toska. Danau itu berbatasan langsung dengan laut dan kelilingi oleh tebing karst berlapis sabana. Warga sekitar percaya bahwa Danau Weekuri terbentuk dari air laut yang terpercik melalui karang dan menembus ke daratan.

Di Danau Weekuri saat ini sudah ada fasilitas jembatan kayu supaya kamu lebih nyaman jalan-jalan mengelilingi danau. Dulu, pengunjung mesti jalan di atas batuan karst yang tajam. Kegiatan favorit di Danau Weekuri adalah—tak lain dan tak bukan—berenang! Saya yakin begitu sampai di sana kamu akan segera menceburkan diri ke dalam danau.

Di dekat Danau Weekuri juga terdapat Pantai Mandorak yang pemandangannya nggak kalah indah.

Desa Adat Ratenggaro dan Pantai Pero

Setelah mengunjungi Danau Weekuri, kamu bisa mampir ke Desa Ratenggaro untuk melihat rumah-rumah khas Sumba. Waktu ke sana, saya main ke permukiman yang tak jauh dari Pantai Pero. Untuk masuk ke desa itu nggak dipatok biaya, hanya suka rela saja. Buat menghormati masyarakat tempatan, kamu mesti meluangkan waktu untuk bersilaturahmi dengan kepala desa atau tetua di sana.

Rumah-rumah tradisional di Desa Ratenggaro/Oky Hertanto

Meskipun rumah adatnya sungguh megah, menjulang tinggi ke atas, kehidupan di desa itu sederhana sekali, berbeda sekali dengan kita yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia. Satu hal yang saya perhatikan saat berinteraksi dengan warga lokal, meskipun berperawakan sangar, orang Sumba itu murah senyum dan ramah-ramah.

Tidak jauh dari Desa Adat Ratenggaro ada Pantai Pero. Garis pantainya cukup panjang dan deburan ombaknya lumayan kuat. Pantai ini jadi lokasi favorit pemuda-pemudi Sumba untuk bercengkerama. Ada satu hal menarik dari anak muda Sumba: mereka suka berkeliling naik motor—sambil bawa gandengan!

Menuju Bukit Wairinding di Sumba Timur

Sepanjang perjalanan ke bagian timur Pulau Sumba, kamu akan melihat seberapa tertinggalnya Sumba Barat Daya dibandingkan Sumba Barat dan Sumba Timur. Untuk menuju ke Sumba Timur kamu bisa naik mobil travel dari hotel. Ongkosnya sekitar Rp 100 ribu per orang.

Destinasi paling mainstream di Sumba Timur yang jadi tujuan hampir setiap orang yang main ke Sumba adalah Bukit Wairinding. Pertama kali ke sana, kamu pasti terpana dan tak bisa berkata-kata—seperti yang saya alami. Bagaimana nggak terpana melihat perbukitan sabana yang bergelombang dan membentang luas sampai cakrawala?

Menurut saya, inilah spot foto paling surealistis di Sumba. Istimewanya, kalau kamu difoto di Bukit Wairinding—diambil dari angle mana pun menggunakan kamera jenis apa pun—hasilnya pasti akan bagus. Nggak percaya? Ke sana saja langsung dan rasakan sendiri.

pulau sumba

Menatap Bukit Wairinding/Abel

Bukit Wairinding ini letaknya nggak terlalu jauh dari Kota Waingapu, kurang lebih 45 menit sampai 1 jam perjalanan menggunakan mobil atau motor.

Nggak terlalu jauh dari pinggir jalan, patokan buat ke Wairinding adalah sebuah warung bercat biru. Parkir saja kendaraanmu dekat warung itu, lalu mulai trekking ke Bukit Warinding. Di sana banyak anak kecil yang bisa mengantar kamu ke Bukit Wairinding. Kamu bisa menggunakan jasa mereka (hitung-hitung kasih uang jajan) atau bisa jalan sendiri ke bukit itu. Jangan lupa mengisi buku tamu di depan plang bertuliskan “Bukit Wairinding.”

Juni sampai Juli adalah waktu terbaik untuk berkunjung

Sebenarnya di dekat sini ada Pantai Walakiri tempat kamu bisa melihat magical sunset. Sayangnya, pas saya ke sana cuaca kurang bersahabat.

Jadi, kalau mau melihat sunset keren, jangan ke Sumba pas musim hujan. Menurut obrolan dengan warga lokal, waktu terbaik buat melancong ke Sumba adalah bulan Juni sampai Juli. Di waktu-waktu itu Sumba jarang diselimuti awan, sehingga setiap hari kamu bisa melihat sunset yang menawan.


Baca tulisan Oky Hertanto yang lain di sini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Menyukai ecotourism, fotografi, menulis, membaca, dan bercerita.

Menyukai ecotourism, fotografi, menulis, membaca, dan bercerita.

14 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *