Travelog

Bernyanyi di Sekolah Laskar Pelangi

Bagaimana caranya agar sebuah destinasi wisata ramai dikunjungi? Buatlah buku atau film dengan latar belakang tempat itu. Setelah dirilis, niscaya akan banyak orang mengantre untuk datang dan melihat langsung.

Korea Selatan contohnya. Negeri di Asia Timur itu menyadari betul hal tersebut. Tanpa henti sineas-sineas Korea Selatan menelurkan film atau serial televisi yang mengangkat keindahan alam negeri itu sehingga para penonton menjadi tertarik untuk mengunjungi negara itu.

Efek berantainya, operator travel kebanjiran order perjalanan ke lokasi syuting film atau serial televisi tersebut.

Belitung yang menjadi ramai setelah kemunculan Laskar Pelangi

Potensi itu juga dimiliki indonesia. Contohnya juga sudah ada. Setelah novel laris “5 cm” diangkat ke layar lebar, Semeru menjadi semakin ramai. Lebih baru lagi, ada “Ada Apa dengan Cinta 2” yang mengangkat objek-objek wisata Yogyakarta. Barangkali tak sampai sehari setelah film itu dirilis, di Instagram sudah banyak beredar promo-promo yang menjual paket wisata Ada Apa dengan Cinta 2.

Namun, jauh sebelum dua film itu keluar, “Laskar Pelangi” yang diangkat dari novel Andrea Hirata sudah lebih dahulu mengangkat derajat pulau yang sebelumnya hanya dianggap sebagai tempat jin buang anak, yakni Belitung. Setelah Laskar Pelangi ditonton jutaan orang, lanskap pariwisata Pulau Belitung tak lagi sama.

Berfoto di depan Museum Kata Andrea Hirata/Dheo

Menurut Ali yang berprofesi sebagai pemandu wisata di Belitung, dulu industri pariwisata di sini tak seramai sekarang.

Dulu, tempat-tempat wisata yang ada hanya ramai dikunjungi wisatawan lokal. Belitung di masa lalu lebih dikenal sebagai tambang timah ketimbang destinasi wisata. (Tengoklah dari pesawat, danau-danau buatan bekas penggalian timah tersebar di mana-mana.)

Sekarang sudah berubah. Belitung yang sepi menjadi riuh berkat film Laskar Pelangi. Kaos bertuliskan Laskar Pelangi seperti menjadi seragam tak resmi pulau ini. Wisatawan berdatangan untuk mengagumi batu-batu besar yang berjejeran di pinggir pantai, atau sudut-sudut kotanya yang imun terhadap perubahan zaman. Rumah-rumah kayu dan deretan warung kopi khas Belitung sekarang ditemani oleh jalan-jalan mulus, kantor-kantor biro perjalanan, serta hotel dan resor-resor anyar.

Saya datang ke Belitung membawa imajinasi dari potongan-potongan film Laskar Pelangi, seperti halnya wisatawan lain yang ingin napak tilas tempat-tempat yang menjadi lokasi pengambilan gambar film itu, mulai dari pantai hingga sekolah Muhammadiyah Bu Muslimah yang legendaris itu.

Museum Kata Andrea Hirata

Dalam perjalanan panjang selama lebih dari satu jam dari Tanjung Pandan ke Gantong—sekitar 100 km—barulah saya paham bahwa ternyata SD Muhammadiyah yang akan saya kunjungi bukanlah sekolah yang asli, melainkan replika.

Setelah syuting, bangunan replika ini sengaja dibiarkan agar tetap berdiri. Entah memang direncanakan atau tidak, sekarang replika SD Muhammadiyah Gantong ini sudah menjadi salah satu ikon wisata Pulau Belitung. SD aslinya sendiri sudah direnovasi sehingga menjadi lebih layak dan lokasinya pun berada di tempat yang berbeda dengan SD replika.

Tapi itulah manusia, hanya perlu sebuah cerita yang penuh drama untuk membuat orang berbondong-bondong mengujungi sebuah destinasi. Sekadar untuk memuaskan dahaga imajinasi.

Museum Kata terletak di Jalan Raya Laskar Pelangi/Dheo

Akhirnya kami tiba di Gantong. Tempat yang pertama kami tuju adalah Museum Kata Andrea Hirata. Jalan di depan museum itu bernama Jalan Raya Laskar Pelangi. Saya tak tahu dahulunya jalan itu bernama apa, namun saya berani bertaruh bahwa nama jalan itu sengaja diubah menjadi Jalan Laskar Pelangi untuk memperkuat kesan bahwa di tempat inilah cerita-cerita Laskar Pelangi berasal.

Museum Kata terlihat mencolok dengan dinding warna-warni yang membuatnya tampak jauh berbeda dibanding rumah-rumah lain. Sayang sekali kami tiba terlampau sore; tempat ini ternyata sudah tutup dari tadi. Mobil-mobil orang-orang yang senasib dengan kami berjejeran di pinggir jalan. Sebagian dari mereka mengobati rasa kecewa dengan berfoto-foto di bagian depan Museum Kata Andrea Hirata.

Bertandang ke sekolah Bu Muslimah

Kami pun meneruskan perjalanan ke replika SD Muhammadiyah Gantong. Jalan berpasir yang kami lalui itu tampak sedikit becek, sebab tadi hujan memang turun sebentar. Tidak banyak orang saat kami tiba. Barangkali karena belum masuk masa liburan—atau karena kami datang sudah terlampau sore.

Di jalan sebelum bangunan SD banyak terdapat bangunan baru berupa kios cenderamata dan warung makan. Namun saat kami datang tidak banyak kios yang buka. Kalau kami datang saat musim liburan, pasti jalan masuk SD ini akan riuh seperti pasar. Tapi harap dimaklumi; atraksi wisata memang tidak akan lepas dari yang namanya pedagang. Hukum bisnis: di mana ada keramaian, di sana ada duit yang berputar.

Jalan menuju SD sedikit menanjak karena memang tempatnya adalah bekas galian timah yang pasirnya ditumpuk hingga membentuk sebuah bukit. Tampak dari luar, bangunan ini sudah doyong seperti mau roboh. Ajaibnya, nasibnya hanya disangga dua batang kayu dari samping.

Replika SD Muhammadiyah Gantong/Dheo

Menyanyi lagu “Laskar Pelangi” di Bumi Laskar Pelangi

Di antara sepinya sore, terlihat tiga anak kecil yang sedang bermain di depan sekolah. Sepertinya mereka tinggal di sekitar sini. Melihat kehadiran saya beserta kawan-kawan, mereka menghampiri kami.

“Bang. Nyanyi Laskar Pelangi, Bang!” ajak anak paling gempal yang dengan yakinnya memberikan saya selembar kertas. Menerima kertas itu, saya bingung. Saya intip tulisan di kertas itu. Ternyata isinya lirik lagu OST Laskar Pelangi yang dinyanyikan oleh Nidji.

“Kalian saja yang nyanyi … nanti saya rekam. Oke?” saya menawar. Saya kira mereka akan kebingungan dan malu-malu—tapi ternyata tidak.

Mereka seakan sudah tahu komposisi yang paling tepat untuk direkam. Membelakangi SD, bak paduan suara tanpa dirigen mereka menyanyikan bait-bait lagu Laskar Pelangi dengan lancar. Anak-anak ini mengamen di tempat yang tepat. Mereka menunggu pengunjung datang, menawarkan diri untuk menyanyi, dan berharap mendapat bayaran setelah menuntaskan konser mini lagu Laskar Pelangi.

Rasa-rasanya baru sebentar saya bermain dengan anak-anak ini. Bang Ali pemandu kami mengingatkan saya dan kawan-kawan untuk segera bergegas ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Kami mengemas kamera dan beranjak pergi meninggalkan anak-anak itu, yang kembali bermain—mungkin sambil menunggu wisatawan selanjutnya.

Saat mobil keluar dari gerbang Sekolah Laskar Pelangi, saya baru sadar kalau saya lupa melihat bagian dalam replika SD Laskar Pelangi.

Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.

Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *